Minggu, 12 Desember 2010

Ucapan “Shadaqallahul ‘Azhim” setelah membaca Al Quran?

Bacaan “shadaqallahul ‘azhim” setelah membaca Al Qur’an merupakan perkara yang tidak asing bagi kita tetapi sebenarnya tidak ada tuntunannya, termasuk amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya, bahkan menyelisihi amalan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam ketika memerintahkan Ibnu Mas’ud untuk berhenti dari membaca Al Qur’an dengan kata “hasbuk”(cukup), dan Ibnu Mas’ud tidak membaca shadaqallahul’adzim.

Dalam Shahih Al Bukhari disebutkan:
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata bahwa Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam telah berkata kepadaku, “Bacakan kepadaku (Al Qur’an)!” Aku menjawab, “Aku bacakan (Al Qur’an) kepadamu? Padahal Al Qur’an sendiri diturunkan kepadamu.” Maka Beliau menjawab, “Ya”. Lalu aku membacakan surat An Nisaa’ sampai pada ayat 41. Lalu beliau berkata, “Cukup, cukup.” Lalu aku melihat beliau, ternyata kedua matanya meneteskan air mata.

Syaikh Muhammad Musa Nashr menyatakan, “Termasuk perbuatan yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah) yaitu mayoritas qori’ (orang yang membaca Al Qur’an) berhenti dan memutuskan bacaannya dengan mengatakan shadaqallahul ‘azhim, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghentikan bacaan Ibnu Mas’ud dengan mengatakan hasbuk (cukup). Inilah yg dikenal para salaf dan tidak ada keterangan bahwa mereka memberhentikan atau mereka berhenti dengan mengucapkan shadaqallahul ‘azhim sebagaimana dianggap baik oleh orang-orang sekarang”. (Al Bahtsu wa Al Istiqra’ fi Bida’ Al Qurra’, Dr Muhammad Musa Nashr, cet 2, th 1423H)

Kemudian beliau menukil pernyataaan Syaikh Mustafa bin Al ‘Adawi dalam kitabnya Shahih ‘Amal Al Yaumi Wa Al Lailhlm 64 yang berbunyi, “Keterangan tentang ucapan Shadaqallahul’azhim ketika selesai membaca Al Qur’an: memang kata shadaqallah disampaikan Allah dalam Al Qur’an dalam firman-Nya,

قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah:’Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.’ Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” (Qs Ali Imran:95)

Memang benar, Allah Maha Benar dalam setiap waktu. Namun masalahnya kita tidak pernah mendapatkan satu hadits pun yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhiri bacaannya dengan kata “Shadaqallahul’azhim.”

Di sana ada juga orang yang menganggap baik hal-hal yang lain namun kita memiliki Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam sebagai contoh teladan yang baik. Demikian juga kita tidak menemukan satu atsar, meski dari satu orang sahabat walaupun kita mencukupkan pada hadits-hadits Nabi shallallanhu’alaihi wa sallam setelah kitab Allah dalam berdalil terhadap masalah apa pun. Kami telah merujuk kepada kitab Tafsir Ibnu Katsir, Adhwa’ Al Bayan, Mukhtashar Ibnu katsir dan Fathul Qadir, ternyata tak satu pun yang menyampaikan pada ayat ini, bahwa Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam pernah mengakhiri bacaannya dengan shadaqallahul ‘azhim.(Lihat Hakikat Al Maru Bil Ma’ruf Wa Nahi ‘Anil munkar, Dr Hamd bin Nashir Al ‘Amar,cet 2)

Bila dikatakan “Cuma perkataan saja, apa dapat dikatakan bid’ah?” Perlu kita pahami,bahwa perbuatan bid’ah itu meliputi perkataan dan perbuatan sebagaimana sabda Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam,

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR Muslim)

Sehingga apa pun bentuknya, perkataan atau perbuatan yang dimaksudkan untuk ibadah yang tidak ada contohnya dalam agama, maka ia dikategorikan bid’ah. Bid’ah ialah tata cara baru dalam agama yang tidak ada contohnya, yang menyelisihi syariat dan dalam mengamalkannya dimaksudkan sebagai ibadah kepada Allah.

