Rabu, 19 Oktober 2011

SALAFI BUKAN TERORIS (HASIL PENELITIAN ICG)

Stigma sebagian masyarakat kita bahkan dunia, teroris di arahkan kepada pribadi dengan atribut tertentu seperti orang berjenggot, pakai celana di atas mata kaki (celana cingkrang/kebanjiran), pakai jubah, pakai kopiyah, wanitanya (isterinya) pakai jilbab besar (bercadar). Gerak geriknya seringkali dicurigai, mau pergi ke masjid atau ke pengajian jalannya selalu diintai dan digunjing banyak orang.

Inilah yang terjadi sekarang ini, banyak orang salah menilai sesuatu karena banyaknya pemberitaan atau gosip yang simpang siur . Berita yang kecil seringkali dibesar-besarkan dan berita yang besar juga dikecil-kecilkan. Setiap orang bebas mengumbar fakta sehingga analisisnya pun menjadi serba tak beraturan. Bahkan, kasus terorisme yang hilir mudik di negeri ini seringkali menjadi berita miring untuk Islam.

Benarkah penilain tersebut di atas ?

Ada baiknya merilah kita menyimak dari hasil penelitian orang barat yang dilakukan oleh ICG (International Crisis Group)/www.icg.org. ICG sendiri merupakan organisasi independent, non profit, dan bersifat multinasional. Bekerja berdasarkan analisa lapangan dan saran bermutu tinggi untuk mencegah dan memecahkan konflik mematikan.

Laporan dan temuan ICG disebarkan melalui e-mail (surat elektronik), kantor kementrian luar negeri, dan organisasi internasional yang lain. ICG bekerja secara khusus dengan pemerintah dan mereka yang terlibat dengannya, termasuk media massa untuk menyebarkan analisa tentang krisis yang terjadi dan memberikan bantuan rumusan-rumusan kebijakan.

ICG mendapatkan dana dari pemerintah, badan amal, perusahaan-perusahaan dan bantuan secara perseorangan. Bantuan yayasan dan sektor swasta di antaranya Ford Foundation, Yayasan Sarlo dari dana amal masyarakat yahudi, Bill & Melinda Gates Foundation, William & Flora Hewlett Foundation dan John Merck Fund.

Hasil Penelitian ICG

Salah satu hasil “perang terhadap terorisme” di Indonesia adalah ditingkatkannya pengawasan terhadap hubungan-hubungan dengan institusi di Timur Tengah dan aliran pemurni Islam yang dikenal Salafi.

Para pengamat luar khususnya, dan juga beberapa orang di Indonesia cenderung menganggap Salafi bertentangan dengan muslim di Indonesia umumnya, berkembang secara sembunyi-sembunyi, dan berbahaya karena mengajarkan kekerasan.

Semua anggapan dan kekhawatiran tersebut adalah tidak terbukti. Hasil laporan ICG tentang kejadian di Indonesia itu, menyimpulkan bahwa kebanyakan Salafi di Indonesia memandang pelaku peledakan di beberapa tempat adalah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Malah Salafi ini lebih bisa sebagai penghalang meluasnya kegiatan semacam itu, dari pada sebagai pendorong.

Istilah Salafi menggambarkan suatu gerakan yang berusaha kembali kepada apa yang dipahami para pengikutnya sebagai ajaran Islam yang paling murini/bersih, yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan dua generasi pertama yang shalih (salafus shalih) dan setia. Dalam praktiknya, hal ini berarti menolak bid’ah yang di masukkan dalam agama ini.

Sifat-sifat pokok "gerakan" Salafi di Indonesia di antaranya;

a. Bersifat keagamaan, bukan politik

b. Menjauhkan diri dari ikatan-ikatan partai atau golongan, kerena akan memecah belah masyarakat muslim dan mengalihkan perhatian dari mempelajari akidah Islam dan manhaj (cara beragama) yang benar

c. Tidak melakukan baiat terhadap yang diangkat sebagai pemimpin/imam

d. Percaya bahwa tidak dibolehkan membrontak terhadap pemerintah muslim yang sah, tidak peduli walaupun menindas dan tak adil. Hal ini berkebalikan dengan kebanyakan gerakan-gerakan Islam yang lain. (lebih baik menolong muslim yang tertindas, daripada mengobarkan perang terhadap sasaran-sasaran simbolis yang mungkin terdapat warga sipil yang tak berdosa di dalamnya)

Walapun beberapa orang yang dituduh sebagai teroris di Indonesia mengaku dan kelihatan secara fisik sebagai Salafi, cara-cara kelompok radikal itu tidak lebih jauh mewakili Salafi.

Dalam laporannya, ICG juga mempelajari perkembangan Salafi di Indonesia dan mencatat bahwa jauh sebelum dianggap bertentangan dengan Islam di Indonesia, gerakan ini hanya terbaru dari sejarah panjang gerakan pemurnian Islam .

Juga, melihat peran bantuan Saudi terhadap perkembangan Salafi di tahun 1980-an dan 1990-an. Sama pentingnya dari dana tersebut adalah komunikasi yang erat antara Salafi Indonesia dengan ulama-ulama Timur Tengah, yang kebanyakan dari Saudi.

Para tokoh Salafi Indonesia jarang memutuskan untuk mengeluarkan fatwa atau tindakan tanpa meminta nasehat ulama-ulama Saudi tersebut. Contohnya Laskar Jihad, milisi yang terbukti mengobarkan “Jihad” di Ambon itu terpaksa membubarkan diri setelah salah seorang ulama penting Saudi memutuskan bahwa mereka telah menyimpang dari tujuan semula.

Fakta bahwa para Syaikh Saudi itu paling sering diminta nasehatnya oleh para Salafi Indonesia, yang para ulama itu dekat dengan pemerintah Saudi, merupakan penghalang lain untuk menghubungkan Salafi dengan gerakan yang dipimpin Osama bin Laden.

Seperti yang dipaparkan , laporan ICG menyimpulkan bahwa kebanyakan mereka yang mengatas namakan jihad dengan cara pengeboman atau perusakan lainnya (garis keras) tidak direkrut dari pesantren Salafi, tetapi dari pesantren-pesantren yang berhubungan dengan gerakan radikal, masjid-masjid di daerah pinggiran, dan wilayah dengan sejarah konflik komunal (umum).

ICG juga mengamati sedikitnya kasus-kasus yang diberitakan tentang Salafi yang “menyebrang” ke kelompok garis keras, juga menilik tulisan-tulisan Salafi terlihat sangat jauh berbeda antara gerakan ini dengan kelompok garis keras itu.

Walaupun diperlukan kajian empiris tentang latar belakang pendidikan (resmi/agama) anggota kelompok garis keras, ICG menyimpulkan bahwa Salafi di Indonesia bukanlah ancaman keamanan seperti yang terkadang digambarkan. Salafi mungkin terlihat bagi orang lain sebagai orang yang tidak toleran atau pembangkang. Tetapi dalam banyak sisi, tidak cenderung pada terorisme. Sebab mereka terfokus dalam keyakinan (aqidah) secara mendalam. Jadi, pantaskah kita katakan terorisme buat mereka?

Choirul Hisyam/ Sidoarjo

Sumber: www.nahimunkar.com

Minggu, 09 Oktober 2011

KONSEKWENSI JIHAD PERANG

Oleh: Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin

Kewajiban jihad tetap akan berlangsung hingga hari akhir. Dalam pengertian luas (tidak hanya perang), jihad merupakan fardhu 'ain (kewajiban setiap muslim) menurut kemampuan masing-masing.

Syaikh Shalih Al Lahidan mengatakan: “Jihad pada hari ini, saya lihat merupakan fardhu 'ain bagi setiap muslim untuk mengajak orang masuk ke dalam dinul Islam, dengan cara hikmah dan nasihat yang baik (mau'izhah hasanan). Adalah memungkinkan bagi setiap muslim pada zaman ini untuk berjihad fi sabilillah (dalam pengertian luas,-Pen); maka tidak ada alasan bagi muslim untuk meninggalkan jihad” [1].

Namun, jihad dalam arti perang memiliki kaidah-kaidah, pedoman-pedoman serta aturan-aturan. Hukumnyapun bisa berbeda-beda. Begitu pula dengan lawan, yang dalam jihad juga harus teridentifikasi secara jelas. Perang dapat diarahkan kepada pihak-pihak yang menurut syari'at diperbolehkan untuk dilancarkan. Bukan asal disebut musuh. Lihat misalnya kasus peperangan yang dilancarkan Abu Bakar kepada penolak zakat. Yang jelas, tidak setiap perlawanan yang dimobilisasi atau terorganisir bisa disebut jihad.

Jika sasarannya orang-orang kafir, status mereka juga harus jelas, apakah mereka termasuk orang-orang yang boleh diperangi ataukah tidak. Sebab, pada sekelompok orang-orang kafir tersebut ada kafir harbi, kafir dzimmi atau mu'ahad. Begitu juga di kalangan mereka ada wanita, anak-anak dan orang-orang lanjut usia.

Untuk menetapkan, apakah orang kafir tersebut harbi atau tidak, dan apakah peperangan kepada mereka dibenarkan, khususnya pada zaman sekarang ini? Tentu persoalannya memerlukan kajian serius dan tidak bisa digeneralisir. Dalam hal ini, umat Islam tetap memerlukan bimbingan ulama yang shalih. Bukan tokoh-tokoh yang berhaluan Khawarij atau Mu'tazilah.

Sebagaimana amalan-amalan lain dalam Islam, jihad juga merupakan amalan syar'i, dan merupakan salah satu ibadah paling afdhal (utama). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya :

أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: (إِيْمَانٌ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ). قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : (اَلْجِهَادُ فِى سَبِيْلِ اللهِ) . قِيْلَ: ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : (حَجٌّ مَبْرُوْرٌ). أخرجه البخاري ومسلم في صحيحيهما.

“Amal perbuatan apakah yang paling afdhal?” Beliau menjawab,”Iman kepada Allah dan RasulNya.” (Dalam riwayat Muslim, tanpa "RasulNya"). Ditanyakan lagi kepada Beliau: “Kemudian apa?” Beliau bersabda,”Jihad di jalan Allah.” Beliau ditanya lagi: “Kemudian apa?” Beliau bersabda,”Haji mabrur.” [2]

Jika demikian halnya, maka jihad memiliki ketentuan-ketentuan yang rujukannya adalah syari'at Allah, bukan hawa nafsu, dan bukan pemaksaan kehendak dari kelompok tertentu manapun.

Jihad bukan persoalan sederhana yang hanya membutuhkan keberanian dan tidak takut mati. Jihad adalah ibadah yang memiliki konsekwensi hukum amat luas dan beresiko tinggi. Bahkan bisa fatal. Bagaimana bila seseorang mati terbunuh dalam kancah yang dianggap jihad, sedangkan apa yang dilakukannya sebagai perkara bid'ah? Bukankah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salllam telah mengingatkan dalam sabdanya:

كُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ – رواه أبو داود

"Setiap yang bid'ah adalah sesat". [HR Abu Dawud]

Atau bagaimana jika seseorang terbunuh dalam suatu peperangan, sedangkan ia dalam keadaan tidak akhlas? Bukankah neraka yang menjadi ancamannya? Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih tentang tiga golongan manusia yang diseret ke dalam neraka, salah satunya ialah orang yang mati terbunuh dalam jihad. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَوَّلُ النَّاسِ يُقْضَى لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَلَاثَةٌ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِيُقَالَ فُلَانٌ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ ...رواه النسائ

"Orang-orang yang pertama kali diputuskan pada hari Kiamat ada tiga. (Yaitu:) Pertama, seorang lelaki yang mati di medan tempur, lalu dihadirkan ke hadapan Allah dan diberitahukan tentang nikmat-nikmat Allah kepadanya, lalu diapun mengetahuinya. Allah bertanya kepadanya: “Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?” Orang ini menjawab,”Aku sudah berjuang karenaMu sampai mati.” Allah berfirman,”Engkau bohong, tapi engkau bertempur agar dikatakan si Fulan pemberani, Dan ucapan itu sudah terucapkan.” Lalu orang itu diperintahkan agar diseret sehingga dimasukkan ke dalam neraka…" [HR An Nasa-i]

Itulah sebabnya, ketika Amirul Mu'minin Abu Bakar Ash Shiddiq hendak melancarkan peperangan kepada pembangkang zakat, beliau terlebih dahulu bermusyawarah dengan para tokoh sahabat lainnya untuk memastikan hal tersebut.

Jihad, secara resmi harus di bawah payung kepemimpinan yang sah menurut syari'at; apakah itu disebut Sulthan, Amir, Imam atau apapun namanya, kecuali jihad difa' (pembelaan diri ketika diserang musuh).

Lembaga Fatwa Ulama Kerajaan Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, kemudian Syaikh Abdur Razaq Afifi (sebagai wakilnya), dan beranggotakan Syaikh Abdullah bin Qu'ud dan Syaikh Abdullah bin Ghadayyan, pernah ditanya apakah jihad saat ini fardhu 'ain, sedangkan hak-hak kaum Muslimin tercampakkan disebabkan oleh serangan bangsa asing dan lain-lain?

Dalam fatwa no. 7122, lembaga tersebut menjawab:
Jihad untuk menjunjung tinggi kalimat Allah, melindungi dinul Islam, meneguhkan penyampaian serta penyebaran dinul Islam dan menjaga kehormatan Islam, merupakan kewajiban setiap orang yang memungkinkan dan memiliki kemampuan untuk itu. Tetapi harus ada penataan dan pengorganisasian tentara, supaya tidak kacau dan tidak terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak baik akibatnya. Oleh karena itu yang berwenang memulai jihad dan berhak mengurus jihad, adalah kewenangan Waliyyu Amri Al Muslimin (Penguasa umat Islam). Kewajiban ulama adalah membangkitkan kesadaran penguasa untuk itu. Apabila penguasa sudah memulai dan memerintahkan kaum muslimin berjihad, maka wajib bagi orang yang memiliki kemampuan berjihad, untuk menyambut seruan tersebut dengan ikhlas hanya menghadapkan wajahnya kepada Allah, mengharapkan dapat membela kebenaran dan melindungi Islam. Barangsiapa yang tidak ikut serta menyambut seruan jihad, padahal seruan itu ada, sedangkan ia tidak mempunyai udzur (alasan), maka ia berdosa. Wabillahi at taufiq, wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa alihi washahbihi wasallam.[3]

Disamping itu, dalam jihad ini masih banyak sisi lain yang menuntut seseorang untuk tidak secara serampangan dalam melaksanakannya, atau menyematkan label jihad pada aktifitas yang dilakukannya. Apakah sisi lain tersebut?

Sisi lain dari jihad perang yang mungkin jarang terbayangkan oleh sebagian kaum Muslimin ialah, adanya konsekwensi-konsekwensi serta akibat-akibat yang ditimbulkan oleh jihad. Terutama hal-hal yang penyelesaiannya berkaitan dengan hukum syari'at. Secara syari'at, perihal tersebut hanya akan dapat terlaksana bila ada payung kepemimpinan yang sah. Selama payung ini tidak ada, atau tidak memobilisasi jihad, maka kewajiban jihad seperti ini tidak bisa dilaksanakan. Sebagai gantinya, kaum Muslimin harus bersabar. Caranya, yaitu tetap melaksanakan dakwah dengan hikmah secara benar sesuai dengan manhaj Salaf. Tidak dibenarkan melakukan tindakan dengan mengambil jalan pintas dengan mengangkat amir-amir atau imam-imam jama'ah untuk membenarkan penyematan label jihad. Atau secara membabi buta memaksakan kehendak untuk mendirikan Khilafah Islamiyah atau Daulah Khilafah, meskipun dengan cara memberontak yang juga dengan mengatas-namakan jihad.

Konsekwensi-konsekwensi yang timbul dari jihad tersebut di antaranya :
Pertama. Ghanimah, yaitu harta peninggalan orang-orang kafir yang didapatkan kaum muslimin karena peperangan.

Kedua. Tawanan perang, yaitu orang-orang kafir yang menjadi tawanan perang. Ini terbagi menjadi dua kelompok.

1. Kelompok yang otomatis menjadi budak, yaitu kaum wanita dan anak-anak, karena Rasulullah n melarang membunuh mereka.

2. Kelompok yang tidak otomatis menjadi budak, yaitu para lelaki dewasa. Untuk kelompok yang kedua ini, imam memiliki hak untuk menentukan antara membunuh, memperbudak, menghadiahkannya, meminta tebusan harta, atau ditukar dengan kaum Muslimin yang menjadi tawanan orang kafir. Dalam menentukan kelompok yang kedua ini, imam memilih yang dipandang maslahah. (Lihat Al Wajiz, hlm. 488).

Terhadap para tawanan ini, Islam memiliki ketentuan-ketentuan sebagai bagian dari syariat.

Ketiga. Fa-i, yaitu harta peninggalan orang-orang kafir yang didapatkan kaum muslimin tanpa didahului dengan pertempuran. Misalnya, harta yang ditinggalkan karena takut kepada pasukan muslimin, pajak dari orang kafir, serta harta peninggalan orang kafir dzimmi yang tidak memiliki ahli waris. (Lihat Al Wajiz, hlm. 490).

Semua persoalan di atas tidak mungkin menerapkannya dengan main hukum sendiri, tanpa ada pimpinan yang sah. Oleh karenanya, hukum-hukum yang berkaitan dengan jihad harus dikuasai lebih mendalam lagi, bukan asal menggelorakan semangat tanpa ilmu.

Tulisan ini tidak bermaksud mencetuskan fatwa baru berkaitan dengan perihal jihad, tetapi bertujuan mengajak seluruh pembaca untuk berhati-hati dalam bertindak, dan hendaknya bersedia secara terbuka mengkaji kembali ajaran Islam dengan benar melalui bimbingan para ulama Ahlu Sunnah, tanpa campur tangan hawa nafsu pribadi maupun kelompok. Hawa nafsu pribadi ataupun kelompok jangan sampai mendiktekan syari'at. Pemahaman terhadap syari'at tidak boleh berdasarkan opini hawa nafsu pribadi atau kelompok. Bukan apa-apa, kita hanya takut jika dalam masalah agama ini terjadi peyimpangan, yang kemudian dapat mengakibatkan kehancuran dunia-akhirat.

Jihad fi sabilillah adalah istilah suci yang tidak boleh dikotori oleh pemahaman-pemahaman rusak ala Khawarij, Mu'tazilah, Syi'ah atau ahli-ahli bid'ah lainnya. Wallahu al muwaffiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
________
Footnote
[1]. Lihat Al Jihad Fil Islam Baina Ath Thalab Wa Ad Difa', karya Syaikh Shalih Al Lahidan, Yuthlab Min Maktabah Al Haramain, Riyadh, Cet. IV, 1407-1408H, hlm. 141.
[2]. Shahih Bukhari, no. 26 -Fathul Bari (I/ 77)-, Shahih Muslim Syarah Nawawi, Tahqiq & Takhrij Khalil Ma'mun Syiha (II/260, no 244). Dan masih banyak hadits lain yang menerangkan keutamaan jihad fi sabilillah.
[3]. Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da'imah Lil Buhuts Al Ilmiyyah Wa Al Ifta', Jama' Wa Tartib, Syaikh Ahmad bin Abdur Razaq Ad Duwaisy, XII/12, tentang Hukmul Jihad, Dar Al 'Ashimah, Cet. I, 1419 H/1998M.a


Sumber: www.almanhaj.or.id

ANTARA KHILAFAH DAN DAKWAH TAUHID

Oleh: Abu Mushlih Ari Wahyudi


Boleh jadi, banyak orang beranggapan bahwa masalah tauhid itu penting dan utama, bahkan wajib. Anggapan ini seratus persen benar. Namun, karena dalam kacamata sebagian orang, tauhid itu -meskipun penting dan utama, bahkan wajib- sempit cakupannya atau ‘terlalu’ mudah untuk direalisasikan -dan bahkan menurut mereka praktek dan pemahaman tauhid pada diri masyarakat sudah beres semuanya- maka akhirnya banyak di antara mereka yang meremehkan atau bahkan melecehkan da’i-da’i yang senantiasa mendengung-dengungkannya.

Terkadang muncul celetukan di antara mereka, “Kalian ini ketinggalan jaman, hari gini masih bicara tauhid?”. Atau yang lebih halus lagi berkata, “Agenda kita sekarang bukan lagi masalah TBC -takhayul, bid’ah dan churafat-, sekarang kita harus lebih perhatian terhadap agenda kemanusiaan.” Atau yang lebih cerdik lagi berkata, “Kalau kita meributkan masalah aqidah umat itu artinya kita su’udzan kepada sesama muslim, padahal su’udzan itu dosa! Jangan kalian usik mereka, yang penting kita bersatu dalam satu barisan demi tegaknya khilafah!”. Allahul musta’aan…

Sampai Kapan Kita Bicara Tauhid?

Tauhid adalah agenda terbesar umat Islam di sepanjang zaman. Sebab tauhid adalah hikmah penciptaan, tujuan hidup setiap insan, misi dakwah para nabi dan rasul, dan muatan kitab-kitab suci yang Allah turunkan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kalian siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul -yang menyeru-; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami utus sebelum kamu -hai Muhammad- seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepada mereka, bahwasanya tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiya’: 25)

Bahkan, tauhid adalah syarat pokok diterimanya amalan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan janganlah mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. al-Kahfi: 110). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, apabila kamu berbuat syirik maka benar-benar semua amalanmu akan terhapus, dan kamu pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65). Lebih daripada itu, kemusyrikan -sebagai lawan dari tauhid- menjadi sebab seorang hamba terhalang masuk surga untuk selama-lamanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan sama sekali tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu.” (QS. al-Maa’idah: 72). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku, seluruhnya adalah untuk Allah Rabb seluruh alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintahkan, dan aku adalah orang yang pertama kali pasrah.” (QS. al-An’aam: 162-163).

Oleh sebab itu, berbicara masalah tauhid berarti berbicara mengenai hidup matinya kaum muslimin dan keselamatan mereka di dunia maupun di akherat. Berbicara masalah tauhid adalah berbicara tentang tugas mereka sepanjang hayat masih dikandung badan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Rabbmu sampai datang kematian.” (QS. al-Hijr: 99). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, dia pasti masuk neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu). Maka dengan alasan apakah agenda yang sangat besar ini dikesampingkan?

Kami Berjuang Demi Membela Hak-Hak Manusia!

Seruan semacam ini sering kita dengar. Dan banyak sekali kalangan yang tertipu dan terbius dengannya, sampai-sampai sebagian aktifis gerakan dakwah pun termakan oleh slogan ini. Padahal, di balik slogan -yang terdengar merdu ini- tersimpan rencana jahat Iblis dan bala tentaranya untuk menjauhkan manusia dari jalan Allah ta’ala, yaitu jalan tauhid. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah, di atas landasan bashirah/ilmu, inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku…” (QS. Yusuf: 108).

Hak-hak manusia sedemikian agung dalam pandangan mereka. Mereka benci dan murka apabila hak-hak manusia dihinakan dan diinjak-injak oleh sesamanya. Mereka pun bangkit dengan mengatasnamakan pejuang hak azasi manusia, pembela rakyat kecil, pembela kaum tertindas, dan gelaran-gelaran ‘keren’ lainnya. Orang-orang pun merasa tertuntut untuk mendukung mereka, karena mereka khawatir disebut tidak punya kepedulian terhadap sesama. Dan yang lebih busuk lagi, kalau ada yang menjadikannya sebagai sarana untuk meraih ambisi kekuasaan belaka!

Padahal, hak-hak manusia -sebesar apapun jasanya, semulia apapun kedudukannya- tetap saja masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan hak Allah ta’ala, Rabb yang menciptakan dan mengatur jagad raya. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan agar dakwah tauhid didahulukan sebelum ajakan-ajakan yang lainnya. Beliau bersabda, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka yaitu supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma). Demikian pula beliau mengajarkan kepada kita, “Hak Allah atas hamba adalah hendaknya mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu). Namun, jangan disalahpahami bahwa ini berarti kita meremehkan hak-hak manusia, sama sekali tidak!

Jangan Bicara Masalah Bid’ah!

Ungkapan semacam ini pun sering terlontar. Dalam persepsi mereka, bid’ah itu adalah masalah sensitif yang tidak perlu diungkit-ungkit. Mengapa demikian? Karena dengan memperingatkan umat dari bahaya bid’ah dan menjelaskan amalan-amalan serta keyakinan-keyakinan yang bid’ah akan menyebabkan timbulnya konflik internal di dalam tubuh kaum muslimin, dan menurut ‘hemat mereka’ hal itu akan melemahkan kekuatan kaum muslimin dan memecah belah persatuan mereka. Sepintas, sepertinya ini adalah alasan yang masuk akal dan bisa diterima… Namun, jangan terburu-buru! Karena ternyata cara berpikir semacam ini tidak dibenarkan oleh agama.

Sebelumnya, kita yakini bersama bahwa bid’ah adalah tercela dan sesat. Allah tidak menerima ibadah yang dilakukan namun tidak ada tuntunannya alias diada-adakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha). Sebagian ulama salaf juga berkata, “Bid’ah lebih disukai Iblis daripada maksiat. Karena maksiat masih ada kemungkinan diharapkan taubat darinya. Adapun bid’ah, maka sulit diharapkan taubat darinya.” Selain itu, sebagaimana kita yakini pula bahwa dalam berdakwah kita harus bersikap bijak, tidak boleh serampangan atau asal-asalan. Bahkan, sikap bijak/hikmah merupakan pilar dalam dakwah. Namun, bersikap bijak bukan dengan cara membiarkan kemungkaran merajalela tanpa pengingkaran kepadanya.

Tatkala bid’ah menjadi penghalang diterimanya amalan, bahkan ia termasuk kategori dosa dan kemungkaran, maka sudah sewajarnya seorang da’i memperingatkan bahayanya dan menjelaskannya kepada umat. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di setiap khutbah Jum’at beliau selalu memperingatkan umat dari bahaya bid’ah dan mengingatkan mereka bahwa setiap bid’ah adalah kesesatan yang berujung kepada kehancuran, sebagaimana yang tertera di dalam khutbatul hajah di setiap awal ceramah. Oleh sebab itu para ulama menganggap bahwa orang yang membantah ahlul bid’ah adalah termasuk golongan mujahid!

Tidakkah anda ingat bagaimana sahabat Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma dengan ilmu sunnah yang dimilikinya dengan tegas membantah dan berlepas diri dari bid’ah Qadariyah yang muncul di masanya? Demikian pula para ulama salaf lainnya seperti Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah yang dengan tegar mempertahankan aqidah al-Qur’an kalamullah dan bukan makhluk, dan masih banyak ulama lain yang melakukan perjuangan serupa seperti mereka berdua dengan segala resiko yang harus mereka tanggung di jalan dakwah ini. Maka apabila kita telah mengetahui itu semua, jelaslah bagi kita bahwa seorang da’i yang tidak menempuh jalan ini -memperingatkan umat dari bahaya bid’ah- itu maknanya dia telah berkhianat terhadap amanah dakwah. Karena ‘pengkhianatannya’ itulah statusnya akan berubah dari seorang da’i ilallah -orang yang mengajak kepada Allah- menjadi da’i ila ghairillah -orang yang mengajak kepada selain Allah-! Nas’alullahas salamah

Jangan Merasa Paling Benar!

Sebagian orang ketika ditegur dan diingatkan untuk meninggalkan atau menjauhi perkara-perkara yang menyimpang dari agama -karena bertentangan dengan al-Qur’an ataupun as-Sunnah- dengan ringannya mengucapkan perkataan semacam itu. Entah penyimpangan itu terkait dengan aqidah, ibadah, ataupun masalah yang lainnya. Entah itu termasuk dalam kategori syirik, kekafiran, kebid’ahan ataupun kemaksiatan yang lainnya. Belum lagi, jika orang tersebut memiliki sedikit ‘ilmu’ dan wawasan, maka dengan sigapnya dia akan ‘memperkosa’ dalil demi melanggengkan tindakannya yang keliru. Keras kepala, itulah sifat yang melekat dalam dirinya. Kalau dicermati lebih dalam, justru ternyata sikapnya yang tidak mau menerima nasehat dan teguran itu merupakan bentuk kesombongan dan ekspresi perasaan diri yang paling benar [!], Wal ‘iyadzu billah…

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir…” (QS. an-Nisaa’: 59). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidak beriman sampai mereka mau menjadikan kamu -Muhammad- sebagai hakim atas segala perkara yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak mendapati rasa sempit dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka pun pasrah sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa’: 65). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang mukmin lelaki maupun perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka itu. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah dia -Muhammad- itu berbicara melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm: 3-4). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasehat, untuk Allah, Kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan untuk rakyatnya.” (HR. Muslim dari Tamim bin Aus ad-Dari radhiyallahu’anhu).

Tauhid Sudah Ada di Dada-Dada Manusia!

Sebagian orang mengucapkan perkataan semacam ini, sehingga secara sadar ataupun tidak dia telah menjauhkan manusia dari dakwah tauhid. Berangkat dari asumsi yang salah itulah maka mereka tidak lagi memberikan porsi besar bagi dakwah tauhid. Mereka pun beralih ke kancah perpolitikan ala Yahudi dan menyibukkan diri dengan sesuatu yang menyeret mereka dalam kehinaan. Apabila dikaji sebabnya, maka hanya ada dua kesimpulan; mungkin karena ketidaktahuannya sehingga dengan mudahnya dia berkata demikian, atau karena dia mengetahui kebenaran namun sengaja berpaling darinya. Dan keduanya ini apabila menimpa seorang yang digelari sebagai da’i, ustadz ataupun murabbi merupakan realita yang sangat pahit sekali. Oleh sebab itu, kita perlu meluruskannya.

Sebagaimana kita ketahui bahwa tauhid bukan sekedar ucapan la ilaha illallah yang tidak diiringi dengan konsekuensinya. Orang-orang munafikin di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan la ilaha illallah, akan tetapi mereka divonis akan menempati kerak neraka yang paling bawah. Hal itu tidak lain karena mereka tidak jujur dalam mengucapkannya. Tauhid juga bukanlah sekedar keyakinan bahwa Allah sebagai satu-satunya pencipta, penguasa dan pemelihara alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan serta yang melimpahkan rezki, bukan itu saja! Sebab apabila memang itu tauhid yang dimaksud oleh dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya beliau tidak perlu mengobarkan peperangan kepada kaum kuffar Quraisy yang telah mengimani perkara-perkara itu.

Jangan Runtuhkan Persatuan!

Apabila para da’i berbicara tentang tauhid dan membantah berbagai macam bentuk kemusyrikan yang ada serta menjelaskan sunnah dan membongkar berbagai macam bentuk bid’ah yang merajalela, maka bangkitlah sebagian orang dengan semangat bak pahlawan seraya berteriak, “Mengapa kalian sibukkan umat dengan urusan semacam ini? Umat akan terpecah belah akibat dakwah kalian.” Inilah komentar-komentar sinis yang mereka lontarkan. Padahal, kita telah mengetahui bersama bahwa persatuan kaum muslimin yang hakiki -yang dengannya mereka akan selamat di hadapan Rabbnya- adalah persatuan di atas tauhid dan sunnah, bukan persatuan di atas syirik dan bid’ah! Orang-orang yang gemar menebar syirik dan bid’ah -dengan dipoles berbagai macam hiasan- maka mereka itulah sesungguhnya gerombolan pemecah belah dan pengacau persatuan!

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman maka niscaya Kami akan biarkan dia terombang-ambing di atas kesesatan yang dipilihnya, dan Kami akan memasukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan sungguh Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu -kiamat- tidak akan bermanfaat harta dan keturunan, melainkan bagi orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara: 88-89). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu -kiamat- orang-orang yang -dahulu ketika di dunia- saling berkasih sayang berubah menjadi saling memusuhi, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zukhruf: 67). Allah ta’ala juga berfirman mengenai seruan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam kepada kaumnya (yang artinya), “Sesungguhnya Allah, Dialah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia -saja-. Inilah jalan yang lurus.” (QS. az-Zukhruf: 64). Allah ta’ala berfirman tentang dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain itu, karena hal itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Itulah yang Dia perintahkan kepada kalian mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. al-An’aam: 153)

Khilafah, Itu Solusinya!

Sebagian gerakan Islam yang telah kehilangan arah dan lalai dari misi dakwah para rasul sangat getol mendengung-dengungkan slogan ini. Menurut mereka, tanpa khilafah berarti tiada syari’ah. Tanpa khilafah, kaum muslimin tidak bisa berbuat apa-apa. Maka jadilah khilafah sebagai target perjuangan dan misi utama dakwah mereka. Tidak ada satupun problema di masyarakat atau negara melainkan mereka sangkut-sangkutkan dengan khilafah dan politik kekuasaan. Mereka menuding para da’i tauhid sebagai da’i kampungan yang tidak bisa bicara kecuali masalah-masalah sepele. Tidak bisa mengatasi masalah bangsa, tidak punya visi ke depan demi kejayaan umat, dan lain sebagainya.

Padahal, kita semua tahu bahwa bangunan umat ini tidak akan tegak dan kokoh kecuali di atas aqidah yang kuat dan murni. Seorang muslim dengan aqidah yang kokoh akan dengan sukarela menerapkan syari’ah dalam kehidupannya sekuat kemampuannya, meskipun misalnya ternyata khilafah belum mampu mereka wujudkan karena kondisi umat yang masih berlumuran dengan kotoran-kotoran keyakinan dan bid’ah yang sedemikian luas menjangkiti anak bangsa dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi dan melindas lembaran sejarah sedemikian lama.

Perubahan ini membutuhkan proses yang bertahap, tidak bisa terjadi secara tiba-tiba seperti membalikkan telapak tangan begitu saja. Hal ini dapat kita saksikan dalam individu-individu kaum muslimin. Yang mana perubahan menjadi baik itu memerlukan proses dan tahap yang tidak sebentar. Nah, bagaimana lagi dengan sekelompok orang yang memiliki beragam problema, sebuah negara, apalagi kumpulan negara dengan jutaan masalah yang menghimpit warga negara mereka masing-masing? Tentu merubahnya tidak cukup dengan teriakan dan slogan semata. Kembali kepada syari’ah tidak seratus persen bergantung pada khilafah. Betapa banyak syari’at yang bisa diterapkan oleh seorang individu umat ini, sebuah keluarga atau sekumpulan orang tanpa perlu menunggu tegaknya khilafah. Tidak ada yang salah dalam merindukan khilafah, akan tetapi tatkala khilafah menjadi tujuan dan cita-cita dakwah maka silahkan anda jawab sendiri pertanyaan ini; Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah dengan tujuan mendirikan khilafah, ataukah menegakkan tauhid?

Dari situlah perlu kita camkan wahai saudaraku, bahwa tidak akan berhasil upaya apapun yang ditempuh oleh gerakan mana saja selama mereka lebih memilih jalannya sendiri dan tidak mau mengikuti jejak para pendahulu mereka. Imam Malik rahimahullah telah mengingatkan, “Tidak akan baik urusan akhir umat ini kecuali dengan sesuatu yang telah memperbaiki generasi awalnya.” Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak halal baginya meninggalkan hal itu gara-gara mengikuti pendapat seseorang.” Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Ikutilah tuntunan dan jangan membuat ajaran-ajaran baru, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan sebagian kaum dengan sebab Kitab ini -al-Qur’an- dan akan menghinakan sebagian kaum yang lain dengan sebab Kitab ini pula.” (HR. Muslim dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d: 11).

Sungguh benar ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun tidak berhasil mendapatkannya.” Betapa banyak orang yang mengira dirinya pejuang Islam, mujahid dakwah, da’i kebenaran, namun ternyata mereka salah jalan dan justru menjadi musuh Islam dari dalam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kuberitakan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dalam kehidupan dunia akan tetapi mereka mengira bahwa mereka telah melakukan kebaikan yang sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahfi: 103-104)

Saudaraku, betapa banyak rumah yang roboh bukan karena tiupan angin kencang ataupun terpaan banjir bandang. Akan tetapi ia roboh karena pondasinya yang tidak kokoh, karena pilar-pilarnya yang begitu lemah, tidak kuat menopang dinding dan atap serta barang-barang berat yang ada di dalamnya, sehingga tatkala getaran kecil gempa menyapa maka luluh lantaklah seluruh sendi-sendinya dan runtuhlah rumah itu menimpa pemiliknya! Maka demikianlah perumpamaan orang-orang yang mengimpikan kekuasaan dan khilafah namun menyingkirkan agenda terbesar umat Islam yang sesungguhnya. Jadi, sepenting apakah tauhid itu? Kini anda telah bisa menjawabnya.


Sumber: www.muslim.or.id

TERORIS BUKAN SEORANG MUJAHID!!!

Oleh: Ustadz Ari Wahyudi


Kaum muslimin, semoga Allah membimbing kita di atas jalan-Nya yang lurus. Di hari-hari ini kita bisa melihat dengan mata kepala kita, bagaimana sejarah perjuangan umat Islam kembali dinodai oleh ulah oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan Islam dan jihad. Dengan seenaknya mereka melakukan tindak pengeboman, penghancuran, serta berupaya untuk mengacaukan ketentraman negeri kaum muslimin dengan kedok jihad dan ijtihad. Padahal Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari apa yang mereka lakukan.

Alangkah cocok sebuah bait syair yang menggambarkan keadaan orang-orang seperti mereka,

Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila
Namun, malang. Ternyata Laila tidak mengiyakan omongan mereka

Begitulah kurang lebih keadaan mereka. Dengan tanpa malu-malu, mereka mengaku sebagai barisan mujahidin dan menobatkan diri sebagai mujtahid. Bagaimana mungkin orang yang gemar menebar kekacauan dan kerusakan di atas muka bumi dengan membunuh nyawa tanpa hak layak untuk disebut sebagai mujahid, apalagi dinobatkan sebagai mujtahid? Allahul musta’an! Di manakah akal mereka?

Orang-orang yang salah sangka

Saudaraku sekalian, marilah kita renungkan barang sejenak fenomena yang menyayat hati ini. Para pemuda yang jahil/tidak mengerti syari’at Islam dengan mudahnya ditipu oleh mujahid dan mujtahid gadungan. Sehingga akhirnya nyawa mereka sendiri pun mereka relakan -dengan aksi bom bunuh diri- untuk memperjuangkan apa yang mereka kira sebagai sebuah jihad dan pengorbanan untuk agama. Aduhai, alangkah malang nasib mereka. Tidakkah mereka ingat akan sebuah firman Allah yang menceritakan keadaan orang-orang seperti mereka, yang bersusah payah melakukan suatu usaha dan menyangka telah mempersembahkan sesuatu yang terbaik bagi agamanya. Padahal kenyataannya mereka adalah orang yang paling merugi amalnya. Allah ta’ala berfirman,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah: Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dunia sementara mereka mengira telah melakukan sesuatu kebaikan dengan sebaik-baiknya.” (Qs. al-Kahfi: 103-104)

Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib, ad-Dhahhak dan para ulama lainnya bahwa golongan yang termasuk dalam cakupan ayat ini adalah kaum Haruriyah/Khawarij. Meskipun ayat ini juga mencakup celaan bagi Yahudi dan Nasrani. Sehingga Ibnu Katsir menyimpulkan, “Sesungguhnya ayat ini berlaku umum bagi siapa saja yang beribadah kepada Allah namun tidak di atas jalan yang diridhai Allah. Dia menyangka bahwa dia berada di pihak yang benar dan amalnya akan diterima. Padahal, sebenarnya dia adalah orang yang bersalah dan amalnya tertolak.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/151-152])

Haram bicara agama tanpa ilmu!

Saudaraku sekalian, sesungguhnya kemuliaan Islam ini akan ternoda tatkala orang yang bukan ahlinya berbicara tentang sesuatu yang menyangkut ajaran agama. Tidakkah kita ingat firman Allah ta’ala,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Qs. al-Isra’: 36)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah angkat bicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah)

Ruwaibidhah bukanlah mujtahid. Mujtahid berbicara dengan ilmu, sedangkan Ruwaibidhah berbicara dan berfatwa dengan kejahilan/kebodohan mereka. Perhatikanlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Apabila seorang hakim hendak memutuskan sesuatu lalu berijtihad kemudian benar maka dia memperoleh dua pahala. Adapun apabila dia akan memutuskan sesuatu lalu berijtihad kemudian tersalah maka dia akan memperoleh satu pahala.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-I’tisham bil Kitab wa Sunnah dari Amr bin al-’Ash radhiyallahu’anhu)

al-Hafizh Ibnu Hajar menukil keterangan dari Ibnul Mundzir, beliau mengatakan, “Seorang hakim yang tersalah itu mendapat pahala sesungguhnya hanyalah apabila dia adalah seorang alim/yang berilmu tentang ijtihad kemudian dia pun berijtihad. Adapun apabila dia bukanlah seorang yang alim/berilmu maka dia tidak mendapatkan pahala.” Bahkan apabila dia nekad memutuskan dan mengeluarkan fatwa tanpa ilmu maka dia berdosa, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar sebelum menukil ucapan Ibnul Mundzir di atas. Beliau juga menukil keterangan dari al-Khatthabi bahwa seorang yang berijtihad akan diberi pahala jika dirinya memang telah memiliki alat-alat/ilmu untuk berijtihad. Orang seperti itulah yang apabila tersalah masih bisa diberi toleransi (lihat Fath al-Bari [13/364])

Syaikh Muhammad bin Husain al-Jizani mengatakan, “Ijtihad tidak boleh dilakukan kecuali oleh seorang yang faqih/ahli hukum agama yang mengetahui dalil-dalil dan tata cara menarik kesimpulan hukum darinya, sebab melakukan penelitian terhadap dalil-dalil tidak mungkin dilakukan -dengan benar- kecuali oleh orang yang memang ahli di dalam bidangnya.” (Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 470).

Terlebih lagi, untuk berijtihad ada syarat-syaratnya yang tidak sembarang orang bisa memenuhinya. Di antaranya adalah: [1] Memahami seluk beluk sumber hukum yaitu al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’, Qiyas, dsb. [2] Memahami bahasa Arab [3] Mengetahui maksud dari ungkapan umum dan khusus dalam bahasa Arab, muthlaq dan muqayyad. Bisa membedakan antara nash, zhahir, dan mu’awwal. Mujmal dan mubayyan. Manthuq dan mafhum, dsb [4] Dia harus mengerahkan segenap kemampuannya dalam mengambil kesimpulan hukum, tidak boleh setengah-setengah. Itu adalah sebagian syarat yang terkait dengan orangnya. Masih ada lagi syarat lain yang terkait dengan perkara yang menjadi objek ijtihad, di antaranya: bukan dalam perkara yang sudah ada dalil tegasnya, dalil yang ada dalam perkara tersebut memang masih membuka ruang -tidak dipaksakan- yang memungkinkan adanya perbedaan penafsiran, dsb (lebih lengkap baca di Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 479-484).

Berbuat dosa kok mengharap pahala?

Di manakah letak ilmu pada diri orang yang melakukan bom bunuh diri dan menyuruh orang lain untuk bunuh diri? Padahal Allah ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (Qs. an-Nisaa’: 29)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu alat/senjata maka dia akan disiksa dengannya kelak pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin ad-Dhahhak radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)

Ketika mengomentari ulah sebagian orang yang nekad melakukan bom bunuh diri dengan alasan untuk menghancurkan musuh, maka Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Hanya saja kami katakan, orang-orang itu yang kami dengar melakukan tindakan tersebut, kami berharap mereka tidak disiksa seperti itu sebab mereka adalah orang-orang yang jahil/bodoh dan melakukan penafsiran yang keliru. Akan tetapi, tetap saja mereka tidak memperoleh pahala, dan mereka bukan orang-orang yang syahid dikarenakan mereka telah melakukan sesuatu yang tidak diijinkan oleh Allah, akan tetapi mereka telah melakukan apa yang dilarang oleh-Nya.” (Syarh Riyadh as-Shalihin, dinukil dari al-Kaba’ir ma’a Syarh Ibnu Utsaimin, hal. 109)

Di manakah letak ilmu pada diri orang yang membunuh nyawa orang kafir tanpa hak? Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Barang siapa yang membunuh seorang kafir yang terikat perjanjian -dengan kaum muslimin atau pemerintahnya- maka dia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya baunya itu akan tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jizyah dan Kitab ad-Diyat dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, lafaz ini ada di dalam Kitab al-Jizyah)

al-Munawi menjelaskan bahwa ancaman yang disebutkan di dalam hadits ini merupakan dalil bagi para ulama semacam adz-Dzahabi dan yang lainnya untuk menegaskan bahwa perbuatan itu -membunuh kafir mu’ahad- termasuk kategori dosa besar. Meskipun seorang muslim tidak mesti dihukum bunuh sebagai akibat dari kejahatan itu (Faidh al-Qadir [6/251] as-Syamilah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حتَّى يَشْهَدُوا أنْ لا إلَهَ إلاَّ الله، وأَنَّ مُحَمَّداً رسولُ اللهِ، ويُقيموا الصَّلاةَ ، ويُؤْتُوا الزَّكاةَ ، فإذا فَعَلوا ذلكَ ، عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءهُم وأَموالَهُم، إلاَّ بِحَقِّ الإسلامِ ، وحِسَابُهُم على اللهِ تَعالَى

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, apabila mereka telah melakukannya maka terjagalah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan alasan haq menurut Islam, dan hisab mereka terserah pada Allah ta’ala.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma)

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah menerangkan bahwa di dalam kata-kata “apabila mereka telah melakukannya maka terjagalah darah dan harta mereka dariku” terdapat dalil yang menunjukkan bahwa orang kafir itu hartanya boleh diambil dan darahnya boleh ditumpahkan. Dan orang yang dimaksud di dalam hadits ini adalah kafir harbi, yaitu orang kafir yang sedang terlibat peperangan dengan pasukan kaum muslimin. Oleh sebab itu misalnya jika anda mengambil harta seorang kafir harbi maka tidak ada hukuman bagi anda. Adapun orang kafir mu’ahad, kafir musta’man dan kafir dzimmi -ketiganya bukan kafir harbi,pen- maka mereka semua tidak boleh diperangi (lihat Syarah Arba’in, hal. 63)

Berjihadlah!

Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya seorang mujahid sejati adalah orang yang menundukkan hawa nafsunya untuk melakukan ketaatan kepada Allah -termasuk di dalamnya memerangi orang kafir dengan cara yang benar-, bukan dengan melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ

“Orang yang berjihad adalah orang yang berjuang menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah.” (HR. Ahmad dari Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu’anhu dinilai sahih oleh al-Albani dalam as-Shahihah [549] as-Syamilah)

Tanyakanlah kepada dirimu: Bukankah Nabi melarang membunuh orang kafir tanpa hak? Bukankah kita wajib taat kepada beliau? Bukankah ketaatan kepada Nabi itu pada hakikatnya merupakan ketaatan kepada Allah? Lalu dengan alasan apa kita menghalalkan darah yang diharamkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ditumpahkan? Apakah kita merasa berada di atas agama yang lebih baik dan lebih hebat daripada agama yang diajarkan oleh Rasulullah? Jawablah wahai orang-orang yang masih memiliki akal dan hati nurani!

Sejak kapan membunuh orang kafir tanpa hak disebut jihad? Sejak kapan meledakkan gedung-gedung umum yang menimbulkan jatuhnya korban tanpa pandang bulu disebut sebagai jihad? Tanyakanlah kepada mereka yang sok menjadi mujtahid dan membolehkan ‘jihad’ ala teroris semacam itu: ijtihad ulama manakah yang membolehkan seorang muslim membunuh dirinya dan meledakkan bangunan umum yang berakibat melayangnya nyawa-nyawa tak bersalah? Atau barangkali yang mereka sebut sebagai ulama mujtahid itu memang bukan ulama alias Ruwaibidhah? Waspadalah -wahai para pemuda- dari tipu daya, silat lidah, dan penampilan mereka!

Ingatlah, sesungguhnya jihad yang diridhai Allah adalah jihad di jalan-Nya yang lurus, bukan di jalan yang menyimpang. Allah ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“Orang-orang yang sungguh-sungguh berjuang/berjihad di jalan Kami niscaya Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik/ihsan.” (Qs. al-’Ankabut: 69)

al-Baghawi menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata tentang tafsiran ayat ini, “Yaitu orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh di dalam ketaatan kepada Kami niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan untuk meraih pahala dari Kami.” (Ma’alim at-Tanzil [6/256] as-Syamilah)

Maka marilah kita berjihad di atas ketaatan, bukan di atas kedurhakaan!

Hati-hatilah dari al-Qa’adiyah masa kini!

al-Qa’adiyah merupakan salah saktu sekte Khawarij yang memiliki ideologi Khawarij, hanya saja mereka tidak memilih sikap memberontak. Meskipun demikian, mereka menganggap pemberontakan sebagai perkara yang baik, tidak boleh diingkari, bahkan berpahala! Dengan kata lain -dalam bahasa sekarang- mereka menilai bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh rekan-rekan mereka -dengan menimbulkan kekacauan dan mengancam penguasa; bom bunuh diri dan semisalnya- bukan perkara yang salah, alias hasil ijtihad yang harus dihargai dan layak untuk diberi pahala [?!] Sampai-sampai salah seorang tokoh mereka di negeri ini berkata, “Menurut saya mereka adalah mujahid. Dan apa yang mereka lakukan itu merupakan hasil ijtihad mereka. Walaupun saya tidak sependapat dengan -hasil ijtihad- mereka.” Inilah ucapan gembongnya Khawarij di negeri ini!

Ketika menjelaskan biografi ringkas Imran bin Hitthan -salah seorang perawi hadits yang terseret paham Khawarij- Ibnu Hajar berkata, “al-Qa’adiyah adalah salah satu sekte dari kelompok Khawarij. Mereka berpendapat sebagaimana pendapat Khawarij, namun mereka tidak ikut melakukan pemberontakan. Akan tetapi mereka menghias-hiasi/menilai baik perbuatan itu.” (Hadyu as-Sari, hal. 577). Sebelumnya, Ibnu Hajar juga menukil ucapan Abul Abbas al-Mubarrid, “Imran bin Hitthan adalah gembong kelompok al-Qa’adiyah dari aliran Shafariyah. Dia adalah khathib/orator dan penya’ir di kalangan mereka.” (Hadyu as-Sari, hal. 577). Imran bin Hitthan inilah yang meratapi kematian Abdurrahman bin Muljam -sang pembunuh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu- dengan untaian bait-bait sya’irnya yang heroik. Dikisahkan bahwa pada akhir hidupnya dia kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan paham Khawarij, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Zakariya al-Mushili di dalam Tarikh al-Mushil (lihat Hadyu as-Sari, hal. 577,578, lihat juga Tahdzib at-Tahdzib [8/128] as-Syamilah)

Ibnu Hajar mengatakan,

والقَعَدية الذين يُزَيِّنون الخروجَ على الأئمة ولا يباشِرون ذلك

“al-Qa’adiyah adalah orang-orang yang menghias-hiasi perbuatan pemberontakan kepada para pemimpin -umat Islam- dan mereka tidak ikut terjun langsung dalam tindakan tersebut.” (Hadyu as-Sari, hal. 614 cet Dar al-Hadits)

as-Syahrastani mengatakan,

كل من خرج على الإمام الحق الذي اتفقت الجماعة عليه يُسمى خارجياً سواء كان الخروج في أيام الصحابة على الأئمة الراشدين أو كان بعدهم على التابعين بإحسان والأئمة في كل زمان

“Setiap orang yang memberontak kepada pemimpin yang sah yang disepakati oleh rakyat sebagai pemimpin mereka maka dia disebut sebagai Khariji (kata tunggal dari Khawarij). Sama saja apakah dia melakukan pemberontakan itu di masa sahabat masih hidup kepada para pemimpin yang lurus atau setelah masa mereka yaitu kepada para tabi’in yang senantiasa mengikuti pendahulu mereka dengan baik serta para pemimpin umat di sepanjang masa.” (al-Milal wa an-Nihal [1/28] as-Syamilah)

Salah satu pemikiran Khawarij yang berkembang saat ini -terutama di kalangan sebagian pemuda Islam yang bersemangat tapi tanpa ilmu- adalah pendapat yang membolehkan -tidak harus- untuk memberontak kepada pemimpin muslim yang zalim (lihat mukadimah kitab al-Khawarij wal Fikru al-Mutajjaddid karya Syaikh Abdul Muhsin bin Nashir al-Ubaikan, hal. 6). Sebagaimana pula keterangan semacam ini pernah kami dengar dari perkataan Syaikh Abdul Malik Ramadhani dalam sebuah rekaman video ceramah beliau ketika memberikan pelajaran kitab asy-Syari’ah karya Imam al-Ajurri.

Inilah sekelumit nasihat dan pelajaran bagi kita semua. Semoga masih ada telinga yang mau mendengar dan hati yang masih mau menerima kebenaran. Sebagian sumber tulisan ini kami ketahui dari buku Madarik an-Nazhar fi as-Siyasah karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani, serta buku Mereka adalah Teroris susunan Ust. Luqman Ba’abduh, semoga Allah menerima amal kita dan mereka, serta mengampuni dosa kita dan mereka.

Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami yang benar itu benar, dan karuniakanlah kepada kami ketaatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami yang salah itu salah, dan karuniakanlah kepada kami keteguhan sikap untuk menjauhinya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Sumber: www.muslim.or.id

Selasa, 30 Agustus 2011

Menyingkap Keabsahan Halal Bihalal


Oleh: Ustadz Anas Burhanuddin MA.

Pengertian Halal Bihalal dan Sejarahnya

Secara bahasa, halal bihalal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Makkah dan Madinah justru biasa mendengar para jamaah haji Indonesia –dengan keterbatasan kemampuan bahasa Arab mereka- bertanya ‘halal?’ saat bertransaksi di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat dengan tawaran harga yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk mereka. Jika sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”. Atau saat ada makanan atau minuman yang dihidangkan di tempat umum, para jamaah haji biasa bertanya “halal?” untuk memastikan bahwa makanan / minuman tersebut gratis dan halal untuk mereka.

Kata majemuk ini tampaknya memang ‘made in Indonesia’. Kata halal bihalal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sekelompok orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia.” [1]

Penulis Iwan Ridwan menyebutkan bahwa halal bihalal adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan salat Idul Fitri.[2] Kadang-kadang, acara halal bihalal juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fitri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama.

Konon, tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 April 1725), yang terkenal dengan sebutan ‘Pangeran Sambernyawa’. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bihalal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama.[3]

Halal bihalal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis dengan bangga menyebutkan bahwa halal-bihalal adalah hasil kreativitas bangsa Indonesia dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia[4]. Namun, dalam kaca mata ilmu agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan; karena semakin jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin diragukan keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan padanya justru mengurangi kesempurnannya. Tulisan pendek ini berusaha mengulas keabsahan tradisi halal bihalal menurut pandangan syariah.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan halal bihalal bukanlah tradisi saling mengunjungi di hari raya Idul Fitri yang juga umum dilakukan di dunia Islam yang lain. Tradisi ini keluar dari pembahasan tulisan ini, meskipun juga ada acara bermaaf-maafan di sana.

Hari raya dalam Islam harus berlandaskan dalil (tauqifiy)
Hukum asal dalam bab ibadah adalah bahwa semua ibadah haram sampai ada dalilnya. Sedangkan dalam bab adat dan muamalah, segala perkara adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Perayaan hari raya (‘id) sebenarnya lebih dekat kepada bab mu’amalah. Tapi masalah ‘id adalah pengecualian, dan dalil-dalil menunjukkan bahwa ‘id adalah tauqifiy (harus berlandaskan dalil). Hal ini karena ‘id tidak hanya adat, tapi juga memiliki sisi ibadah. Asy-Syathibi mengatakan:

وإن العاديات من حيث هي عادية لا بدعة فيها، ومن حيث يُتعبَّد بها أو تُوْضع وضْع التعبُّد تدخلها البدعة.

“Dan sungguh adat istiadat dari sisi ia adat, tidak ada bid’ah di dalamnya. Tapi dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah, bisa ada bid’ah di dalamnya.” [5]

Dan tauqifiy dalam perayaan ‘id memiliki dua sisi:

Tauqifiy dari sisi landasan penyelenggaraan, di mana Nabi –shallallah ‘alaih wasallam- membatasi hanya ada dua hari raya dalam satu tahun, dan hal ini berdasarkan wahyu.

عَنْ أَنَسِ بْنَ مَالِكٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ. قَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا؛ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ.

Anas bin Malik berkata: “Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- datang ke Madinah dan penduduknya memiliki dua hari di mana mereka bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya: “Apakah dua hari ini?” Mereka menjawab: “Dahulu kami biasa bermain di dua hari ini semasa Jahiliyah.”

Beliaupun bersabda: “Sungguh Allah telah menggantikannya dengan dua hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR Abu Dawud no. 1134, dihukumi shahih oleh al-Albani) [6]Maka, sebagai bentuk pengalaman dari hadits ini, pada zaman Nabi –shallallah ‘alaih wasallam- dan generasi awal umat Islam tidak dikenal ada perayaan apapun selain dua hari raya ini [7], berbeda dengan umat Islam zaman ini yang memiliki banyak sekali hari libur dan perayaan yang tidak memiliki landasan syar’i.

Tauqifiy dari sisi tata cara pelaksanaannya, karena dalam Islam, hari raya bukanlah sekedar adat, tapi juga ibadah yang sudah diatur tata cara pelaksanaannya. Setiap ibadah yang dilakukan di hari raya berupa shalat, takbir, zakat, menyembelih dan haramnya berpuasa telah diatur. Bahkan hal-hal yang dilakukan di hari raya berupa keleluasaan dalam makan minum, berpakaian, bermain dan bergembira juga tetap dibatasi oleh aturan-aturan syariah [8].



Pengkhususan membutuhkan dalil

Di satu sisi Islam telah menjelaskan tata cara perayaan hari raya, tapi di sisi lain tidak memberi batasan tentang beberapa sunnah dalam perayaan ‘id, seperti bagaimana menampakkan kegembiraan, bagaimana berhias dan berpakaian, atau permainan apa yang boleh dilakukan. Syariah Islam merujuk perkara ini kepada adat dan tradisi masing-masing.

Jadi, boleh saja umat Islam berkumpul, bergembira, berwisata, saling berkunjung dan mengucapkan selamat. Bahkan kegembiraan ini perlu ditekankan agar anggota keluarga merasakan hari yang berbeda dan puas karenanya, sehingga mereka tidak tergoda lagi dengan hari besar-hari besar yang tidak ada dasarnya dalam Islam [9].

Namun mengkhususkan hari Idul Fitri dengan bermaaf-maafan membutuhkan dalil tersendiri. Ia tidak termasuk dalam menunjukkan kegembiraan atau berhias yang memang disyariatkan di hari raya. Ia adalah wazhifah (amalan) tersendiri yang membutuhkan dalil.

Nabi –shallallah ‘alaih wasallam- dan para sahabat tidak pernah melakukannya, padahal faktor pendorong untuk bermaaf-maafan juga sudah ada pada zaman mereka. Para sahabat juga memiliki kesalahan kepada sesama, bahkan mereka adalah orang yang paling bersemangat utnuk membebaskan diri dari kesalahan kepada orang lain. Tapi hal itu tidak lantas membuat mereka mengkhususkan hari tertentu untuk bermaaf-maafan.

Jadi, mengkhususkan Idul Fitri untuk bermaaf-maafan adalan penambahan syariah baru dalam Islam tanpa landasan dalil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

فَكُلُّ أمرٍ يَكُوْنُ المُقْتَضِي لِفعْلِه عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْجُوْداً لَوْ كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يُفْعَلْ، يُعْلَمُ أنَّهُ لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍ.

“Maka setiap perkara yang faktor penyebab pelaksanaannya pada masa Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- sudah ada jika itu maslahat (kebaikan), dan beliau tidak melakukannya, berarti bisa diketahui bahwa perkara tersebut bukanlah kebaikan.” [10]




Serupa dengan bersalam-salaman setelah shalat dan mengkhususkan ziarah kubur di hari raya

Karena tidak dikenal selain di Indonesia dan baru muncul pada abad-abad terakhir ini, tidak banyak perkataan ulama yang membahas secara khusus tentang halal bihalal. Namun ada masalah lain yang memiliki kesamaan karakteristik dengan halal bihalal dan sudah banyak dibahas oleh para ulama sejak zaman dahulu, yaitu masalah berjabat tangan atau bersalam-salaman setelah shalat dan pengkhususan ziarah kubur di hari raya.

Berjabat tangan adalah sunnah saat bertemu dengan orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:

عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَاََََ

Dari al-Bara’ (bin ‘Azib) ia berkata: Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- bersabda: “Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan, melainkan keduanya sudah diampuni sebelum berpisah.” (HR. Abu Dawud no. 5.212 dan at-Tirmidzi no. 2.727, dihukumi shahih oleh al-Albani) [11]

Tapi ketika sunnah ini dikhususkan pada waktu tertentu dan diyakini sebagai sunnah yang dilakukan terus menerus setiap selesai shalat, hukumnya berubah; karena pengkhususan ini adalah tambahan syariah baru dalam agama. Di samping itu, bersalama-salaman setelah shalat juga membuat orang tersibukkan dari amalan sunnah setelah shalat yaitu dzikir [12].

Ibnu Taimiyyah ditanya tentang masalah ini, maka beliau menjawab: “Berjabat tangan setelah shalat bukanlah sunnah, tapi itu adalah bid’ah, wallahu a’lam“ [13].

Lebih jelas lagi, para ulama menghitung pengkhususan ziarah kubur di hari raya termasuk bid’ah[14] ,padahal ziarah kubur juga merupakan amalan yang pada dasarnya dianjurkan dalam Islam, seperti dijelaskan dalam hadits berikut:

عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا؛ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَة

Dari Buraidah (al-Aslami) ia berkata: Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- bersabda: “Sungguh aku dulu telah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah; karena ia mengingatkan akhirat.” (HR Ashhabus Sunan, dan lafazh ini adalah lafazh Ahmad (no. 23.055) yang dihukumi shahih oleh Syu’aib al-Arnauth)

Demikian pula berjabat tangan dan bermaaf-maafan adalah bagian dari ajaran Islam. Namun ketika dikhususkan pada hari tertentu dan diyakini sebagai sunnah yang terus menerus dilakukan setiap tahun, hukumnya berubah menjadi tercela. Wallahu a’lam.



Beberapa pelanggaran syariah dalam halal bihalal

Di samping tidak memiliki landasan dalil, dalam halal bihalal juga sering didapati beberapa pelanggaran syariah, di antaranya:

Mengakhirkan permintaan maaf hingga datangnya Idul Fitri. Ketika melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang lain, sebagian orang menunggu Idul Fitri untuk meminta maaf, seperti disebutkan dalam ungkapan yang terkenal “urusan maaf memaafkan adalah urusan hari lebaran”. Dan jadilah “mohon maaf lahir batin” ucapan yang “wajib” pada hari Raya Idul Fitri. Padahal belum tentu kita akan hidup sampai Idul Fitri dan kita diperintahkan untuk segera menghalalkan kezhaliman yang kita lakukan, sebagaimana keterangan hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا؛ فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- bersabda: “Barang siapa melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya”. (HR. al-Bukhari nomor 6.169)

Ikhtilath (campur baur lawan jenis) yang bisa membawa ke maksiat yang lain, seperti pandangan haram dan zina. Karenanya, Nabi –shallallah ‘alaih wasallam- melarangnya, seperti dalam hadits Abu Usaid berikut:

عَنْ أَبِى أُسَيْدٍ الأَنْصَارِىِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِى الطَّرِيقِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِلنِّسَاءِ « اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيقِ ». فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ.

Dari Abu Usaid al-Anshari ia mendengar Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- berkata saat keluar dari masjid dan kaum pria bercampur baur dengan kaum wanita di jalan. Maka beliau mengatakan kepada para wanita: “Mundurlah kalian, kalian tidak berhak berjalan di tengah jalan, berjalanlah di pinggirnya.” Maka para wanita melekat ke dinding, sehingga baju mereka menempel di dinding, saking lekatnya mereka kepadanya”. (HR. Abu Dawud no. 5272, dihukumi hasan oleh al-Albani) [15]

Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Maksiat ini banyak diremehkan oleh banyak orang dalam halal bihalalatau kehidupan sehari-hari, padahal keharamannya telah dijelaskan dalam hadits berikut:

عن مَعْقِل بن يَسَارٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ”

Dari Ma’qil bin Yasar ia berkata: Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam- bersabda: “Sungguh jika seorang di antara kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HR. ath-Thabrani, dihukumi shahih oleh al-Albani) [16]

Al-Albani berkata: “Ancaman keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Di dalamnya terkandung dalil haramnya menjabat tangan wanita, karena tidak diragukan lagi bahwa berjabat tangan termasuk menyentuh. Banyak umat Islam yang jatuh dalam kesalahan ini, bahkan sebagian ulama.” [17]



Penutup

Dari paparan di atas, bisa kita simpulkan bahwa yang dipermasalahkan dalam halal bihalal adalah pengkhususan bermaaf-maafan di hari raya. Pengkhususan ini adalah penambahan syariah baru yang tidak memiliki landasan dalil. Jadi seandainya perkumpulan-perkumpulan yang banyak diadakan untuk menyambut Idul Fitri kosong dari agenda bermaaf-maafan, maka pertemuan itu adalah pertemuan yang diperbolehkan; karena merupakan ekspresi kegembiraan yang disyariatkan Islam di hari raya, dan batasannya merujuk ke adat dan tradisi masyarakat setempat. Tentunya jika terlepas dari pelanggaran-pelanggaran syariah, antara lain yang sudah kita sebutkan di atas. Selain di Indonesia, pertemuan yang umum disebut mu’ayadah (saling mengucapkan selamat ‘id) ini juga ada di belahan dunia Islam lain tanpa pengingkaran dari ulama.

Bagi yang mengatakan “ah, cuma begini saja kok tidak boleh!“, ingatlah bahwa Nabi –shallallah ‘alaih wasallam- menyebut setiap perkara baru dalam agama sebagai syarrul umuur (seburuk-buruk perkara). Maka bagaimana kita bisa meremehkannya? Setiap muslim harus berhati-hati dengan perkara-perkara baru yang muncul belakangan. Amalkanlah sunnah dan Islam yang murni, karena itulah wasiyat Nabi tercinta –shallallah ‘alaih wasallam-. Wallahu a’lam.



[1] http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bi-halal2/
[2] http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bi-halal2/
[3] http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bi-halal2/
[4] http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bi-halal2/
[5] Al-I’tisham, 2/98
[6] Shahih Sunan Abi Dawud, 4/297
[7] Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim, 1/499
[8] Mi’yarul Bid’ah hal. 262
[9] Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim, 2/6
[10] Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim, 2/101
[11] As-Silsilah ash-Shahihah, 2/24 no. 525
[12] Fatawa Syaikh Abdullah bin ‘Aqiel, 1/141.
[13] Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, 23/339
[14] Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin, hal. 247
[15] As-Silsilah ash-Shahihah, 2/355 no. 856
[16] Ghayatul Maram, 1/137
[17] Majmu’ Fatawa al-Albani, 1/220 (asy-Syamilah)



Sumber; www.muslim.or.id

Bolehkah Mengkhususkan Momen Lebaran Untuk Mengunjungi Kerabat?

Berikut ini kami tuliskan beberapa jawaban para ulama mengenai permasalahan ini:

Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr

السائل : هنا عدة أسئلة عن زيارة الأقارب أحياء أو أمواتا يوم العيد

Pertanyaan: Syaikh, ada beberapa pertanyaan yang datang terkait tentang hukum berkunjung ke rumah para kerabat, baik yang masih hidup atau pun sudah meninggal ketika hari Idul Fitri.

Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr hafizhahullah menjawab:

الشيخ : أما زيارة القبور في يوم العيد أو في يوم الجمعة أو تخصيص يوم معين فلا يجوز ذلك ، وأما زيارة الأقارب يوم العيد والذهاب إليهم و .. يعني الدعاء لهم فإن ذلك لا بأس به . أما تخصيص المقابر بالزيارة يوم العيد أو يوم الجمعة أو يوما معينا من الأيام بالذات ليس للإنسان أن يفعل ذلك

Ziarah kubur ketika hari ‘Id atau hari Jum’at atau mengkhususkan hari tertentu tidaklah diperbolehkan. Sedangkan mengunjungi para kerabat di hari ‘Id atau menempuh perjalanan untuk mengunjungi mereka atau.. mendoakan mereka, ini semua tidak mengapa. Adapun mengkhususkan kunjungan ke pemakaman-pemakaman di hari Ied atau hari Jum’at atau hari tertentu, tidak ada ulama yang melakukan hal ini.

[Transkrip dari rekaman suara yang bisa di-unduh di http://www.islamup.com/download.php?id=55581]

Fatwa Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhali

السؤال:وهذا من الجزائر يقول: ماحكم تخصيص زيارة الأقارب والأصدقاء في يوم العيد؟

Pertanyaan: Ada pertanyaan dari Aljazair, penanya berkata: Apakah hukum mengkhususkan hari Ied untuk mengunjungi para kerabat dan teman-teman baik?

Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah menjawab:

الجواب:هذا عمل طيب؛والأقارب أولى من يجب وصلهم لأنهم ذوي قرابة فهم أولى من غيرهم تبدأ بهم ثم بعد ذلك بغيرهم وهذا هو المطلوب أن يبدأ الإنسان بذوي قرابته لأنهم آكدوا حقا عليه من غيرهم فحينئذ يبرهم ثم بعد ذلك إن وجد وقتا زار إخوانه وإن حصل ذلك فرحنا

Ini perbuatan yang baik. Para kerabat adalah orang-orang yang paling wajib untuk dijalin tali silaturahimnya. Karena mereka adalah orang-orang yang memiliki qurabah (hubungan keluarga), sehingga mereka lebih layak dari yang lain untuk dijalin erat silaturahminya. Mulailah dari mereka, baru yang lain, inilah yang semestinya. Sebab lain, mereka juga memiliki hak yang lebih besar dari diri anda, dibandingkan yang lain. Maka, berbuat-baiklah kepada mereka, lalu jika ada waktu, kunjungilah mereka. Kalau memang bisa demikian, itu akan membuat kita gembira.

ولو لم وإن لم يحصل فليس هو بالسنة في ذلك وإنما يكتفي الناس ولله الحمد بالتقائهم في المصلى وبالتقائهم أيضا في المساجد في الصلوات الخمس هذا يحصل ولله الحمد كافي لا يشترط أن تذهب إلى البيت

Andaikan tidak bisa, tidak mengapa, perbuatan ini bukanlah hal yang disunnahkan. Cukup bagi anda menemui orang-orang ketika di lapangan tempat shalat ‘Id, wa lillahil hamd. Atau menemui mereka di masjid-masjid ketika shalat lima waktu, ini sudah cukup, wa lillahil hamd. Tidak disyaratkan harus mengunjungi rumah mereka.

لكن أصبح من العادات وهنا العادات ليست منافية للشرع ولم يزعموا أنها عبادة وذلك لأنه يوم فرح وسرور فلا بأس بذلك كله والله أعلم وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وأصحابه وأتباعه بإحسان

Perbuatan ini memang sudah menjadi tradisi, namun ini adalah tradisi yang tidak dinafikan oleh syari’at dan orang-orang yang melakukannya pun tidak menganggap ini sebagai ibadah. Perbuatan ini sebatas karena hari ‘Id adalah hari bergembira dan bersenang-senang. Maka perbuatan-perbuatan demikian itu semua tidak mengapa, wallahu’alam. Wa shallallahu wa sallama wa baarik ‘ala ‘abdihi wa rasulihi nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa ash-habihi wa atba’ihi bi ihsaanin.

[Transkrip dari rekaman suara yang bisa di dengarkan di http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=122458]

Fatwa Syaikh Abdullah Al Faqih

هل من السنة زيارة الأقارب والأصدقاء وذلك لغرض المعايدة، وهل يعتبر ذلك تخصيصاً، لأننا سمعنا أن أحد العلماء يقول زيارة الأحياء في العيد كزيارة الأموات؟

Pertanyaan: Apakah mengunjungi saudara dan teman-teman baik dalam rangka merayakan hari ‘Id termasuk perbuatan yang disunnahkan? Apakah ini termasuk pengkhususan hari tertentu yang terlarang? Karena kami dengar ada salah seorang ulama yang mengatakan bahwa mengunjungi orang yang masih hidup sama hukumnya sebagai mana mengunjungi orang mati (ziarah kubur).

Syaikh Abdullah Al Faqih hafizhahullah menjawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:
فزيارة الأقارب والأصدقاء والجيران في العيد مشروعة، جاء في الموسوعة الفقهية الكويتية:

Alhamdulillah Was Shalatu Was Salamu ‘ala Rasulillah Wa ‘ala Alihi Wa Shahbihi, Amma ba’du:
Saling berkunjung antar kerabat, tetangga dan teman dekat pada hari ‘Id adalah perbuatan yang masyru’ (memiliki landasan dalil dalam syari’at). Sebagaimana tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah:

التزاور مشروع في الإسلام، وقد ورد ما يدل على مشروعية الزيارة في العيد، فقد روي عن عائشة رضي الله عنها قالت: دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم وعندي جاريتان تغنيان بغناء بعاث، فاضطجع على الفراش وحول وجهه ودخل أبو بكر….. إلى آخر الحديث.، وموضع الشاهد فيه، وزاد في رواية هشام: يا أبا بكر إن لكل قوم عيداً وهذا عيدناً.، قال في الفتح: قوله وجاء أبو بكر: وفي رواية هشام بن عروة “دخل علي أبو بكر” وكأنه جاء زائراً لها بعد أن دخل النبي صلى الله عليه وسلم بيته.^^ انتهى.

“Saling berkunjung (antar kerabat, tetangga dan teman dekat pada hari ‘Id) adalah perbuatan yang masyru’ dalam Islam. Terdapat riwayat yang menunjukkan masyru’-nya hal tersebut, yaitu hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, beliau berkata: ‘Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam masuk ke rumah, ketika itu aku sedang bersama dua anak wanita yang bernyanyi dengan senandung bu’ats. Lalu beliau bersandar di tempat tidur dan wajahnya menoleh (pada dua anak wanita yang bernyanyi tadi). Kemudian datanglah Abu Bakar…‘ sampai akhir hadits. Sisi pendalilan dari hadits ini, terdapat tambahan riwayat dari Hisyam, bahwa Nabi bersabda: ‘Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki Id sendiri, dan hari ini adalah Id kita‘. Dalam Fathul Baari di jelaskan mengenai tambahan riwayat yang berbunyi ‘Kemudian datanglah Abu Bakar‘: ‘Seolah-olah Abu Bakar datang untuk berkunjung kepada ‘Aisyah (anaknya), beberapa saat setelah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam masuk’”. [sampai di sini nukilan dari Mausu'ah Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah]

ولا شك أن التزاور في العيد مما يقوي الصلة، ويزيل الشحناء ويقطع التدابر، ولذلك فهو عمل مسنون كان عليه السلف من الصحابة ومن بعدهم، وهو عمل المسلمين إلى يومنا هذا، ولا نعلم أن أحداً من العلماء شبه زيارة الأحياء بزيارة الأموات، ولم نفهم المراد من قولك (وهل يعتبر ذلك خصيصاً) وفي ما مضى كفاية.
والله أعلم.

Tidak ragu lagi bahwa saling berkunjung di hari Id, yang menyebabkan terjalinnya silaturahmi, berakhirnya sengketa, berakhirnya saling benci, maka ini adalah perkara yang dianjurkan dan dilakukan oleh para salaf dari kalangan sahabat dan yang setelah mereka. Ini pun merupakan kebiasaan kaum muslimin sampai hari ini. Saya tidak mengetahui ada seorang ulama yang menyamakan perbuatan ini dengan mengunjungi orang mati (ziarah kubur). Dan saya tidak paham maksud perkataan anda ‘Apakah ini termasuk pengkhususan hari tertentu yang terlarang‘. Namun saya kira, penjelasan tadi sudah mencukupi. Wallahu’alam.

Sumber: http://www.islamweb.net/ahajj/index.php?page=ShowFatwa&lang=A&Id=43305&Option=FatwaId



Akhir kata, saling berkunjung ke rumah kerabat di hari Idul Fitri adalah hal yang dibolehkan, dengan alasan berikut:

Kegiatan tersebut adalah kegiatan non-ibadah. Sedangkan kegiatan non-ibadah hukum asalnya adalah mubah.
Salah satu makna عِيد (‘Id) secara bahasa adalah hari yang biasanya orang-orang saling berkumpul dan saling bertemu.والعِيدُ كلُّ يوم فيه جَمْعٌ، واشتقاقه من عاد يَعُود كأَنهم عادوا إِليه؛ وقيل: اشتقاقه من العادة لأَنهم اعتادوه

” ‘Id juga berarti hari yang biasanya orang-orang saling berkumpul. ‘Id berasal dari kata عاد يَعُود (mengulang) karena mereka secara rutin melakukannya (kumpul-kumpul). Sebagian ahli bahasa berpendapat, asal katanya dari العادة (kebiasaan) karena mereka biasa melakukan hal tersebut” (Lisaanul ‘Arab)
Syariat menetapkan bahwa ‘Idul Fitri dan Idul Adha adalah hari bergembira ria. Sebagaimana diceritakan oleh Anas bin Malik Radhiallahu’anhu:قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال ما هذان اليومان قالوا كنا نلعب فيهما في الجاهلية فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله قد أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الأضحى ويوم الفطر

“Di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam baru hijrah ke Madinah, warga Madinah memiliki dua hari raya yang biasanya di hari itu mereka bersenang-senang. Rasulullah bertanya: ‘Perayaan apakah yang dirayakan dalam dua hari ini?’. Warga madinah menjawab: ‘Pada dua hari raya ini, dahulu di masa Jahiliyyah kami biasa merayakannya dengan bersenang-senang’. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Sungguh Allah telah mengganti hari raya kalian dengan yang lebih baik, yaitu Idul Adha dan ‘Idul Fithri’ ” (HR. Abu Daud, 1134, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud, 1134)
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman:

للصائم فرحتان : فرحة عند فطره ، وفرحة عند لقاء ربه

“Orang yang berpuasa itu memiliki dua kegembiraan. Kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu Rabb-Nya kelak” (Muttafaqun ‘alaih)

Dan cara bergembira di hari itu tidak ditentukan oleh syariat sehingga kembali kepada ‘urf (kebiasaan) setempat. Mengunjungi kerabat adalah bentuk bersenang-senang dan bergembira karena tentunya bertemu dengan keluarga dan kerabat menimbulkan rasa sayang dan kegembiraan.
Perbuatan ini memiliki dasar dari syari’at dan diamalkan oleh salaf, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah
Memang sebagian ulama menganggap hal ini termasuk bid’ah, sebagaimana pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah (silakan baca di: http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=20509). Menurut beliau, mengkhususkan hari untuk saling berkunjung kepada sesama orang yang hidup hukumnya sama seperti mengkhususkan hari untuk berkunjung ke orang mati (ziarah kubur). Sedangkan mengkhususkan hari untuk ziarah kubur adalah bid’ah. Namun pendapat ini nampaknya kurang tepat jika kita menimbang alasan-alasan di atas. Yang jelas, permasalahan ini termasuk ranah ijtihadiyyah yang semestinya kita bisa toleran terhadap pendapat yang ada dari para ulama. Wallahu’alam.

Sumber: www.muslim.or.id

Rabu, 17 Agustus 2011

APAKAH ANDA TIDAK TAKUT BERBUAT BID'AH?


Apakah anda mengira, memperingatkan ummat dari bid’ah itu demi kepentingan sebuah organisasi?

Apakah anda mengira, memperingatkan ummat tentang bahaya bid’ah itu demi kepentingan sebuah partai politik?

Apakah anda mengira, memperingatkan ummat tentang amalan-amalan bid’ah itu demi mendapatkan secuil harta dunia?

Apakah anda mengira, memperingatkan ummat tentang jeleknya bid’ah itu demi mempertahankan tradisi nenek moyang?

Apakah anda mengira, memperingatkan ummat tentang kerugian pelaku bid’ah itu agar dikenal sebagai orang alim yang paling pandai?

Apakah anda mengira, memperingatkan ummat agar meninggalkan bid’ah itu demi membela tokoh Fulan dan Allan?


Demi Allah, sama sekali tidak. Bahkan nyatanya para pelaris kebid’ahan lah yang memiliki tendensi-tendensi demikian. Dan sungguh, kita hendaknya enggan dan takut berbuat bid’ah karena takut kepada Allah Ta’ala.

Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah Ta’ala menyatakan bahwa ajaran Islam sudah sempurna, tidak butuh penambahan. Membuat amalan-amalan ibadah baru sama saja dengan memberikan ‘catatan kaki’ pada firman Allah Ta’ala:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3)

Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah Ta’ala melarang kita berselisih ketika Qur’an dan sunnah sudah sangat jelas dalam menjelaskan ajaran agama ini secara sempurna, dari masalah tauhid hingga adab buang air besar, sama sekali tidak perlu penambahan lagi. Allah Ta’ala berfirman:

وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (QS. Al Imran: 105)

Ash Shabuni berkata: “Maksud ayat ini adalah, janganlah berlaku seperti orang Yahudi dan Nasrani yang mereka berpecah-belah dalam masalah agama karena mengikuti hawa nafsu mereka padahal ayat-ayat yang datang kepada mereka sudah sangat jelas” (Shafwatut Tafasir, 202).

Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah Ta’ala mengancam orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya dan sunnah Nabi-Nya. Allah Ta’ala berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Allah itu takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nuur: 63)

Ketika Imam Malik ditanya tentang orang yang merasa bahwa ber-ihram sebelum miqat itu lebih bagus, padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah mensyari’atkan bahwa ihram dimulai dari miqat, maka Imam Malik pun berkata: “Ini menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya, dan aku khawatir orang itu akan tertimpa fitnah di dunia dan adzab yang pedih sebagaimana dalam ayat.. (beliau menyebutkan ayat di atas)” (Al I’tisham, 174). Menjelaskan perkataan Imam Malik ini, Asy Syathibi berkata: “Fitnah yang dimaksud Imam Malik dalam menafsirkan ayat ini berhubungan dengan kebiasaan dan kaidah ahlul bid’ah, yaitu karena mengedepankan akal, mereka tidak menjadikan firman Allah dan sunnah Rasulullah sebagai petunjuk bagi mereka” (Al I’tisham, 174).

Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah memerintahkan hamba-Nya untuk mengikuti tuntunan Rasul-Nya. Allah Ta’ala pun mengancam orang yang menyelisihi tuntunan Rasul-Nya dengan siksaan yang keras. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Apa yang datang dari Rasulullah, maka ambilah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” (QS. Al Hasyr: 7)

Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang berbuat bid’ah. Tidak anda takut terhadap siksaan Allah yang keras karena melakukan yang dilarang Rasulullah?

Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah mengancam neraka bagi hamba-Nya yang mengambil cara beragama bukan dari Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An Nisa: 115)

Ibnu Katsir menjelaskan: “Maksud ayat ini, barang siapa yang menjalani cara beragama yang bukan berasal dari Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam maka ia telah menempatkan dirinya di suatu irisan (syiqq), sedangkan syariat Islam di irisan yang lain. Itu ia lakukan setelah kebenaran telah jelas baginya” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 2/412)

Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah mencela orang yang membuat-buat syari’at baru yang dalam agama dan menyebut orang-orang yang mengajarkan syari’at baru, lalu ditaati, sebagai sesembahan selain Allah. Sebagaimana perbuatan orang-orang musyrik. Allah Ta’ala berfirman:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan ajaran agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih” (QS. Asy Syura: 21)

Ibnu Katsir berkata: “Mereka (orang-orang musyrik) tidak mengikuti apa yang telah disyariatkan Allah melalui agama Allah yang lurus ini. Bahkan mereka mengikuti syariat dari setan-setan yang berupa jin dan manusia. Mereka mengharamkan apa yang diharamkan oleh setan tersebut, yaitu bahiirah, saaibah, washilah dan haam. Mereka menghalalkan bangkai, darah dan judi, dan kesesatan serta kebatilan yang lain. Semua itu dibuat-buat secara bodoh oleh mereka, yaitu berupa penghalalan (yg haram), pengharaman (yang halal), ibadah-ibadah yang batil dan perkatan-perkataan yang rusak” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 7/198)

Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah telah mencap sesat orang-orang yang ketika tuntunan Islam sudah ada, mereka malah mempunyai pilihan lain. Bisa jadi pilihan lain ini datang dari ustadz-nya, kiai-nya, syaikh-nya, dari akalnya, atau dari yang lain. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, mereka memiliki pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS. Al Ahzab: 36)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata: “Tidak layak bagi seorang mu’min dan mu’minah, jika Allah sudah menetapkan sesuatu dengan tegas, lalu ia memiliki pilihan yang lain. Yaitu pilihan untuk melakukannya atau tidak, padahal ia sadar secara pasti bahwa Rasulullah itu lebih pantas diikuti dari pada dirinya. Maka hendaknya janganlah menjadikan hawa nafsu sebagai penghalang antara dirinya dengan Allah dan Rasul-Nya” (Taisiir Kariimirrahman, 665)

Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah mengabarkan ada sebagian hamba-Nya yang berbuat kesesatan namun mereka merasa itu amalan kebaikan. Dan demikianlah bid’ah, tidak ada satupun pelaku bid’ah kecuali ia merasa amalan bid’ahnya itu adalah kebaikan. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al Kahfi: 103-104)

Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak” (Muttafaq ‘alaihi)

Sahabat Nabi, Abdullah bin Umar Radhiallahu’anhu berkata:

كُلَّ بٍدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَة

“Setiap bid’ah itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik” (Shahih, sebagaimana penilaian Al Albani dalam takhrij kitab Ishlaahul Masajid hal 13 milik Syaikh Jamaluddin Al Qashimi)

Tidakkah anda takut amalan-amalan yang anda anggap baik, padahal tidak ada tuntunannya dalam agama, kemudian anda mengamalkannya sampai berpeluh-peluh, ternyata hanya sia-sia belaka di hadapan Allah ? Oleh karena itu saudaraku, takutlah kepada Allah dan jauhi perbuatan bid’ah.

Sumber: www.muslim.or.id

BOLEHKAH SHOLAT TARAWIH 11 ROKAAT SEMENTARA IMAM 23 ROKAAT?

Pertanyaan:

Jika seseorang shalat tarawih berjama’ah bersama imam yang 23 raka’at, namun orang tersebut hanya shalat 11 raka’at saja. Apakah perbuatan ini sesuai dengan sunnah?

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah menjawab:

Yang sesuai dengan sunnah adalah tetap mengikuti imam meski ia shalat 23 rakaat. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب الله له قيام ليلة

“Orang yang shalat tarawih mengikuti imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk” (HR. At Tirmidzi, no. 734, Ibnu Majah, no. 1317, Ahmad, no. 20450)

dalam lafazh yang lain:

بقية ليلته

“Ditulis baginya pahala shalat di sisa malamnya” (HR. Ahmad, no. 20474)

Maka yang paling afdhal bagi seorang ma’mum adalah mengikuti imam sampai imam selesai. Baik ia shalat 11 rakaat maupun 23 rakaat, atau jumlah rakaat yang lain. Inilah yang paling baik.

Selain itu, shalat tarawih 23 rakaat pernah dilakukan oleh Umar Radhiallahu’anhu dan sahabat yang lain. Ini bukanlah keburukan, bukan pula kebid’ahan. Bahkan shalat tarawih 23 rakaat adalah sunnah Khulafa Ar Rasyidin. Hal ini memiliki dalil dari hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

صلاة الليل مثنى مثنى فإذا خشي أحدكم الصبح صلى واحدة توتر له ما قد صلى

“Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika engkau khawatir akan datanya fajar maka shalatlah 1 rakaat agar jumlah rakaatnya ganjil” (Muttafaqun ‘ilaihi)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak membatasi rakaat shalat malam dengan batasan jumlah tertentu, namun yang beliau katakan:

صلاة الليل مثنى مثنى

“Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat”

Namun memang lebih afdhal jika imam mengerjakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat atau 13 rakaat dengan salam setiap 2 rakaat. Karena inilah yang paling sering dipraktekan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada shalat malamnya. Alasan lain, karena shalat tarawih 11 atau 13 rakaat lebih sesuai dengan kondisi kebanyakan orang (tidak terlalu berat, pent) di bulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan. Namun bila ada yang melakukannya lebih dari itu, atau kurang dari itu, tidak masalah. Karena perkara rakaat tarawih adalah perkara yang longgar.

Sumber: http://www.muslim.or.id



SIAPA BILANG SALAFI PELIT SHOLAWAT?

Terdapat perkataan miring dari sebagian orang yang membenci dakwah sunnah, bahwa salafiyyin, atau orang yang meneladani generasi salafush shalih dalam beragama, enggan bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam atau bahkan dituduh anti-shalawat. Padahal salafiyyin, yang senantiasa berpegang-teguh pada dalil-dalil shahih, bershalawat ratusan kali setiap harinya. Hal ini merupakan konsekuensi dari mengikuti dalil-dalil shahih, karena banyak dalil-dalil shahih yang menganjurkan amalan tersebut. Berikut ini beberapa kesempatan dalam satu hari yang dianjurkan untuk bershalawat, berdasarkan dalil-dalil shahih:

1. Ketika Masuk Masjid

Sebagaimana hadits dari Fathimah Radhiallahu’anha:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دخل المسجد صلى على محمد وسلم ، وقال : رب اغفر لي ذنوبي ، وافتح لي أبواب رحمتك

“Biasanya, ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam masuk ke dalam masjid beliau bershalawat kemudian mengucapkan: Rabbighfirli Dzunubi Waftahli Abwaaba Rahmatik (Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan bukalah untukku pintu-pintu Rahmat-Mu)” (HR. At Tirmidzi, 314. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi).

Dan seorang salafi, masuk ke masjid minimal 5 kali dalam sehari.

2. Ketika Keluar Masjid

Sebagaimana kelanjutan hadits dari Fathimah Radhiallahu’anha:

وإذا خرج صلى على محمد وسلم ، وقال : رب اغفر لي ذنوبي وافتح لي أبواب فضلك

“Dan ketika beliau keluar dari masjid, beliau bershalawat lalu mengucapkan: Rabbighfirli Dzunubi, Waftahlii Abwaaba Fadhlik (Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan bukalah untukku pintu-pintu keutamaan-Mu)” (HR. At Tirmidzi, 314. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi).

Dan seorang salafi, keluar dari masjid minimal 5 kali dalam sehari.

3. Ketika Tasyahud

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا يدعو في صلاته لم يمجد الله تعالى ولم يصل على النبي صلى الله عليه وسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم عجل هذا ثم دعاه فقال له أو لغيره إذا صلى أحدكم فليبدأ بتمجيد ربه جل وعز والثناء عليه ثم يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم ثم يدعو بعد بما شاء

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mendengar seorang lelaki yang berdoa dalam shalatnya tanpa mengagungkan Allah dan tanpa bershalawat. Beliau pun berkata: ‘Orang ini terlalu tergesa-gesa’. Rasulullah lalu memanggil lelaki tersebut lalu menasehatinya: ‘Jika salah seorang diantara kalian berdoa mulailah dengan mengagungkanlah Allah, lalu memuji Allah, kemudian bershalawatlah, barulah setelah itu berdoa apa yang ia inginkan‘” (HR. Abu Daud, 1481. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud).

Pada ulama mengatakan bahwa tempat shalawat kepada Nabi di dalam shalat adalah setelah tasyahud awal dan akhir. Bahkan sebagian ulama menggolongkan shalawat setelah tasyahud akhir sebagai rukun shalat.

Dan seorang salafi, minimal ber-tasyahud 10 (5 x 2) kali dalam sehari.

4. Ketika disebut nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

اَلْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

“Orang pelit itu adalah orang yang ketika disebut namaku ia enggan bershalawat” (HR. At Tirmidzi no.3546, ia berkata: “Hasan Shahih Gharib”).

Seorang salafi, yang senantiasa bersemangat menuntut ilmu syar’i, ia membaca kitab para ulama, menghafal hadits, duduk di majlis-majlis ilmu, puluhan kali nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam disebut di sana sehingga ia pun puluhan kali bershalawat.

5. Ketika selesai mendengar adzan

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا سمعتم المؤذن فقولوا مثل ما يقول . ثم صلوا علي . فإنه من صلى علي صلاة صلى الله عليه بها عشرا

“Jika kalian mendengarkan muadzin mengumandangkan adzan, ucapkanlah apa yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah kepadaku. Karena setiap seseorang bershalawat kepadaku, Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali” (HR. Muslim, no. 384)

Dan adzan, minimal 5 kali berkumandang setiap harinya.

6. Dalam rangkaian dzikir pagi

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من صلى علي حين يصبح عشرا وحين يمسي عشرا أدركته شفاعتي يوم القيامة

“Barangsiapa bershalawat kepadaku ketika pagi dan ketika sore masing-masing 10 kali, ia akan mendapatkan syafa’atku kelak di hari kiamat” (Dihasankan oleh Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib, 1/314, juga oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid, 10/123. Sebagian ulama melemahkan hadits ini, semisal Al Albani dalam Adh Dha’ifah, 5788 )

Dan seorang salafi bersemangat menjaga dzikir pagi setiap harinya. Dalam rangkaian dzikir pagi juga banyak disebut nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sehingga ketika mengamalkan dzikir pagi, puluhan kali shalawat diucapkan.

7. Dalam rangkaian dzikir sore

Sebagaimana hadits pada poin sebelumnya. Seperti paparan sebelumnya, ketika mengamalkan dzikir sore pun, puluhan kali shalawat diucapkan.

8. Ketika hendak berdoa

Sebagaimana hadits pada poin 3. Dan seorang salafi bersemangat memperbanyak doa, dalam rangka mengamalkan firman Allah:

ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Berdoalah kepada-Ku, akan Aku kabulkan doa kalian. Sungguh orang-orang yang sombong, enggan beribadah kepada-Ku, akan Aku masukkan mereka ke neraka Jahannam yang pedih” (QS. Al-Mu’min: 60)

Terutama pada waktu-waktu yang mustajab untuk berdoa. Dan dalam 1 hari ada puluhan waktu mustajab untuk berdoa. Sehingga seorang salafi, puluhan kali bershalawat sebelum berdoa dalam sehari.

9. Pada waktu-waktu bebas yang tidak ditentukan

Seorang salafi senantiasa menggunakan waktunya agar tidak tersia-sia. Salah satu caranya dengan banyak berdzikir, dan diantara dzikir yang dianjurkan adalah bacaan shalawat kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dianjurkan untuk memperbanyak shalawat kapan saja tanpa terikat kesempatan tertentu. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan para Malaikatnya bershalawat kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kepadanya dan doakanlah keselamatan atasnya” (QS. Al Ahzab: 56)

Juga keumuman sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

فإنه من صلى علي صلاة صلى الله عليه بها عشرا

“Karena setiap seseorang bershalawat kepadaku, Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali” (HR. Muslim, 384)

Di perjalanan, ketika menunggu, ketika istirahat, ketika berjalan, ketika dalam majelis, dan waktu-waktu lain kapan saja dan di mana saja.

10. Pada hari dan malam Jum’at

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إن من أفضل أيامكم يوم الجمعة فأكثروا علي من الصلاة فيه فإن صلاتكم معروضة علي قال فقالوا يا رسول الله وكيف تعرض صلاتنا عليك وقد أرمت قال يقولون بليت قال إن الله تبارك وتعالى حرم على الأرض أجساد الأنبياء صلى الله عليهم

“Hari jumat adalah hari yang paling utama. Oleh karena itu perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari itu. Karena sesungguhnya shalawat kalian itu sampai kepadaku”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin shalawat kami sampai kepadamu, sementara kelak engkau dikebumikan?”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengharamkan bumi untuk menghancurkan jasad para Nabi shallallahu ‘alaihim” (HR. Abu Daud no. 1047. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami, 2212)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

أكثروا الصلاة علي يوم الجمعة و ليلة الجمعة ، فمن صلى علي صلاة صلى الله عليه عشرا

“Perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari dan malam Jumat. Karena orang yang bershalawat kepadaku satu kali, Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali” (HR. Al-Baihaqi, 3/249. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 1407)

Jelaslah sudah bahwa salafiyyin, orang-orang yang berpegang-teguh pada dalil Qur’an dan sunnah yang shahih, akan mengamalkan shalawat ratusan kali dalam sehari, bahkan lebih. Tentu saja dengan suara lirih, sendiri-sendiri, tidak dikeraskan dan tidak pula beramai-ramai. Namun perlu dicatat, bahwa setiap orang tentu memiliki juhud yang berbeda-beda dalam ibadahnya.

Adapun shalawat yang diingkari oleh salafiyyin adalah shalawat yang dikarang-karang serta dibuat-buat oleh orang, dan tidak pernah diajarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam maupun para shahabat serta generasi salafus shalih. Dikarang-karang lafadznya, juga tata-caranya. Para sahabat Nabi, orang yang paling mencintai beliau jauh lebih cinta dari kita semua, mereka tidak pernah mengarang-ngarang shalawat. Mereka bahkan bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam cara bershalawat:

يا رسول الله ، أما السلام عليك فقد عرفناه ، فكيف الصلاة ؟ قال : ( قولوا :اللهم صل على محمد وعلى آل محمد ، كما صليت على إبراهيم ، إنك حميد مجيد ، اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد ، كما باركت على إبراهيم ، إنك حميد مجيد )

“Wahai Rasulullah, tata cara salam terhadapmu, kami sudah tahu. Namun bagaimana cara kami bershalawat kepadamu? Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam bersabda: ‘Ucapkanlah: Allahumma Shalli ‘ala Muhammad Wa ‘ala Aali Muhammad, Kamaa Shallaita ‘ala Ibrahim Innaka Hamiidum Majid. Allahumma Baarik ‘ala Muhammad Wa ‘ala Aali Muhammad, Kamaa Baarakta ‘ala Ibraahim, Innaka Hamiidum Majid‘”. (HR. Bukhari 4797)

Apalagi shalawat-shalawat yang dikarang-karang oleh sebagian orang, dibumbui dengan khasiat-khasiat tertentu tanpa dalil. Diperparah lagi jika shalawat-shalawat buatan tersebut dilantunkan beramai-ramai menggunakan pengeras suara. Padahal Allah Ta’ala memerintahkan kita berdzikir dengan rendah diri, penuh takut dan bersuara lirih:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ

“Berdzikirlah kepada Rabb-mu dengan penuh kerendahan diri, rasa takut serta tanpa suara yang dikeraskan” (QS. Al A’raf: 205)

Renungkanlah, dari apa yang kita paparkan di atas, andai kita mau mengamalkan shalawat berdasarkan dalil yang shahih, hari-hari kita akan sangat sibuk sekali. Maka, untuk apa kita masih mencari-cari atau mengarang-ngarang shalawat sendiri? Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu berkata:

اتَّبِعُوا وَلاَ تَبْتَدِعُوا ، فَقَد كُفِيتُم

“Ikutilah saja (sunnah Nabi) dan jangan berbuat bid’ah. Sesungguhnya sunnah Nabi telah mencukupi kalian“

Sumber: www.muslim.or.id