Rabu, 19 Oktober 2011

SALAFI BUKAN TERORIS (HASIL PENELITIAN ICG)

Stigma sebagian masyarakat kita bahkan dunia, teroris di arahkan kepada pribadi dengan atribut tertentu seperti orang berjenggot, pakai celana di atas mata kaki (celana cingkrang/kebanjiran), pakai jubah, pakai kopiyah, wanitanya (isterinya) pakai jilbab besar (bercadar). Gerak geriknya seringkali dicurigai, mau pergi ke masjid atau ke pengajian jalannya selalu diintai dan digunjing banyak orang.

Inilah yang terjadi sekarang ini, banyak orang salah menilai sesuatu karena banyaknya pemberitaan atau gosip yang simpang siur . Berita yang kecil seringkali dibesar-besarkan dan berita yang besar juga dikecil-kecilkan. Setiap orang bebas mengumbar fakta sehingga analisisnya pun menjadi serba tak beraturan. Bahkan, kasus terorisme yang hilir mudik di negeri ini seringkali menjadi berita miring untuk Islam.

Benarkah penilain tersebut di atas ?

Ada baiknya merilah kita menyimak dari hasil penelitian orang barat yang dilakukan oleh ICG (International Crisis Group)/www.icg.org. ICG sendiri merupakan organisasi independent, non profit, dan bersifat multinasional. Bekerja berdasarkan analisa lapangan dan saran bermutu tinggi untuk mencegah dan memecahkan konflik mematikan.

Laporan dan temuan ICG disebarkan melalui e-mail (surat elektronik), kantor kementrian luar negeri, dan organisasi internasional yang lain. ICG bekerja secara khusus dengan pemerintah dan mereka yang terlibat dengannya, termasuk media massa untuk menyebarkan analisa tentang krisis yang terjadi dan memberikan bantuan rumusan-rumusan kebijakan.

ICG mendapatkan dana dari pemerintah, badan amal, perusahaan-perusahaan dan bantuan secara perseorangan. Bantuan yayasan dan sektor swasta di antaranya Ford Foundation, Yayasan Sarlo dari dana amal masyarakat yahudi, Bill & Melinda Gates Foundation, William & Flora Hewlett Foundation dan John Merck Fund.

Hasil Penelitian ICG

Salah satu hasil “perang terhadap terorisme” di Indonesia adalah ditingkatkannya pengawasan terhadap hubungan-hubungan dengan institusi di Timur Tengah dan aliran pemurni Islam yang dikenal Salafi.

Para pengamat luar khususnya, dan juga beberapa orang di Indonesia cenderung menganggap Salafi bertentangan dengan muslim di Indonesia umumnya, berkembang secara sembunyi-sembunyi, dan berbahaya karena mengajarkan kekerasan.

Semua anggapan dan kekhawatiran tersebut adalah tidak terbukti. Hasil laporan ICG tentang kejadian di Indonesia itu, menyimpulkan bahwa kebanyakan Salafi di Indonesia memandang pelaku peledakan di beberapa tempat adalah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Malah Salafi ini lebih bisa sebagai penghalang meluasnya kegiatan semacam itu, dari pada sebagai pendorong.

Istilah Salafi menggambarkan suatu gerakan yang berusaha kembali kepada apa yang dipahami para pengikutnya sebagai ajaran Islam yang paling murini/bersih, yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan dua generasi pertama yang shalih (salafus shalih) dan setia. Dalam praktiknya, hal ini berarti menolak bid’ah yang di masukkan dalam agama ini.

Sifat-sifat pokok "gerakan" Salafi di Indonesia di antaranya;

a. Bersifat keagamaan, bukan politik

b. Menjauhkan diri dari ikatan-ikatan partai atau golongan, kerena akan memecah belah masyarakat muslim dan mengalihkan perhatian dari mempelajari akidah Islam dan manhaj (cara beragama) yang benar

c. Tidak melakukan baiat terhadap yang diangkat sebagai pemimpin/imam

d. Percaya bahwa tidak dibolehkan membrontak terhadap pemerintah muslim yang sah, tidak peduli walaupun menindas dan tak adil. Hal ini berkebalikan dengan kebanyakan gerakan-gerakan Islam yang lain. (lebih baik menolong muslim yang tertindas, daripada mengobarkan perang terhadap sasaran-sasaran simbolis yang mungkin terdapat warga sipil yang tak berdosa di dalamnya)

Walapun beberapa orang yang dituduh sebagai teroris di Indonesia mengaku dan kelihatan secara fisik sebagai Salafi, cara-cara kelompok radikal itu tidak lebih jauh mewakili Salafi.

Dalam laporannya, ICG juga mempelajari perkembangan Salafi di Indonesia dan mencatat bahwa jauh sebelum dianggap bertentangan dengan Islam di Indonesia, gerakan ini hanya terbaru dari sejarah panjang gerakan pemurnian Islam .

Juga, melihat peran bantuan Saudi terhadap perkembangan Salafi di tahun 1980-an dan 1990-an. Sama pentingnya dari dana tersebut adalah komunikasi yang erat antara Salafi Indonesia dengan ulama-ulama Timur Tengah, yang kebanyakan dari Saudi.

Para tokoh Salafi Indonesia jarang memutuskan untuk mengeluarkan fatwa atau tindakan tanpa meminta nasehat ulama-ulama Saudi tersebut. Contohnya Laskar Jihad, milisi yang terbukti mengobarkan “Jihad” di Ambon itu terpaksa membubarkan diri setelah salah seorang ulama penting Saudi memutuskan bahwa mereka telah menyimpang dari tujuan semula.

Fakta bahwa para Syaikh Saudi itu paling sering diminta nasehatnya oleh para Salafi Indonesia, yang para ulama itu dekat dengan pemerintah Saudi, merupakan penghalang lain untuk menghubungkan Salafi dengan gerakan yang dipimpin Osama bin Laden.

Seperti yang dipaparkan , laporan ICG menyimpulkan bahwa kebanyakan mereka yang mengatas namakan jihad dengan cara pengeboman atau perusakan lainnya (garis keras) tidak direkrut dari pesantren Salafi, tetapi dari pesantren-pesantren yang berhubungan dengan gerakan radikal, masjid-masjid di daerah pinggiran, dan wilayah dengan sejarah konflik komunal (umum).

ICG juga mengamati sedikitnya kasus-kasus yang diberitakan tentang Salafi yang “menyebrang” ke kelompok garis keras, juga menilik tulisan-tulisan Salafi terlihat sangat jauh berbeda antara gerakan ini dengan kelompok garis keras itu.

Walaupun diperlukan kajian empiris tentang latar belakang pendidikan (resmi/agama) anggota kelompok garis keras, ICG menyimpulkan bahwa Salafi di Indonesia bukanlah ancaman keamanan seperti yang terkadang digambarkan. Salafi mungkin terlihat bagi orang lain sebagai orang yang tidak toleran atau pembangkang. Tetapi dalam banyak sisi, tidak cenderung pada terorisme. Sebab mereka terfokus dalam keyakinan (aqidah) secara mendalam. Jadi, pantaskah kita katakan terorisme buat mereka?

Choirul Hisyam/ Sidoarjo

Sumber: www.nahimunkar.com

Minggu, 09 Oktober 2011

KONSEKWENSI JIHAD PERANG

Oleh: Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin

Kewajiban jihad tetap akan berlangsung hingga hari akhir. Dalam pengertian luas (tidak hanya perang), jihad merupakan fardhu 'ain (kewajiban setiap muslim) menurut kemampuan masing-masing.

Syaikh Shalih Al Lahidan mengatakan: “Jihad pada hari ini, saya lihat merupakan fardhu 'ain bagi setiap muslim untuk mengajak orang masuk ke dalam dinul Islam, dengan cara hikmah dan nasihat yang baik (mau'izhah hasanan). Adalah memungkinkan bagi setiap muslim pada zaman ini untuk berjihad fi sabilillah (dalam pengertian luas,-Pen); maka tidak ada alasan bagi muslim untuk meninggalkan jihad” [1].

Namun, jihad dalam arti perang memiliki kaidah-kaidah, pedoman-pedoman serta aturan-aturan. Hukumnyapun bisa berbeda-beda. Begitu pula dengan lawan, yang dalam jihad juga harus teridentifikasi secara jelas. Perang dapat diarahkan kepada pihak-pihak yang menurut syari'at diperbolehkan untuk dilancarkan. Bukan asal disebut musuh. Lihat misalnya kasus peperangan yang dilancarkan Abu Bakar kepada penolak zakat. Yang jelas, tidak setiap perlawanan yang dimobilisasi atau terorganisir bisa disebut jihad.

Jika sasarannya orang-orang kafir, status mereka juga harus jelas, apakah mereka termasuk orang-orang yang boleh diperangi ataukah tidak. Sebab, pada sekelompok orang-orang kafir tersebut ada kafir harbi, kafir dzimmi atau mu'ahad. Begitu juga di kalangan mereka ada wanita, anak-anak dan orang-orang lanjut usia.

Untuk menetapkan, apakah orang kafir tersebut harbi atau tidak, dan apakah peperangan kepada mereka dibenarkan, khususnya pada zaman sekarang ini? Tentu persoalannya memerlukan kajian serius dan tidak bisa digeneralisir. Dalam hal ini, umat Islam tetap memerlukan bimbingan ulama yang shalih. Bukan tokoh-tokoh yang berhaluan Khawarij atau Mu'tazilah.

Sebagaimana amalan-amalan lain dalam Islam, jihad juga merupakan amalan syar'i, dan merupakan salah satu ibadah paling afdhal (utama). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya :

أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: (إِيْمَانٌ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ). قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : (اَلْجِهَادُ فِى سَبِيْلِ اللهِ) . قِيْلَ: ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : (حَجٌّ مَبْرُوْرٌ). أخرجه البخاري ومسلم في صحيحيهما.

“Amal perbuatan apakah yang paling afdhal?” Beliau menjawab,”Iman kepada Allah dan RasulNya.” (Dalam riwayat Muslim, tanpa "RasulNya"). Ditanyakan lagi kepada Beliau: “Kemudian apa?” Beliau bersabda,”Jihad di jalan Allah.” Beliau ditanya lagi: “Kemudian apa?” Beliau bersabda,”Haji mabrur.” [2]

Jika demikian halnya, maka jihad memiliki ketentuan-ketentuan yang rujukannya adalah syari'at Allah, bukan hawa nafsu, dan bukan pemaksaan kehendak dari kelompok tertentu manapun.

Jihad bukan persoalan sederhana yang hanya membutuhkan keberanian dan tidak takut mati. Jihad adalah ibadah yang memiliki konsekwensi hukum amat luas dan beresiko tinggi. Bahkan bisa fatal. Bagaimana bila seseorang mati terbunuh dalam kancah yang dianggap jihad, sedangkan apa yang dilakukannya sebagai perkara bid'ah? Bukankah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salllam telah mengingatkan dalam sabdanya:

كُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ – رواه أبو داود

"Setiap yang bid'ah adalah sesat". [HR Abu Dawud]

Atau bagaimana jika seseorang terbunuh dalam suatu peperangan, sedangkan ia dalam keadaan tidak akhlas? Bukankah neraka yang menjadi ancamannya? Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih tentang tiga golongan manusia yang diseret ke dalam neraka, salah satunya ialah orang yang mati terbunuh dalam jihad. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَوَّلُ النَّاسِ يُقْضَى لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَلَاثَةٌ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِيُقَالَ فُلَانٌ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ ...رواه النسائ

"Orang-orang yang pertama kali diputuskan pada hari Kiamat ada tiga. (Yaitu:) Pertama, seorang lelaki yang mati di medan tempur, lalu dihadirkan ke hadapan Allah dan diberitahukan tentang nikmat-nikmat Allah kepadanya, lalu diapun mengetahuinya. Allah bertanya kepadanya: “Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?” Orang ini menjawab,”Aku sudah berjuang karenaMu sampai mati.” Allah berfirman,”Engkau bohong, tapi engkau bertempur agar dikatakan si Fulan pemberani, Dan ucapan itu sudah terucapkan.” Lalu orang itu diperintahkan agar diseret sehingga dimasukkan ke dalam neraka…" [HR An Nasa-i]

Itulah sebabnya, ketika Amirul Mu'minin Abu Bakar Ash Shiddiq hendak melancarkan peperangan kepada pembangkang zakat, beliau terlebih dahulu bermusyawarah dengan para tokoh sahabat lainnya untuk memastikan hal tersebut.

Jihad, secara resmi harus di bawah payung kepemimpinan yang sah menurut syari'at; apakah itu disebut Sulthan, Amir, Imam atau apapun namanya, kecuali jihad difa' (pembelaan diri ketika diserang musuh).

Lembaga Fatwa Ulama Kerajaan Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, kemudian Syaikh Abdur Razaq Afifi (sebagai wakilnya), dan beranggotakan Syaikh Abdullah bin Qu'ud dan Syaikh Abdullah bin Ghadayyan, pernah ditanya apakah jihad saat ini fardhu 'ain, sedangkan hak-hak kaum Muslimin tercampakkan disebabkan oleh serangan bangsa asing dan lain-lain?

Dalam fatwa no. 7122, lembaga tersebut menjawab:
Jihad untuk menjunjung tinggi kalimat Allah, melindungi dinul Islam, meneguhkan penyampaian serta penyebaran dinul Islam dan menjaga kehormatan Islam, merupakan kewajiban setiap orang yang memungkinkan dan memiliki kemampuan untuk itu. Tetapi harus ada penataan dan pengorganisasian tentara, supaya tidak kacau dan tidak terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak baik akibatnya. Oleh karena itu yang berwenang memulai jihad dan berhak mengurus jihad, adalah kewenangan Waliyyu Amri Al Muslimin (Penguasa umat Islam). Kewajiban ulama adalah membangkitkan kesadaran penguasa untuk itu. Apabila penguasa sudah memulai dan memerintahkan kaum muslimin berjihad, maka wajib bagi orang yang memiliki kemampuan berjihad, untuk menyambut seruan tersebut dengan ikhlas hanya menghadapkan wajahnya kepada Allah, mengharapkan dapat membela kebenaran dan melindungi Islam. Barangsiapa yang tidak ikut serta menyambut seruan jihad, padahal seruan itu ada, sedangkan ia tidak mempunyai udzur (alasan), maka ia berdosa. Wabillahi at taufiq, wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa alihi washahbihi wasallam.[3]

Disamping itu, dalam jihad ini masih banyak sisi lain yang menuntut seseorang untuk tidak secara serampangan dalam melaksanakannya, atau menyematkan label jihad pada aktifitas yang dilakukannya. Apakah sisi lain tersebut?

Sisi lain dari jihad perang yang mungkin jarang terbayangkan oleh sebagian kaum Muslimin ialah, adanya konsekwensi-konsekwensi serta akibat-akibat yang ditimbulkan oleh jihad. Terutama hal-hal yang penyelesaiannya berkaitan dengan hukum syari'at. Secara syari'at, perihal tersebut hanya akan dapat terlaksana bila ada payung kepemimpinan yang sah. Selama payung ini tidak ada, atau tidak memobilisasi jihad, maka kewajiban jihad seperti ini tidak bisa dilaksanakan. Sebagai gantinya, kaum Muslimin harus bersabar. Caranya, yaitu tetap melaksanakan dakwah dengan hikmah secara benar sesuai dengan manhaj Salaf. Tidak dibenarkan melakukan tindakan dengan mengambil jalan pintas dengan mengangkat amir-amir atau imam-imam jama'ah untuk membenarkan penyematan label jihad. Atau secara membabi buta memaksakan kehendak untuk mendirikan Khilafah Islamiyah atau Daulah Khilafah, meskipun dengan cara memberontak yang juga dengan mengatas-namakan jihad.

Konsekwensi-konsekwensi yang timbul dari jihad tersebut di antaranya :
Pertama. Ghanimah, yaitu harta peninggalan orang-orang kafir yang didapatkan kaum muslimin karena peperangan.

Kedua. Tawanan perang, yaitu orang-orang kafir yang menjadi tawanan perang. Ini terbagi menjadi dua kelompok.

1. Kelompok yang otomatis menjadi budak, yaitu kaum wanita dan anak-anak, karena Rasulullah n melarang membunuh mereka.

2. Kelompok yang tidak otomatis menjadi budak, yaitu para lelaki dewasa. Untuk kelompok yang kedua ini, imam memiliki hak untuk menentukan antara membunuh, memperbudak, menghadiahkannya, meminta tebusan harta, atau ditukar dengan kaum Muslimin yang menjadi tawanan orang kafir. Dalam menentukan kelompok yang kedua ini, imam memilih yang dipandang maslahah. (Lihat Al Wajiz, hlm. 488).

Terhadap para tawanan ini, Islam memiliki ketentuan-ketentuan sebagai bagian dari syariat.

Ketiga. Fa-i, yaitu harta peninggalan orang-orang kafir yang didapatkan kaum muslimin tanpa didahului dengan pertempuran. Misalnya, harta yang ditinggalkan karena takut kepada pasukan muslimin, pajak dari orang kafir, serta harta peninggalan orang kafir dzimmi yang tidak memiliki ahli waris. (Lihat Al Wajiz, hlm. 490).

Semua persoalan di atas tidak mungkin menerapkannya dengan main hukum sendiri, tanpa ada pimpinan yang sah. Oleh karenanya, hukum-hukum yang berkaitan dengan jihad harus dikuasai lebih mendalam lagi, bukan asal menggelorakan semangat tanpa ilmu.

Tulisan ini tidak bermaksud mencetuskan fatwa baru berkaitan dengan perihal jihad, tetapi bertujuan mengajak seluruh pembaca untuk berhati-hati dalam bertindak, dan hendaknya bersedia secara terbuka mengkaji kembali ajaran Islam dengan benar melalui bimbingan para ulama Ahlu Sunnah, tanpa campur tangan hawa nafsu pribadi maupun kelompok. Hawa nafsu pribadi ataupun kelompok jangan sampai mendiktekan syari'at. Pemahaman terhadap syari'at tidak boleh berdasarkan opini hawa nafsu pribadi atau kelompok. Bukan apa-apa, kita hanya takut jika dalam masalah agama ini terjadi peyimpangan, yang kemudian dapat mengakibatkan kehancuran dunia-akhirat.

Jihad fi sabilillah adalah istilah suci yang tidak boleh dikotori oleh pemahaman-pemahaman rusak ala Khawarij, Mu'tazilah, Syi'ah atau ahli-ahli bid'ah lainnya. Wallahu al muwaffiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
________
Footnote
[1]. Lihat Al Jihad Fil Islam Baina Ath Thalab Wa Ad Difa', karya Syaikh Shalih Al Lahidan, Yuthlab Min Maktabah Al Haramain, Riyadh, Cet. IV, 1407-1408H, hlm. 141.
[2]. Shahih Bukhari, no. 26 -Fathul Bari (I/ 77)-, Shahih Muslim Syarah Nawawi, Tahqiq & Takhrij Khalil Ma'mun Syiha (II/260, no 244). Dan masih banyak hadits lain yang menerangkan keutamaan jihad fi sabilillah.
[3]. Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da'imah Lil Buhuts Al Ilmiyyah Wa Al Ifta', Jama' Wa Tartib, Syaikh Ahmad bin Abdur Razaq Ad Duwaisy, XII/12, tentang Hukmul Jihad, Dar Al 'Ashimah, Cet. I, 1419 H/1998M.a


Sumber: www.almanhaj.or.id

ANTARA KHILAFAH DAN DAKWAH TAUHID

Oleh: Abu Mushlih Ari Wahyudi


Boleh jadi, banyak orang beranggapan bahwa masalah tauhid itu penting dan utama, bahkan wajib. Anggapan ini seratus persen benar. Namun, karena dalam kacamata sebagian orang, tauhid itu -meskipun penting dan utama, bahkan wajib- sempit cakupannya atau ‘terlalu’ mudah untuk direalisasikan -dan bahkan menurut mereka praktek dan pemahaman tauhid pada diri masyarakat sudah beres semuanya- maka akhirnya banyak di antara mereka yang meremehkan atau bahkan melecehkan da’i-da’i yang senantiasa mendengung-dengungkannya.

Terkadang muncul celetukan di antara mereka, “Kalian ini ketinggalan jaman, hari gini masih bicara tauhid?”. Atau yang lebih halus lagi berkata, “Agenda kita sekarang bukan lagi masalah TBC -takhayul, bid’ah dan churafat-, sekarang kita harus lebih perhatian terhadap agenda kemanusiaan.” Atau yang lebih cerdik lagi berkata, “Kalau kita meributkan masalah aqidah umat itu artinya kita su’udzan kepada sesama muslim, padahal su’udzan itu dosa! Jangan kalian usik mereka, yang penting kita bersatu dalam satu barisan demi tegaknya khilafah!”. Allahul musta’aan…

Sampai Kapan Kita Bicara Tauhid?

Tauhid adalah agenda terbesar umat Islam di sepanjang zaman. Sebab tauhid adalah hikmah penciptaan, tujuan hidup setiap insan, misi dakwah para nabi dan rasul, dan muatan kitab-kitab suci yang Allah turunkan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kalian siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul -yang menyeru-; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami utus sebelum kamu -hai Muhammad- seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepada mereka, bahwasanya tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiya’: 25)

Bahkan, tauhid adalah syarat pokok diterimanya amalan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan janganlah mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. al-Kahfi: 110). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, apabila kamu berbuat syirik maka benar-benar semua amalanmu akan terhapus, dan kamu pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65). Lebih daripada itu, kemusyrikan -sebagai lawan dari tauhid- menjadi sebab seorang hamba terhalang masuk surga untuk selama-lamanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan sama sekali tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu.” (QS. al-Maa’idah: 72). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku, seluruhnya adalah untuk Allah Rabb seluruh alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintahkan, dan aku adalah orang yang pertama kali pasrah.” (QS. al-An’aam: 162-163).

Oleh sebab itu, berbicara masalah tauhid berarti berbicara mengenai hidup matinya kaum muslimin dan keselamatan mereka di dunia maupun di akherat. Berbicara masalah tauhid adalah berbicara tentang tugas mereka sepanjang hayat masih dikandung badan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Rabbmu sampai datang kematian.” (QS. al-Hijr: 99). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, dia pasti masuk neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu). Maka dengan alasan apakah agenda yang sangat besar ini dikesampingkan?

Kami Berjuang Demi Membela Hak-Hak Manusia!

Seruan semacam ini sering kita dengar. Dan banyak sekali kalangan yang tertipu dan terbius dengannya, sampai-sampai sebagian aktifis gerakan dakwah pun termakan oleh slogan ini. Padahal, di balik slogan -yang terdengar merdu ini- tersimpan rencana jahat Iblis dan bala tentaranya untuk menjauhkan manusia dari jalan Allah ta’ala, yaitu jalan tauhid. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah, di atas landasan bashirah/ilmu, inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku…” (QS. Yusuf: 108).

Hak-hak manusia sedemikian agung dalam pandangan mereka. Mereka benci dan murka apabila hak-hak manusia dihinakan dan diinjak-injak oleh sesamanya. Mereka pun bangkit dengan mengatasnamakan pejuang hak azasi manusia, pembela rakyat kecil, pembela kaum tertindas, dan gelaran-gelaran ‘keren’ lainnya. Orang-orang pun merasa tertuntut untuk mendukung mereka, karena mereka khawatir disebut tidak punya kepedulian terhadap sesama. Dan yang lebih busuk lagi, kalau ada yang menjadikannya sebagai sarana untuk meraih ambisi kekuasaan belaka!

Padahal, hak-hak manusia -sebesar apapun jasanya, semulia apapun kedudukannya- tetap saja masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan hak Allah ta’ala, Rabb yang menciptakan dan mengatur jagad raya. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan agar dakwah tauhid didahulukan sebelum ajakan-ajakan yang lainnya. Beliau bersabda, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka yaitu supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma). Demikian pula beliau mengajarkan kepada kita, “Hak Allah atas hamba adalah hendaknya mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu). Namun, jangan disalahpahami bahwa ini berarti kita meremehkan hak-hak manusia, sama sekali tidak!

Jangan Bicara Masalah Bid’ah!

Ungkapan semacam ini pun sering terlontar. Dalam persepsi mereka, bid’ah itu adalah masalah sensitif yang tidak perlu diungkit-ungkit. Mengapa demikian? Karena dengan memperingatkan umat dari bahaya bid’ah dan menjelaskan amalan-amalan serta keyakinan-keyakinan yang bid’ah akan menyebabkan timbulnya konflik internal di dalam tubuh kaum muslimin, dan menurut ‘hemat mereka’ hal itu akan melemahkan kekuatan kaum muslimin dan memecah belah persatuan mereka. Sepintas, sepertinya ini adalah alasan yang masuk akal dan bisa diterima… Namun, jangan terburu-buru! Karena ternyata cara berpikir semacam ini tidak dibenarkan oleh agama.

Sebelumnya, kita yakini bersama bahwa bid’ah adalah tercela dan sesat. Allah tidak menerima ibadah yang dilakukan namun tidak ada tuntunannya alias diada-adakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha). Sebagian ulama salaf juga berkata, “Bid’ah lebih disukai Iblis daripada maksiat. Karena maksiat masih ada kemungkinan diharapkan taubat darinya. Adapun bid’ah, maka sulit diharapkan taubat darinya.” Selain itu, sebagaimana kita yakini pula bahwa dalam berdakwah kita harus bersikap bijak, tidak boleh serampangan atau asal-asalan. Bahkan, sikap bijak/hikmah merupakan pilar dalam dakwah. Namun, bersikap bijak bukan dengan cara membiarkan kemungkaran merajalela tanpa pengingkaran kepadanya.

Tatkala bid’ah menjadi penghalang diterimanya amalan, bahkan ia termasuk kategori dosa dan kemungkaran, maka sudah sewajarnya seorang da’i memperingatkan bahayanya dan menjelaskannya kepada umat. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di setiap khutbah Jum’at beliau selalu memperingatkan umat dari bahaya bid’ah dan mengingatkan mereka bahwa setiap bid’ah adalah kesesatan yang berujung kepada kehancuran, sebagaimana yang tertera di dalam khutbatul hajah di setiap awal ceramah. Oleh sebab itu para ulama menganggap bahwa orang yang membantah ahlul bid’ah adalah termasuk golongan mujahid!

Tidakkah anda ingat bagaimana sahabat Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma dengan ilmu sunnah yang dimilikinya dengan tegas membantah dan berlepas diri dari bid’ah Qadariyah yang muncul di masanya? Demikian pula para ulama salaf lainnya seperti Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah yang dengan tegar mempertahankan aqidah al-Qur’an kalamullah dan bukan makhluk, dan masih banyak ulama lain yang melakukan perjuangan serupa seperti mereka berdua dengan segala resiko yang harus mereka tanggung di jalan dakwah ini. Maka apabila kita telah mengetahui itu semua, jelaslah bagi kita bahwa seorang da’i yang tidak menempuh jalan ini -memperingatkan umat dari bahaya bid’ah- itu maknanya dia telah berkhianat terhadap amanah dakwah. Karena ‘pengkhianatannya’ itulah statusnya akan berubah dari seorang da’i ilallah -orang yang mengajak kepada Allah- menjadi da’i ila ghairillah -orang yang mengajak kepada selain Allah-! Nas’alullahas salamah

Jangan Merasa Paling Benar!

Sebagian orang ketika ditegur dan diingatkan untuk meninggalkan atau menjauhi perkara-perkara yang menyimpang dari agama -karena bertentangan dengan al-Qur’an ataupun as-Sunnah- dengan ringannya mengucapkan perkataan semacam itu. Entah penyimpangan itu terkait dengan aqidah, ibadah, ataupun masalah yang lainnya. Entah itu termasuk dalam kategori syirik, kekafiran, kebid’ahan ataupun kemaksiatan yang lainnya. Belum lagi, jika orang tersebut memiliki sedikit ‘ilmu’ dan wawasan, maka dengan sigapnya dia akan ‘memperkosa’ dalil demi melanggengkan tindakannya yang keliru. Keras kepala, itulah sifat yang melekat dalam dirinya. Kalau dicermati lebih dalam, justru ternyata sikapnya yang tidak mau menerima nasehat dan teguran itu merupakan bentuk kesombongan dan ekspresi perasaan diri yang paling benar [!], Wal ‘iyadzu billah…

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir…” (QS. an-Nisaa’: 59). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidak beriman sampai mereka mau menjadikan kamu -Muhammad- sebagai hakim atas segala perkara yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak mendapati rasa sempit dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka pun pasrah sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa’: 65). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang mukmin lelaki maupun perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka itu. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah dia -Muhammad- itu berbicara melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm: 3-4). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasehat, untuk Allah, Kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan untuk rakyatnya.” (HR. Muslim dari Tamim bin Aus ad-Dari radhiyallahu’anhu).

Tauhid Sudah Ada di Dada-Dada Manusia!

Sebagian orang mengucapkan perkataan semacam ini, sehingga secara sadar ataupun tidak dia telah menjauhkan manusia dari dakwah tauhid. Berangkat dari asumsi yang salah itulah maka mereka tidak lagi memberikan porsi besar bagi dakwah tauhid. Mereka pun beralih ke kancah perpolitikan ala Yahudi dan menyibukkan diri dengan sesuatu yang menyeret mereka dalam kehinaan. Apabila dikaji sebabnya, maka hanya ada dua kesimpulan; mungkin karena ketidaktahuannya sehingga dengan mudahnya dia berkata demikian, atau karena dia mengetahui kebenaran namun sengaja berpaling darinya. Dan keduanya ini apabila menimpa seorang yang digelari sebagai da’i, ustadz ataupun murabbi merupakan realita yang sangat pahit sekali. Oleh sebab itu, kita perlu meluruskannya.

Sebagaimana kita ketahui bahwa tauhid bukan sekedar ucapan la ilaha illallah yang tidak diiringi dengan konsekuensinya. Orang-orang munafikin di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan la ilaha illallah, akan tetapi mereka divonis akan menempati kerak neraka yang paling bawah. Hal itu tidak lain karena mereka tidak jujur dalam mengucapkannya. Tauhid juga bukanlah sekedar keyakinan bahwa Allah sebagai satu-satunya pencipta, penguasa dan pemelihara alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan serta yang melimpahkan rezki, bukan itu saja! Sebab apabila memang itu tauhid yang dimaksud oleh dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya beliau tidak perlu mengobarkan peperangan kepada kaum kuffar Quraisy yang telah mengimani perkara-perkara itu.

Jangan Runtuhkan Persatuan!

Apabila para da’i berbicara tentang tauhid dan membantah berbagai macam bentuk kemusyrikan yang ada serta menjelaskan sunnah dan membongkar berbagai macam bentuk bid’ah yang merajalela, maka bangkitlah sebagian orang dengan semangat bak pahlawan seraya berteriak, “Mengapa kalian sibukkan umat dengan urusan semacam ini? Umat akan terpecah belah akibat dakwah kalian.” Inilah komentar-komentar sinis yang mereka lontarkan. Padahal, kita telah mengetahui bersama bahwa persatuan kaum muslimin yang hakiki -yang dengannya mereka akan selamat di hadapan Rabbnya- adalah persatuan di atas tauhid dan sunnah, bukan persatuan di atas syirik dan bid’ah! Orang-orang yang gemar menebar syirik dan bid’ah -dengan dipoles berbagai macam hiasan- maka mereka itulah sesungguhnya gerombolan pemecah belah dan pengacau persatuan!

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman maka niscaya Kami akan biarkan dia terombang-ambing di atas kesesatan yang dipilihnya, dan Kami akan memasukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan sungguh Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu -kiamat- tidak akan bermanfaat harta dan keturunan, melainkan bagi orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara: 88-89). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu -kiamat- orang-orang yang -dahulu ketika di dunia- saling berkasih sayang berubah menjadi saling memusuhi, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zukhruf: 67). Allah ta’ala juga berfirman mengenai seruan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam kepada kaumnya (yang artinya), “Sesungguhnya Allah, Dialah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia -saja-. Inilah jalan yang lurus.” (QS. az-Zukhruf: 64). Allah ta’ala berfirman tentang dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain itu, karena hal itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Itulah yang Dia perintahkan kepada kalian mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. al-An’aam: 153)

Khilafah, Itu Solusinya!

Sebagian gerakan Islam yang telah kehilangan arah dan lalai dari misi dakwah para rasul sangat getol mendengung-dengungkan slogan ini. Menurut mereka, tanpa khilafah berarti tiada syari’ah. Tanpa khilafah, kaum muslimin tidak bisa berbuat apa-apa. Maka jadilah khilafah sebagai target perjuangan dan misi utama dakwah mereka. Tidak ada satupun problema di masyarakat atau negara melainkan mereka sangkut-sangkutkan dengan khilafah dan politik kekuasaan. Mereka menuding para da’i tauhid sebagai da’i kampungan yang tidak bisa bicara kecuali masalah-masalah sepele. Tidak bisa mengatasi masalah bangsa, tidak punya visi ke depan demi kejayaan umat, dan lain sebagainya.

Padahal, kita semua tahu bahwa bangunan umat ini tidak akan tegak dan kokoh kecuali di atas aqidah yang kuat dan murni. Seorang muslim dengan aqidah yang kokoh akan dengan sukarela menerapkan syari’ah dalam kehidupannya sekuat kemampuannya, meskipun misalnya ternyata khilafah belum mampu mereka wujudkan karena kondisi umat yang masih berlumuran dengan kotoran-kotoran keyakinan dan bid’ah yang sedemikian luas menjangkiti anak bangsa dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi dan melindas lembaran sejarah sedemikian lama.

Perubahan ini membutuhkan proses yang bertahap, tidak bisa terjadi secara tiba-tiba seperti membalikkan telapak tangan begitu saja. Hal ini dapat kita saksikan dalam individu-individu kaum muslimin. Yang mana perubahan menjadi baik itu memerlukan proses dan tahap yang tidak sebentar. Nah, bagaimana lagi dengan sekelompok orang yang memiliki beragam problema, sebuah negara, apalagi kumpulan negara dengan jutaan masalah yang menghimpit warga negara mereka masing-masing? Tentu merubahnya tidak cukup dengan teriakan dan slogan semata. Kembali kepada syari’ah tidak seratus persen bergantung pada khilafah. Betapa banyak syari’at yang bisa diterapkan oleh seorang individu umat ini, sebuah keluarga atau sekumpulan orang tanpa perlu menunggu tegaknya khilafah. Tidak ada yang salah dalam merindukan khilafah, akan tetapi tatkala khilafah menjadi tujuan dan cita-cita dakwah maka silahkan anda jawab sendiri pertanyaan ini; Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah dengan tujuan mendirikan khilafah, ataukah menegakkan tauhid?

Dari situlah perlu kita camkan wahai saudaraku, bahwa tidak akan berhasil upaya apapun yang ditempuh oleh gerakan mana saja selama mereka lebih memilih jalannya sendiri dan tidak mau mengikuti jejak para pendahulu mereka. Imam Malik rahimahullah telah mengingatkan, “Tidak akan baik urusan akhir umat ini kecuali dengan sesuatu yang telah memperbaiki generasi awalnya.” Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak halal baginya meninggalkan hal itu gara-gara mengikuti pendapat seseorang.” Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Ikutilah tuntunan dan jangan membuat ajaran-ajaran baru, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan sebagian kaum dengan sebab Kitab ini -al-Qur’an- dan akan menghinakan sebagian kaum yang lain dengan sebab Kitab ini pula.” (HR. Muslim dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d: 11).

Sungguh benar ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun tidak berhasil mendapatkannya.” Betapa banyak orang yang mengira dirinya pejuang Islam, mujahid dakwah, da’i kebenaran, namun ternyata mereka salah jalan dan justru menjadi musuh Islam dari dalam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kuberitakan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dalam kehidupan dunia akan tetapi mereka mengira bahwa mereka telah melakukan kebaikan yang sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahfi: 103-104)

Saudaraku, betapa banyak rumah yang roboh bukan karena tiupan angin kencang ataupun terpaan banjir bandang. Akan tetapi ia roboh karena pondasinya yang tidak kokoh, karena pilar-pilarnya yang begitu lemah, tidak kuat menopang dinding dan atap serta barang-barang berat yang ada di dalamnya, sehingga tatkala getaran kecil gempa menyapa maka luluh lantaklah seluruh sendi-sendinya dan runtuhlah rumah itu menimpa pemiliknya! Maka demikianlah perumpamaan orang-orang yang mengimpikan kekuasaan dan khilafah namun menyingkirkan agenda terbesar umat Islam yang sesungguhnya. Jadi, sepenting apakah tauhid itu? Kini anda telah bisa menjawabnya.


Sumber: www.muslim.or.id

TERORIS BUKAN SEORANG MUJAHID!!!

Oleh: Ustadz Ari Wahyudi


Kaum muslimin, semoga Allah membimbing kita di atas jalan-Nya yang lurus. Di hari-hari ini kita bisa melihat dengan mata kepala kita, bagaimana sejarah perjuangan umat Islam kembali dinodai oleh ulah oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan Islam dan jihad. Dengan seenaknya mereka melakukan tindak pengeboman, penghancuran, serta berupaya untuk mengacaukan ketentraman negeri kaum muslimin dengan kedok jihad dan ijtihad. Padahal Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari apa yang mereka lakukan.

Alangkah cocok sebuah bait syair yang menggambarkan keadaan orang-orang seperti mereka,

Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila
Namun, malang. Ternyata Laila tidak mengiyakan omongan mereka

Begitulah kurang lebih keadaan mereka. Dengan tanpa malu-malu, mereka mengaku sebagai barisan mujahidin dan menobatkan diri sebagai mujtahid. Bagaimana mungkin orang yang gemar menebar kekacauan dan kerusakan di atas muka bumi dengan membunuh nyawa tanpa hak layak untuk disebut sebagai mujahid, apalagi dinobatkan sebagai mujtahid? Allahul musta’an! Di manakah akal mereka?

Orang-orang yang salah sangka

Saudaraku sekalian, marilah kita renungkan barang sejenak fenomena yang menyayat hati ini. Para pemuda yang jahil/tidak mengerti syari’at Islam dengan mudahnya ditipu oleh mujahid dan mujtahid gadungan. Sehingga akhirnya nyawa mereka sendiri pun mereka relakan -dengan aksi bom bunuh diri- untuk memperjuangkan apa yang mereka kira sebagai sebuah jihad dan pengorbanan untuk agama. Aduhai, alangkah malang nasib mereka. Tidakkah mereka ingat akan sebuah firman Allah yang menceritakan keadaan orang-orang seperti mereka, yang bersusah payah melakukan suatu usaha dan menyangka telah mempersembahkan sesuatu yang terbaik bagi agamanya. Padahal kenyataannya mereka adalah orang yang paling merugi amalnya. Allah ta’ala berfirman,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah: Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dunia sementara mereka mengira telah melakukan sesuatu kebaikan dengan sebaik-baiknya.” (Qs. al-Kahfi: 103-104)

Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib, ad-Dhahhak dan para ulama lainnya bahwa golongan yang termasuk dalam cakupan ayat ini adalah kaum Haruriyah/Khawarij. Meskipun ayat ini juga mencakup celaan bagi Yahudi dan Nasrani. Sehingga Ibnu Katsir menyimpulkan, “Sesungguhnya ayat ini berlaku umum bagi siapa saja yang beribadah kepada Allah namun tidak di atas jalan yang diridhai Allah. Dia menyangka bahwa dia berada di pihak yang benar dan amalnya akan diterima. Padahal, sebenarnya dia adalah orang yang bersalah dan amalnya tertolak.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/151-152])

Haram bicara agama tanpa ilmu!

Saudaraku sekalian, sesungguhnya kemuliaan Islam ini akan ternoda tatkala orang yang bukan ahlinya berbicara tentang sesuatu yang menyangkut ajaran agama. Tidakkah kita ingat firman Allah ta’ala,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Qs. al-Isra’: 36)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah angkat bicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah)

Ruwaibidhah bukanlah mujtahid. Mujtahid berbicara dengan ilmu, sedangkan Ruwaibidhah berbicara dan berfatwa dengan kejahilan/kebodohan mereka. Perhatikanlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Apabila seorang hakim hendak memutuskan sesuatu lalu berijtihad kemudian benar maka dia memperoleh dua pahala. Adapun apabila dia akan memutuskan sesuatu lalu berijtihad kemudian tersalah maka dia akan memperoleh satu pahala.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-I’tisham bil Kitab wa Sunnah dari Amr bin al-’Ash radhiyallahu’anhu)

al-Hafizh Ibnu Hajar menukil keterangan dari Ibnul Mundzir, beliau mengatakan, “Seorang hakim yang tersalah itu mendapat pahala sesungguhnya hanyalah apabila dia adalah seorang alim/yang berilmu tentang ijtihad kemudian dia pun berijtihad. Adapun apabila dia bukanlah seorang yang alim/berilmu maka dia tidak mendapatkan pahala.” Bahkan apabila dia nekad memutuskan dan mengeluarkan fatwa tanpa ilmu maka dia berdosa, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar sebelum menukil ucapan Ibnul Mundzir di atas. Beliau juga menukil keterangan dari al-Khatthabi bahwa seorang yang berijtihad akan diberi pahala jika dirinya memang telah memiliki alat-alat/ilmu untuk berijtihad. Orang seperti itulah yang apabila tersalah masih bisa diberi toleransi (lihat Fath al-Bari [13/364])

Syaikh Muhammad bin Husain al-Jizani mengatakan, “Ijtihad tidak boleh dilakukan kecuali oleh seorang yang faqih/ahli hukum agama yang mengetahui dalil-dalil dan tata cara menarik kesimpulan hukum darinya, sebab melakukan penelitian terhadap dalil-dalil tidak mungkin dilakukan -dengan benar- kecuali oleh orang yang memang ahli di dalam bidangnya.” (Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 470).

Terlebih lagi, untuk berijtihad ada syarat-syaratnya yang tidak sembarang orang bisa memenuhinya. Di antaranya adalah: [1] Memahami seluk beluk sumber hukum yaitu al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’, Qiyas, dsb. [2] Memahami bahasa Arab [3] Mengetahui maksud dari ungkapan umum dan khusus dalam bahasa Arab, muthlaq dan muqayyad. Bisa membedakan antara nash, zhahir, dan mu’awwal. Mujmal dan mubayyan. Manthuq dan mafhum, dsb [4] Dia harus mengerahkan segenap kemampuannya dalam mengambil kesimpulan hukum, tidak boleh setengah-setengah. Itu adalah sebagian syarat yang terkait dengan orangnya. Masih ada lagi syarat lain yang terkait dengan perkara yang menjadi objek ijtihad, di antaranya: bukan dalam perkara yang sudah ada dalil tegasnya, dalil yang ada dalam perkara tersebut memang masih membuka ruang -tidak dipaksakan- yang memungkinkan adanya perbedaan penafsiran, dsb (lebih lengkap baca di Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 479-484).

Berbuat dosa kok mengharap pahala?

Di manakah letak ilmu pada diri orang yang melakukan bom bunuh diri dan menyuruh orang lain untuk bunuh diri? Padahal Allah ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (Qs. an-Nisaa’: 29)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu alat/senjata maka dia akan disiksa dengannya kelak pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin ad-Dhahhak radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)

Ketika mengomentari ulah sebagian orang yang nekad melakukan bom bunuh diri dengan alasan untuk menghancurkan musuh, maka Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Hanya saja kami katakan, orang-orang itu yang kami dengar melakukan tindakan tersebut, kami berharap mereka tidak disiksa seperti itu sebab mereka adalah orang-orang yang jahil/bodoh dan melakukan penafsiran yang keliru. Akan tetapi, tetap saja mereka tidak memperoleh pahala, dan mereka bukan orang-orang yang syahid dikarenakan mereka telah melakukan sesuatu yang tidak diijinkan oleh Allah, akan tetapi mereka telah melakukan apa yang dilarang oleh-Nya.” (Syarh Riyadh as-Shalihin, dinukil dari al-Kaba’ir ma’a Syarh Ibnu Utsaimin, hal. 109)

Di manakah letak ilmu pada diri orang yang membunuh nyawa orang kafir tanpa hak? Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Barang siapa yang membunuh seorang kafir yang terikat perjanjian -dengan kaum muslimin atau pemerintahnya- maka dia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya baunya itu akan tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jizyah dan Kitab ad-Diyat dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, lafaz ini ada di dalam Kitab al-Jizyah)

al-Munawi menjelaskan bahwa ancaman yang disebutkan di dalam hadits ini merupakan dalil bagi para ulama semacam adz-Dzahabi dan yang lainnya untuk menegaskan bahwa perbuatan itu -membunuh kafir mu’ahad- termasuk kategori dosa besar. Meskipun seorang muslim tidak mesti dihukum bunuh sebagai akibat dari kejahatan itu (Faidh al-Qadir [6/251] as-Syamilah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حتَّى يَشْهَدُوا أنْ لا إلَهَ إلاَّ الله، وأَنَّ مُحَمَّداً رسولُ اللهِ، ويُقيموا الصَّلاةَ ، ويُؤْتُوا الزَّكاةَ ، فإذا فَعَلوا ذلكَ ، عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءهُم وأَموالَهُم، إلاَّ بِحَقِّ الإسلامِ ، وحِسَابُهُم على اللهِ تَعالَى

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, apabila mereka telah melakukannya maka terjagalah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan alasan haq menurut Islam, dan hisab mereka terserah pada Allah ta’ala.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma)

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah menerangkan bahwa di dalam kata-kata “apabila mereka telah melakukannya maka terjagalah darah dan harta mereka dariku” terdapat dalil yang menunjukkan bahwa orang kafir itu hartanya boleh diambil dan darahnya boleh ditumpahkan. Dan orang yang dimaksud di dalam hadits ini adalah kafir harbi, yaitu orang kafir yang sedang terlibat peperangan dengan pasukan kaum muslimin. Oleh sebab itu misalnya jika anda mengambil harta seorang kafir harbi maka tidak ada hukuman bagi anda. Adapun orang kafir mu’ahad, kafir musta’man dan kafir dzimmi -ketiganya bukan kafir harbi,pen- maka mereka semua tidak boleh diperangi (lihat Syarah Arba’in, hal. 63)

Berjihadlah!

Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya seorang mujahid sejati adalah orang yang menundukkan hawa nafsunya untuk melakukan ketaatan kepada Allah -termasuk di dalamnya memerangi orang kafir dengan cara yang benar-, bukan dengan melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ

“Orang yang berjihad adalah orang yang berjuang menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah.” (HR. Ahmad dari Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu’anhu dinilai sahih oleh al-Albani dalam as-Shahihah [549] as-Syamilah)

Tanyakanlah kepada dirimu: Bukankah Nabi melarang membunuh orang kafir tanpa hak? Bukankah kita wajib taat kepada beliau? Bukankah ketaatan kepada Nabi itu pada hakikatnya merupakan ketaatan kepada Allah? Lalu dengan alasan apa kita menghalalkan darah yang diharamkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ditumpahkan? Apakah kita merasa berada di atas agama yang lebih baik dan lebih hebat daripada agama yang diajarkan oleh Rasulullah? Jawablah wahai orang-orang yang masih memiliki akal dan hati nurani!

Sejak kapan membunuh orang kafir tanpa hak disebut jihad? Sejak kapan meledakkan gedung-gedung umum yang menimbulkan jatuhnya korban tanpa pandang bulu disebut sebagai jihad? Tanyakanlah kepada mereka yang sok menjadi mujtahid dan membolehkan ‘jihad’ ala teroris semacam itu: ijtihad ulama manakah yang membolehkan seorang muslim membunuh dirinya dan meledakkan bangunan umum yang berakibat melayangnya nyawa-nyawa tak bersalah? Atau barangkali yang mereka sebut sebagai ulama mujtahid itu memang bukan ulama alias Ruwaibidhah? Waspadalah -wahai para pemuda- dari tipu daya, silat lidah, dan penampilan mereka!

Ingatlah, sesungguhnya jihad yang diridhai Allah adalah jihad di jalan-Nya yang lurus, bukan di jalan yang menyimpang. Allah ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“Orang-orang yang sungguh-sungguh berjuang/berjihad di jalan Kami niscaya Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik/ihsan.” (Qs. al-’Ankabut: 69)

al-Baghawi menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata tentang tafsiran ayat ini, “Yaitu orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh di dalam ketaatan kepada Kami niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan untuk meraih pahala dari Kami.” (Ma’alim at-Tanzil [6/256] as-Syamilah)

Maka marilah kita berjihad di atas ketaatan, bukan di atas kedurhakaan!

Hati-hatilah dari al-Qa’adiyah masa kini!

al-Qa’adiyah merupakan salah saktu sekte Khawarij yang memiliki ideologi Khawarij, hanya saja mereka tidak memilih sikap memberontak. Meskipun demikian, mereka menganggap pemberontakan sebagai perkara yang baik, tidak boleh diingkari, bahkan berpahala! Dengan kata lain -dalam bahasa sekarang- mereka menilai bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh rekan-rekan mereka -dengan menimbulkan kekacauan dan mengancam penguasa; bom bunuh diri dan semisalnya- bukan perkara yang salah, alias hasil ijtihad yang harus dihargai dan layak untuk diberi pahala [?!] Sampai-sampai salah seorang tokoh mereka di negeri ini berkata, “Menurut saya mereka adalah mujahid. Dan apa yang mereka lakukan itu merupakan hasil ijtihad mereka. Walaupun saya tidak sependapat dengan -hasil ijtihad- mereka.” Inilah ucapan gembongnya Khawarij di negeri ini!

Ketika menjelaskan biografi ringkas Imran bin Hitthan -salah seorang perawi hadits yang terseret paham Khawarij- Ibnu Hajar berkata, “al-Qa’adiyah adalah salah satu sekte dari kelompok Khawarij. Mereka berpendapat sebagaimana pendapat Khawarij, namun mereka tidak ikut melakukan pemberontakan. Akan tetapi mereka menghias-hiasi/menilai baik perbuatan itu.” (Hadyu as-Sari, hal. 577). Sebelumnya, Ibnu Hajar juga menukil ucapan Abul Abbas al-Mubarrid, “Imran bin Hitthan adalah gembong kelompok al-Qa’adiyah dari aliran Shafariyah. Dia adalah khathib/orator dan penya’ir di kalangan mereka.” (Hadyu as-Sari, hal. 577). Imran bin Hitthan inilah yang meratapi kematian Abdurrahman bin Muljam -sang pembunuh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu- dengan untaian bait-bait sya’irnya yang heroik. Dikisahkan bahwa pada akhir hidupnya dia kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan paham Khawarij, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Zakariya al-Mushili di dalam Tarikh al-Mushil (lihat Hadyu as-Sari, hal. 577,578, lihat juga Tahdzib at-Tahdzib [8/128] as-Syamilah)

Ibnu Hajar mengatakan,

والقَعَدية الذين يُزَيِّنون الخروجَ على الأئمة ولا يباشِرون ذلك

“al-Qa’adiyah adalah orang-orang yang menghias-hiasi perbuatan pemberontakan kepada para pemimpin -umat Islam- dan mereka tidak ikut terjun langsung dalam tindakan tersebut.” (Hadyu as-Sari, hal. 614 cet Dar al-Hadits)

as-Syahrastani mengatakan,

كل من خرج على الإمام الحق الذي اتفقت الجماعة عليه يُسمى خارجياً سواء كان الخروج في أيام الصحابة على الأئمة الراشدين أو كان بعدهم على التابعين بإحسان والأئمة في كل زمان

“Setiap orang yang memberontak kepada pemimpin yang sah yang disepakati oleh rakyat sebagai pemimpin mereka maka dia disebut sebagai Khariji (kata tunggal dari Khawarij). Sama saja apakah dia melakukan pemberontakan itu di masa sahabat masih hidup kepada para pemimpin yang lurus atau setelah masa mereka yaitu kepada para tabi’in yang senantiasa mengikuti pendahulu mereka dengan baik serta para pemimpin umat di sepanjang masa.” (al-Milal wa an-Nihal [1/28] as-Syamilah)

Salah satu pemikiran Khawarij yang berkembang saat ini -terutama di kalangan sebagian pemuda Islam yang bersemangat tapi tanpa ilmu- adalah pendapat yang membolehkan -tidak harus- untuk memberontak kepada pemimpin muslim yang zalim (lihat mukadimah kitab al-Khawarij wal Fikru al-Mutajjaddid karya Syaikh Abdul Muhsin bin Nashir al-Ubaikan, hal. 6). Sebagaimana pula keterangan semacam ini pernah kami dengar dari perkataan Syaikh Abdul Malik Ramadhani dalam sebuah rekaman video ceramah beliau ketika memberikan pelajaran kitab asy-Syari’ah karya Imam al-Ajurri.

Inilah sekelumit nasihat dan pelajaran bagi kita semua. Semoga masih ada telinga yang mau mendengar dan hati yang masih mau menerima kebenaran. Sebagian sumber tulisan ini kami ketahui dari buku Madarik an-Nazhar fi as-Siyasah karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani, serta buku Mereka adalah Teroris susunan Ust. Luqman Ba’abduh, semoga Allah menerima amal kita dan mereka, serta mengampuni dosa kita dan mereka.

Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami yang benar itu benar, dan karuniakanlah kepada kami ketaatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami yang salah itu salah, dan karuniakanlah kepada kami keteguhan sikap untuk menjauhinya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Sumber: www.muslim.or.id