Wallahu a’lam.

sumber: http://www.muslimah.or.id

Rabu, 08 Desember 2010

Sifat Bidadari Surga

Harumnya Bidadari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sekiranya salah seorang bidadari surga datang ke dunia, pasti ia akan menyinari langit dan bumi dan memenuhi antara langit dan bumi dengan aroma yang harum semerbak. Sungguh tutup kepala salah seorang wanita surga itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Kecantikan Fisik
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rombongan yang pertama masuk surga adalah dengan wajah bercahaya bak rembulan di malam purnama. Rombongan berikutnya adalah dengan wajah bercahaya seperti bintang-bintang yang berkemilau di langit. Masing-masing orang di antara mereka mempunyai dua istri, dimana sumsum tulang betisnya kelihatan dari balik dagingnya. Di dalam surga nanti tidak ada bujangan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُم بِحُورٍ عِينٍ
“Demikianlah. Dan Kami berikan kepada mereka bidadari.” (Qs. Ad-Dukhan: 54)
Abu Shuhaib al-Karami mengatakan, “Yang dimaksud dengan hur adalah bentuk jamak dari  haura, yaitu wanita muda yang cantik jelita dengan kulit yang putih dan dengan mata yang sangat hitam. Sedangkan arti ‘ain adalah wanita yang memiliki mata yang indah.
Al-Hasan berpendapat bahwa haura adalah wanita yang memiliki mata dengan putih mata yang sangat putih dan hitam mata yang sangat hitam.


Sopan dan Pemalu
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati bidadari dengan “menundukkan pandangan” pada tiga tempat di Al-Qur’an, yaitu:
“Di dalam surga, terdapat bidadari-bidadari-bidadari yang sopan, yang menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin. Maka nikmat Rabb-mu yang manakah yang kamu dustakan? Seakan-akan biadadari itu permata yakut dan marjan.” (Qs. Ar-Rahman: 56-58)
“Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya.” (Qs. Ash-Shaffat: 48)
“Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan sebaya umurnya.”
Seluruh ahli tafsir sepakat bahwa pandangan para bidadari surgawi hanya tertuju untuk suami mereka, sehingga mereka tidak pernah melirik lelaki lain.


Putihnya Bidadari
Allah Ta’ala berfirman, “Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (Qs. ar-Rahman: 58)
al-Hasan dan mayoritas ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah bidadari-bidadari surga itu sebening yaqut dan seputih marjan.
Allah juga menyatakan,“(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih dipingit dalam kemah.” (Qs. Ar-Rahman: 72)
Maksudnya mereka itu dipingit hanya diperuntukkan bagi para suami mereka, sedangkan orang lain tidak ada yang melihat dan tidak ada yang tahu. Mereka berada di dalam kemah.
Baiklah…ini adalah sedikit gambaran yang Allah berikan tentang bidadari di surga. Karena bagaimanapun gambaran itu, maka manusia tidak akan bisa membayangkan sesuai rupa aslinya, karena sesuatu yang berada di surga adalah sesuatu yang tidak/belum pernah kita lihat di dunia ini.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Azza wa Jalla berfirman, “Aku siapkan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas oleh pikiran.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Setelah mengetahui sifat fisik dan akhlak bidadari, maka bukan berarti bidadari lebih baik daripada wanita surga. Sesungguhnya wanita-wanita surga memiliki keutamaan yang sedemikian besar, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
“Sungguh tutup kepala salah seorang wanita surga itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan lagi, seorang manusia telah Allah ciptakan dengan sebaik-baik rupa,
“Dan manusia telah diciptakan dengan sebaik-baik rupa.” (Qs. At-Tiin: 4)
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari yang bermata jeli?”
Beliau shallallahu’‘alaihi wa sallam menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari yang bermata jeli, seperti kelebihan apa yang tampak daripada apa yang tidak tampak.”
Saya bertanya, “Karena apa wanita dunia lebih utama daripada mereka?”
Beliau menjawab, “Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutra, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuning-kuningan, sanggulnya mutiara dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, ‘Kami hidup abadi dan tidak mati, kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali, kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali, kami ridha dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.’.” (HR. Ath Thabrani)

Subhanallah. Betapa indahnya perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebuah perkataan yang seharusnya membuat kita, wanita dunia, menjadi lebih bersemangat dan bersungguh-sungguh untuk menjadi wanita shalihah. Berusaha untuk menjadi sebaik-baik perhiasan. Berusaha dengan lebih keras untuk bisa menjadi wanita penghuni surga..

Nah, tinggal lagi, apakah kita mau berusaha menjadi salah satu dari wanita penghuni surga?


Sumber: Kitab, Mukhtashor Hadil al-Arwah ila Bilad al-Afrah (Tamasya ke Surga, Darul Falah), Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah.

Sabtu, 04 Desember 2010

Mengenal Manhaj Salaf

Apakah pengertian manhaj salaf? Siapakah mereka para salaf yang dimaksud? Kemudian adakah kewajiban untuk mengikuti manhaj salaf? Marilah kita simak penjelasan berikut yang disarikan dari sebuah buku yang sangat bermanfaat karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafidzahullah, semoga semakin memperjelas bagi kita tentang manhaj salaf sesuai pemahaman yang sebenarnya.

1. Apakah definisi dari manhaj?

Manhaj dalam bahasa artinya jalan yang jelas dan terang. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya,

”Untuk tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang…” (Al Maidah: 48)

Sedang menurut istilah, Manhaj ialah kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi setiap pelajaran-pelajaran ilmiyyah, seperi kaidah-kaidah bahasa arab, ushul ‘aqidah, ushul fiqih, dan ushul tafsir dimana dengan ilmu-ilmu ini pembelajaran dalam islam beserta pokok-pokoknya menjadi teratur dan benar. Dan manhaj yang benar adalah jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama menurut pemahaman para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Apakah definisi salaf ?

Salaf berasal dari kata salafa-yaslufu-salafun, artinya telah lalu. Kata salaf juga bermakna: seseorang yang telah mendahului (terdahulu) dalam ilmu, iman, keutamaan, dan kebaikan. Karena itu generasi pertama dari umat ini dari kalangan para tabi’in disebut sebagai as-salafush-shalih.

Sedangkan definisi salaf menurut istilah, salaf adalah sifat yang khusus dimutlakkan untuk para sahabat. Ketika yang disebutkan salaf maka yang dimaksud pertama kali adalah para sahabat. Adapun selain mereka itu ikut serta dalam makna salaf ini, yaitu orang-orang yang mengikuti mereka. Artinya, bila mereka mengikuti para sahabat maka disebut salafiyyin, yaitu orang-orang yang mengikuti salafush shalih.

3. Siapakah salaf yang dimaksud?

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, yang artinya :

”Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai dibawahnya, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At- Taubah: 100)

Sedangkan dalam sebuah hadis juga dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan salaf pertama kali adalah sahabat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sebaik-baik manusia adalah pada masa ku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in). Demikian juga yang dikatakan oleh para ulama bahwasannya yang dimaksud dengan salaf adalah para sahabat.

Akan tetapi pembatasan secara waktu tidaklah mutlak tepat karena kita mengetahui bahwa beberapa sekte bid’ah dan sesat sudah muncul pada masa-masa tersebut. Karena itulah keberadaan mereka pada masa-masa itu (tiga kurun yang dimuliakan) tidaklah cukup untuk menghukumi bahwa dirinya berada diatas Manhaj Salaf, selama dirinya tidak mengikuti sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam memahami Al Quran dan Assunnah. Karena itulah ulama memberi batasan As-Salaf Ash-Shalih (pendahulu yang shalih).

Imam al Auza’i rahimahullah (wafat th.157 H) seorang Imam Ahlu Sunnah dari Syam berkata, “Bersabarlah dirimu diatas sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para sahabat tegak diatasnya. Katakanlah sebagai mana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan salafush shalih karena akan mencukupimu apa saja yang mencukupi mereka.”

Berdasarkan keterangan diatas, menjadi jelaslah bahwa kata salaf muthlak ditujukan untuk para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, semoga Allah Ta’ala meridhai mereka semua. Maka barang siapa yang mengikuti mereka semua dalam agama yang haq ini, maka ia adalah generasi penerus dari sebaik-baik pendahulu yang mulia.

4. Adakah dalil yang menunjukkan kewajiban untuk mengikuti mereka?

Terdapat banyak dalil yang dikemukakan oleh al Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas dalam bukunya Mulia dengan Manhaj Salaf, namun dalam tulisan yang singkat ini kami hanya mengambil beberapa dalil yang mewakili dan dapat digunakan sebagai hujjah.

Dalil-dalil dari Al Quranul Karim dan As Sunnah yang menunjukkan bahwa Manhaj Salaf adalah hujjah yang wajib diikuti oleh kaum muslimin:
Firman Allah Ta’ala, yang artinya,”Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (karena kamu menyuruh) berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah…” (Ali ‘Imran : 10 )Syaikhul Islam IbnuTaimiyah rahimahullah dalam kitabnya Naqdul Mantiq menjelaskan: kaum muslimin telah sepakat bahwa umat ini adalah sebaik-baik umat dan paling sempurna, dan umat yang paling sempurna dan utama adalah generasi yang terdahulu yaitu generasi para Sahabat.
Firman Allah Jalla Jalaaluhu, yang artinya, ”Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan-jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia kedalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisaa: 115 )Imam Ibnu Abi Jamrah rahimahullah mengatakan, ”Para ulama telah berkata mengenai makna dalam firman Allah, ”Dan mengikuti jalan yang bukan jalan-jalan orang yang beriman” yang dimaksud adalah (jalan) para Sahabat generasi pertama.
Diriwayatkan dari Sahabat al- ‘Irbadh bin sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”Suatu hari Rasulullah shalallah ‘alaihi wasallam pernah shalat bersama kami kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati bergetar, maka seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah, nasehat ini seakan-akan nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apa yang engkau wasiatkan kepada kami?’ Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,‘Aku wasiatkan kepada kalian supaya tetap bertaqwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh orang yang hidup diantara kalian setelahku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” HR Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no.4607), at-Tirmidzi (no.2676), ad-Darimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205), al Hakim (I/95)Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas terdapat perintah untuk berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah dan Sunnah Khulafa-ur Rasyidin sepeninggal beliau.

sumber: Buku, Mulia Dengan Manhaj Salaf karya, oleh Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawaz

Kamis, 25 November 2010

Download Mp3 Kajian Bersama Ustadz Salafi

Cara Downloadnya: Copy Pastekan link situsnya ke address bar.


Kajian Kitab Syaikh Muqbil (seorang ahli hadits murid senior syaikh nasirudin al albani)

http://www.4shared.com/account/dir/gCsrab_p/sharing.html?sId=Y0Z9oNmnpbD4F5a4

Ustadz Abdul Hakim Bin Amir Abdat ( ahli hadits indonesia)

http://www.4shared.com/account/home.jsp?afu=274905119&afp=754de7b4

Ustadz Yazid Bin Abdul Qodir Jawas (murid syaikh utsaimin)

http://www.4shared.com/account/dir/gCsrab_p/sharing.html

Ustadz Zainal Abidin Syamsudin

http://www.4shared.com/account/dir/gCsrab_p/sharing.html

Ustadz Muhtarom

1. Kajian Kitab Al Qoul Al Mufid

http://www.4shared.com/account/dir/gCsrab_p/sharing.html?sId=DxYt5W5klfGbOWyv

2. Kajian Kitab Riyadus Sholihin

http://www.4shared.com/account/dir/gCsrab_p/sharing.html?sId=DxYt5W5klfGbOWyv

Ustadz Mubarok Ba'muallim

http://www.4shared.com/account/dir/gCsrab_p/sharing.html?sId=DxYt5W5klfGbOWyv

Ustadz Daud Rosyid

http://www.4shared.com/account/dir/gCsrab_p/sharing.html?sId=DxYt5W5klfGbOWyv

Ustadz Armen Halim Naro (ustadz penyejuk hati)

http://www.4shared.com/account/dir/gCsrab_p/sharing.html?sId=DxYt5W5klfGbOWyv

Ustadz Abu Karimah Askari

http://www.4shared.com/account/dir/gCsrab_p/sharing.html?sId=DxYt5W5klfGbOWyv

Kumpulan Kajian dan Ebook

http://www.4shared.com/account/dir/gCsrab_p/sharing.html?sId=DxYt5W5klfGbOWyv

Minggu, 21 November 2010

PACARAN DALAM KACAMATA ISLAM

Cinta memang sebuah anugerah, cinta hadir untuk memaniskan hidup di dunia apalagi rasa cinta kepada lawan jenis, sang pujaan hati atau sang kekekasih hati menjadikan cinta itu begitu terasa manis bahkan kalo orang bilang bila orang sudah cinta, maka empedu pun terasa seperti gula. Begitulah cinta, sungguh hal yang telah banyak menjerumuskan kaum muslimin ke dalam jurang kenistaan manakala tidak berada dalam jalur rel yang benar. Mereka sudah tidak tahu lagi mana cinta yang dibolehkan dan mana yang dilarang.


Kehidupan seorang muslim atau muslimah tanpa pacaran adalah hambar, begitulah kata mereka. Kalau dikatakan nggak usah kamu pacaran maka serentak ia akan mengatakan Lha kalo nggak pacaran, gimana kita bisa ngenal calon pendamping kita? Kalo dikatakan pacaran itu haram akan dikatakan, pacaran yang gimana dulu? Beginilah keadaan kaum muda sekarang, racun syubhat, dan racun membela hawa nafsu sudah menjadi sebuah hakim akan hukum halal-haram, boleh dan tidak. Tragis memang kondisi kita ini, terutama yang muslimah.


Mereka para muslimah kebanyakan berlomba-lomba untuk mendapatkan sang pacar atau sang kekasih, apa sebabnya, Aku takut nggak dapat jodoh . Muslimah banyak ketakutannya tentang calon pendamping, karena mereka tahu bahwa perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1 : 5. Tapi apakah jalan pacaran sebagai penyelesaian? Jawabnya Tidak. Bagaimana bisa, kita ikuti selengkapnya pembahasan ini sebagai berikut, (diambil dari buku Pacaran dalam Kacamata Islam karya Abdurrahman al-Mukaffi)


Dikatakan beliau bahwa pacaran dikategorikan sebagai nafsu syahwat yang tidak dirahmati oleh Allah, karena ketiga rukun yang menumbuhkan rasa cinta menyatu di luar perkawinan. Hal ini dilakukan dengan dalih sebagai suatu penjajakan guna mencari partner yang ideal dan serasi bagi masing-masing pihak. Tapi dalam kenyataannya masa penjajakan ini tidak lebih dimanfaatkan sebagai pengumbaran nafsu syahwat semata-mata, bukan bertujuan secepatnya untuk melaksanakan perkawinan.

Hal ini tercermin dari anggapan mereka bahwa merasakan ideal dalam memilih partner jika ada sifat-sifat sebagai berikut :


Mereka merasa beruntung sekali jika selalu dapat berduaan, dan berpisah dalam waktu pendek saja tidak tahan rasanya. Dan keduanya merasa satu sama lain saling memerlukan.

Mereka merasa cocok satu sama lainnya. Karena segala permasalahan yang sedang dihadapi dan dirasakan menjadi masalah yang perlu dicari pemecahannya bersama. Hal ini dimungkinkan karena mereka satu dengan lainnya merasa dapat mencapai saling pengertian dalam seluruh aspek kehidupannya.
Mereka satu sama lain senantiasa berusaha sekuat tenaga untuk menuruti kemauan sang kekasih. Hal ini dimungkinkan karena perasaan cinta yang telah tumbuh secara sempurna dengan pertautan yang kuat.


Tapi tanpa disadari, pacaran itu sendiri telah melambungkan perasaan cinta makin tinggi. Di sisi lain, pacaran menjurus pada hubungan intim yang merusak cinta, melemahkan dan meruntuhkannya. Karena pada hakekatnya hubungan intim dalam pacaran adalah tujuan yang hendak dicapai dalam pacaran. Oleh karena itu orang yang pacaran selalu mendambakan kesyahduan. Dengan tercapainya tujuan tersebut kemungkinan tuntutannya pun mereda dan gejolak cintanya melemah. Hingga kebencian menghantui si bunga yang telah layu, karena si kumbang belang telah menghisap kehormatan secara haram.

Tak ubahnya seperti apa yang dinginkan oleh seorang pemuda untuk memadu cinta dengan dara jelita kembang desanya. Dalam pandangannya sang dara tampak begitu sempurna. Higga kala itu pikiran pun hanyut, malam terkenang, siang terbayang, maka tak enak, tidur pun tak nyenyak, selalu terbayang si dia yang tersayang. Hingga tunas kerinduan menjamur menggapai tangan, menggelitik sambil berbisik. Bisikan nan gemulai, tawa-tawa kecil kian membelai, canda-canda hingga terkulai, karena asyik, cinta pun telah menggulai. Menggulai awan yang mengawang, merobek cinta yang tinggi membintang, hingga luka mengubur cinta.....


Bagaimana pandangan Imam Ibnu Qoyyim rakhimaahullah tentang hal ini? Kata Ibnu Qoyyim, hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta. Malah, cinta diantara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan. Karena bila keduanya telah merasakan kenikmatan dan cita rasa cinta, tidak boleh tidak akan timbul keinginan lain yang tidak diperoleh sebelumnya.

Bohong! Itulah pandangan mereka guna membela hawa nafsunya yang dimurkai Allah, yakni berpacaran. Karena mereka telah tersosialisasi dengan keadaan seperti ini, seolah-olah mengharuskan adanya pacaran dengan bercintaan secara haram. Bahkan lebih dari itu mereka berani mengikrarkan, bahwa cinta yang dilahirkan bersama dengan sang pacar adalah cinta suci dan bukan cinta birahi. Hal ini didengung-dengungkan, dipublikasikan dalam segala bentuk media, entah cetak maupun elektronika. Entah yang legal maupun ilegal. Padahal yang diistilahkan kesucian dalam Islam adalah bukanlah semata-mata kepemudaan, kegadisan dan selaput dara saja. Lebih dari itu, kesucian mata, telinga, hidung, tangan dan sekujur anggota tubuh, bahkan kesucian hati wajib dijaga. Zinanya mata adalah berpandangan dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya, zinanya hati adalah membayangkan dan menghayal, zinanya tangan adalah menyentuh tubuh wanita yang bukan muhrim. Dan pacaran adalah refleksi hubungan intim, dan merupakan ring empuk untuk memberi kesempatan terjadinya segala macam zina ini.


Rasulullah bersabda,

Telah tertulis atas anak adam nasibnya dari hal zina. Akan bertemu dalam hidupnya, tak dapat tidak. Zinanya mata adalah melihat, zina telinga adalah mendengar, zina lidah adalah berkata, zina tangan adalah menyentuh, zina kaki adalah berjalan, zina hati adalah ingin dan berangan-angan. Dibenarkan hal ini oleh kelaminnya atau didustakannya.

Jika kita sejenak mau introspeksi diri dan mengkaji hadist ini dengan kepala dingin maka dapat dipastikan bahwa segala macam bentuk zina terjadi karena motivasi yang tinggi dari rasa tak pernah puas sebagai watak khas makhluk yang bernama manusia. Dan kapan saja, diman saja, perasaan tak pernah puas itu selalu memegang peranan. Seperti halnya dalam berpacaran ini. Pacaran adalah sebuah proses ketidakpuasan yang terus berlanjut untuk sebuah pembuktian cinta. Kita lihat secara umum tahapan dalam pacaran.



Alloh berfirman: "walattaqrobut zina". 'janganlah kamu dekati zina'. Jika mendekati zina saja kita dilarang, apalagi menempuh jalan menuju kesana (zina). Bukankah PACARAN merupakan jalan menuju zina?, berawal dari kenalan, kemudian pendekatan, kemudian jadian kemudian, jalan berduaan kemudian, kemudian pegangan tangan, kemudian rabaan, kemudian ciuman.  lalu terjadilah perzinahan. mari kita ikuti ilustrasi berikut.



Perjumpaan pertama, yaitu perjumpan keduanya yang belum saling kenal. Kemudian berkenalan baik melalui perantara teman atau inisiatif sendiri. hasrat ingin berkenalan ini begitu menggebu karena dirasakan ada sifat-sifat yang menjadi sebab keduanya merasakan getaran yang lain dalam dada. Hubungan pun berlanjut, penilaian terhadap sang kenalan terasa begitu manis, pertama ia nilai dengan daya tarik fisik dan penampilannya, mata sebagai juri. Senyum pun mengiringi, kemudian tertegun akhirnya, akhirnya jantung berdebar, dan hati rindu menggelora. Pertanyaan yang timbul kemudaian adalah kata-kata pujian, kemudian ia tuliskan dalam buku diary, Akankah ia mencintaiku? Bila bertemu ia akan pandang berlama-lama, ia akan puaskan rasa rindu dalam dadanya.

Pengungkapan diri dan pertalian, disinilah tahap ucapan I Love You, Aku mencintaimu. Si Juliet akan sebagai penjual akan menawarkan cintanya dengan rasa malu, dan sang Romeo akan membelinya dengan, I Love You. Jika Juliet diam dengan tersipu dan tertunduk malu, maka sang Romeo pun telah cukup mengerti dengan sikap itu. Kesepakatan pun dibuat, ada ijin sang Romeo untuk datang ke rumah, Apel Mingguan atau Wakuncar. Kapan pun sang Romeo pengin datang maka pintu pun terbuka dan di sinilah mereka akan menumpahkan perasaan masing-masing, persoalanmu menjadi persoalannya, sedihmu menjadi sedihnya, sukamu menjadi riangnya, hatimu menjadi hatinya, bahkan jiwamu menjadi hidupnya. Sepakat pengin terus bersama, berjanji sehidup semati, berjanji sampai rumah tangga. Asyik dan syahdu.


Pembuktian, inilah sebuah pengungkapan diri, rasa cinta yang menggelora pada sang kekasih seakan tak mampu untuk menolak ajakan sang kekasih. Buktikan cintamu sayangku. Hal ini menjadikan perasaan masing-masing saling ketergantungan untuk memenuhi kebutuhan diantara keduanya. Bila sudah seperti ini ajakan ciuman bahkan bersenggama pun sulit untuk ditolak. Na’udzubillah

Begitulah akhirnya mereka berdua telah terjerumus dalam nafsu syahwat, tali-tali iblis telah mengikat. Mereka jadi terbiasa jalan berdua bergandengan tangan, canda gurau dengan cubit sayang, senyum tawa sambil bergelayutan, dan cium sayang melepas abang. Kunjungan kesatu, kedua, ketiga, keseratus, keseribu, dan yang tinggal sekarang adalah suasana usang, bosan, dan menjenuhkan percintaan. Segalanya telah diberikan sang Juliet, Juliet pun menuntut sang Romeo bertanggung jawab? Ternyata sang Romeo pergi tanpa pesan walaupun datang dengan kesan. Sungguh malang nasib Juliet.


Wahai para Muslim/muslimah, sadarlah akan lamunan kalian, bayang-bayang cinta yang suci, bukanlah dengan pacaran, cobalah pikirkan buat kamu muslimah yang masih bergelimang dengan pacaran atau kalian wahai pemuda yang suka gonta-ganti pacar. Cobalah jawab dengan hati jujur pertanyaan-pertanyaan berikut dan renungkan!


Kami tanya :

Apakah kamu dapat berlaku jujur tentang hal adegan yang pernah kamu kamu lakukan waktu pacaran dengan si A,B,C s/d Z kepada calon pasangan yang akan menjadi istri atau suami kamu yang sesungguhnya? Kalau tidak kenapa kamu berani mengatakan, pacaran merupakan suatu bentuk pengenalan kepribadian antara dua insan yang saling jatuh cinta dengan dilandasi sikap saling percaya? Sedangkan kenapa kepada calon pasangan hidup kamu yang sesungguhnya kamu berdusta? Bukankah sikap keterbukaan merupakan salah satu kunci terbinanya keluarga sakinah?

Mengapa kamu pusing tujuh keliling untuk memutuskan seseorang menjadi pendamping hidupmu? Apakah kamu takut mendapat pendamping yang setelah sekian kali pindah tangan? Aku ingin calon pendamping yang baik-baik Kamu katakan seperti ini tapi mengapa kamu begitu gemar pacaran, hingga melahirkan korban baru yang siap pindah tangan dengan kondisi Aku bukan calon pendamping yang baik, bekas dari tanganmu, sungguh bekas tanganmu?

Jika kamu disuruh memilih diantara dua calon pasangan hidup kamu antara yang satu pernah pacaran dan yang satu begitu teguh memegang syariat agama, yang mana yang akan kamu pilih? Tentu yang teguh dalam memegangi agama, ya khan? Tapi kenapa kamu berpacaran dengan yang lain sementara kamu menginginkan pendamping yang bersih?

Bagaimana perasaan kamu jika mengetahui istri/ suami kamu sekarang punya nostalgia berpacaran yang sampai terjadi tidak suci lagi? Tentu kecewa bukan kepalang. Tetapi mengapa sekarang kamu melakukan itu kepada orang yang itu akan menjadi pendamping hidup orang lain?

Kalaupun istri/suami kamu sekarang mau membuka mulut tentang nostalgia berpacaran sebelum menikah dengan kamu. Apakah kamu percaya jika dia bilang kala itu kami berdua hanya bicara biasa-biasa saja dan tidak saling bersentuhan tangan? Kalau tidak kenapa ketika pacaran bersentuhan tangan dan berciuman kamu bilang sebagai bumbu penyedap?

Jika kamu nantinya sudah punya anak apakah rela punya anak yang telah ternoda? Kalau tidak kenapa kamu tega menyeret ortu kamu ke dalam api neraka Allah? Kamu tuntut mereka di hadapan Allah karena tidak melarang kamu berpacaran dan tidak menganjurkan kamu untuk segera menikah.

Karena itu wahai muslimah dan kalian para pemuda kembalilah ke fitrah semula. Fitrah yang telah menjadi sunattullah, tidak satupun yang lari daripadanya melainkan akan binasa dan hancur.

Inti dari pembahasan ini adalah:  "ALLOH DAN ROSULNYA YANG MENGATAKAN BAHWA PACARAN ITU HARAM "!

Jumat, 19 November 2010

Imam Asy-Syafii dan taqlid


Sesungguhnya para ahli fikih yang ditaqlidi, mereka menolak taqlid. Mereka melarang para muridnya dari taqlid kepada mereka. Yang paling keras dalam hal itu adalah Imam Asy-Syafi’i. Sesungguhnya beliau rohimahulloh sangat tegas dalam permasalahan ittiba’ (mengikuti) atsar (hadits, sunnah) yang sohih dan mengambil kandungan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, ketika yang lainnya tidak sampai, dan beliau berlepas tangan dari ditaqlidi secara global, beliau mengatakan yang demikian dengan terang-terangan. Semoga Alloh memberi manfaat yang demikian dan memperbesar pahalanya. Hal itu menjadi sebab kebaikan yang banyak. (Ibnu Hazm berkata dalam Kitab Al-Ihkam 6/118)

Al-Hakim rohimahulloh dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Imam AsySyafi’i, bahwa beliau berkata kepada Ibrohim Al-Muzani rohimahulloh: “Wahai Ibrohim! Janganlah kamu taqlid kepadaku pada setiap apa yang aku katakan, lihat dalam urusan hal itu untuk diri kamu, karena itu adalah agama. Bukanlah perkataan seseorang itu hujjah kecuali perkataan Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam.” (Al-Yawakit karya Asy-Sya’roni).

Di dalam Al-Mizan 1/49 karya Asy-Sya’roni rohimahulloh: Imam Asy-Syafi’i berkata kepada Robi’ (murid beliau): “Wahai Abu Ishak (panggilan Robi’)! Janganlah engkau taqlid kepadaku dalam semua pendapat yang aku katakan! Perhatikan hal itu utuk diri kamu, karena sesungguhnya hal itu adalah agama.”
(Disadur dari Tarikh Ahlul Hadits, Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad-Dahlawi Al-Madany rohimahulloh)

Imam Asy-Syafii: ApabilaHadits Itu Shahih, Maka Itulah Madzhabku

“Apabila hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.” Ini sebagaimana dihikayatkan oleh An-Nawawi di dalam Al-Majmu’ 1/63, dan Asy-Sya’rani 10/57
Dan ini diamalkan oleh para tokoh madzhab syafiiyah, semoga Allah merohmati mereka semua.

Sebagai contoh adalah apa yang dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi:
“Para pengikut madzhab syafiiyah telah mengamalkan perkataan beliau ini dalam masalah at-tatswib dan disyaratkannya tahallul dari ihram dengan udzur sakit serta yang lainnya yang diketahui dalam kitab-kitab madzhab. Di antara yang dihikayatkan bahwa dia berfatwa dengan hadits dari pengikut madzhab syafiiyah adalah Abu Ya’qub Al-Buwaithi dan Abu Al-Qashim Ad-Daraki.

Dan termasuk di antara yang mengamalkan perkataan beliau ini dari para pengikut madzhab syafiiyah yang para ahli hadits adalah: Al-Imam Abu Bakr Al-Baihaqi dan lainnya. Dan sekumpulan dari orang-orang terdahulu dari pengikut madzhab syafiiyah jika memandang satu masalah tentang ada sebuah hadits, sedangkan madzhab Asy-Syafii menyelisihinya maka mereka mengamalkan hadits tersebut dan berfatwa dengannya, dengan mengatkan bahwa madzhab Asy-Syafii adalah apa yang mencocoki hadits.

Asy-Syaikh Abu ‘Amr berkata: ‘Barangsiapa dari pengikut madzhab syafiiyah mendapati satu hadits menyelisihi madzhabnya dia meneliti. Jika sempurna alat-alat ijtihad pada dirinya secara mutlak atau dalam satu masalah, maka dia bebas beramal dengannya. Jika tidak sempurna alat ijtihad dan dia merasa berat menyelisihi hadits setelah melakukan pembahasan kemudian dia tidak mendapati jawaban yang memuaskan dari orang yang menyelisihinya, maka dia berhak untuk beramal dengan hadits itu jika seorang imam selain Asy-Syafii mengamalkannya. Maka ini menjadi udzur baginya untuk meninggalkan imamnya dalah masalah ini.’
Apa yang dikatakan beliau ini sungguh bagus. Wallahu a’lam.”


Contoh lain adalah jawaban Taqiyyuddin As-Subki dalam sebuah risalah Ma’na Qouli Asy-Syafii (3/103) tentang sebuah pertanyaan: jika seseorang tidak mendapati orang yang mengamalkan hadits tersebut, apa yang dia lakukan?
Beliau menjawab: “Lebih utama -menurutku- dia mengikuti hadits tersebut, dan hendaknya seseorang mengandaikan dirinya berada di depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal dia telah mendengar hadits itu dari beliau, apakah dia boleh untuk menunda-nunda untuk mengamalkannya? Tidak, demi Allah … dan setiap orang dibebani sesuai dengan pemahamannya.”

Al-Baihaqi berkata: “Oleh karena itu, beliau –Imam Syafii- banyak mengambil hadits…”
Oleh karena itu, para pengikut Al-Imam Syafii atau yang lainnya tidak mengambil semua yang dikatakan oleh imam mereka. Bahkan mereka meninggalkan banyak dari perkataan imam, ketika mereka melihat bahwa pendapat itu menyelisihi sunnah (hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti Al-Imam Al-Muzani dan lainnya.

Semoga hal ini bermanfaat bagi kita semua. Sehingga kita bisa mengikuti bimbingan Imam As-Syafii dengan memegang teguh sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sumber: http://fatwasyafii.wordpress.com

Kesepakatan Para Imam Madzhab di Dalam Mengikuti Dalil dan Meninggalkan Pendapat Yang Menyelisihinya

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya).”(QS. Al-’Araf: 3)

Sangat bermanfaat bila kita mengetahui perkataan para Imam madzhab yang empat (madzhab hanafi, maliki, syafii dan hambali). