Jumat, 19 November 2010

Kesepakatan Para Imam Madzhab di Dalam Mengikuti Dalil dan Meninggalkan Pendapat Yang Menyelisihinya

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya).”(QS. Al-’Araf: 3)

Sangat bermanfaat bila kita mengetahui perkataan para Imam madzhab yang empat (madzhab hanafi, maliki, syafii dan hambali). Dimana merupakan sikap mereka mendahulukan perkataan Allah dan Rasul-Nya daripada pendapat selain keduanya. Mereka memutuskan perkara dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ketika sebuah permasalahan tidak disebutkan secara nas dalam dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka berijtihad dan beristimbat dari dalil-dalil yang mereka ketahui.


Imam Asy-Syafii dan imam-imam yang lain, tidak pernah sekalipun mengajarkan kepada para pengikut-pengikutnya, untuk taklid (fanatik buta) kepada mereka.
Berikut perkataan para imam tersebut, semoga Allah merahmati mereka:

I. IMAM ABU HANIFAH

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)
Demikianlah kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam ini. Dimana mereka mengisyaratkan bahwa mereka tidaklah mengetahui as-sunnah semuanya. Dan Imam Syafii juga telah menyebutkan secara jelas tentang perkara itu –sebagaimana yang akan datang-. Kadang muncul dari mereka pendapat yang menyelisihi as-sunnah yang belum sampai kepada mereka, kemudian mereka memerintahkan kita untuk memegang teguh sunnah tersebut dan menjadikan as-sunnah tersebut sebagai madzhab para imam tersebut.

2. “Tidak boleh seseorang untuk berpegang dengan pendapat kami, selama ia tidak mengetahui dari (dalil) mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqa’u fi Fadha’ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145)
Kalau demikian ini wejangan mereka pada orang yang tidak mengetahui dalil mereka, lalu bagaimana dengan perkataan mereka terhadap orang yang mengetahui bahwa dalil menyelisihi pendapat mereka kemudian berfatwa menyelisihi dalil?

3. “Haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.

4. “Sesungguhnya kami adalah manusia, yang mengatakan satu pendapat pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”
Demikian perkataan beliau, karena banyak beliau membangun pendapatnya di atas qiyas, kemudian muncul pada diri beliau sebuah qiyas yang lebih kuat atau sampai kepada beliau sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau memegangnya dan meninggalkan pendapatnya yang lalu.

5. “Jika aku mengatakan suatu pendapat yang bertentangan dengan kitab Allah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah pendapatku”. (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)


II. IMAM MALIK BIN ANAS

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah, ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah, tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali bisa diambil perkataannya dan bisa ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3. Ibnu Wahab berkata: Aku mendengar Malik ditanya tentang menyelah-nyelahi jari di dalam wudhu, lalu dia berkata, “Tidak ada hal itu pada manusia.” Ibnu Wahab berkata: “Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya: “Kami mempunyai sebuah sunnah tentang hal itu.” Maka dia berkata: “Apakah itu?” Aku berkata: “Telah memberitahukan kepada kami Al-Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits: dari Yazid bin Amr Al -Mu’afiri: dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al-Mustaurid bin Syidad Al-Qurasyi telah memberikan hadits kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menggosok dengan kelingkingnya apa yang ada di antara jari-jari kedua kakinya.” Maka Imam Malik berkata, “Sesungguhnya hadits ini adalah hasan. Dan aku belum mendengarnya melainkan waktu ini.” Kemudian aku mendengarnya, setelah itu dia ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelah-nyelahi jari-jari. (Muqaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)


III. IMAM ASY-SYAFII

1. “Tidak ada seorangpun, kecuali ada satu sunnah Rasulullah yang terlewat dan terluput darinya. Maka kalau aku mengucapkan satu pendapat atau membuat satu kaedah dasar, padahal di tentang hal itu telah ada sabda dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertentangan dengan pendapatku. Maka pendapat yang benar itu adalah yang disabdakan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Itulah pendapatku.” (Tarikh Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3)

Mengulang yang telah disampaikan di depan… Demikianlah kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan Imam Syafii. Beliau mengisyaratkan bahwa tidak ada seorang pun mengetahui as-sunnah secara keseluruhan. Kadang muncul dari mereka pendapat yang menyelisihi as-sunnah yang belum sampai kepada mereka, kemudian mereka memerintahkan kita untuk memegang teguh sunnah tersebut dan menjadikan as-sunnah tersebut sebagai madzhab para imam tersebut.

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak boleh dia meninggalkannya hanya karena mengikuti perkataan seseorang.” (Al-Fulani, hal. 68)

3. “Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku pendapat yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berpendapatlah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkan pendapatku.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam 3/47/1 dan An-Nawawi dalam Al-Majmu’ 1/63)

4. “Apabila hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.” (An-Nawawi di dalam Al-Majmu’ 1/63, dan Asy-Sya’rani 10/57)
Kejelasan tentang hal ini akan dibawakan dalam pembahasan berikutnya Insya Allah.


5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadits dan para perawi hadits. Maka jika ada sebuah hadits shahih, maka ajarkanlah kepadaku apapun adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam. Sehingga apabila shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafii, 8/1)

6. “Setiap masalah yang di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam yang menyelisihi pendapatku, maka aku meralatnya baik ketika hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Harawi, 47/1)

7. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan riwayat shahih dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kalian taklid kepadaku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

8. “Setiap hadits Nabi yang shahih itu adalah pendapatku, meskipun kalian tidak mendengarnya dariku.” (Ibnu Abi Hatim hal 93-94)


IMAM AHMAD BIN HAMBAL

1. “Janganlah engkau taklid kepadaku dan jangan pula engkau taklid kepada Malik, Syafii, Auza’i dan Tsauri. Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani hal 113)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat semata, dan ia bagiku adalah sama. Sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits.)” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami` 2/149)

3. “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran. “ (Ibnul Jauzi hal 182).


Allah berfirman:
“Maka demi Rabbmu, (pada hakekatnya) mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Nabi) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa: 65)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar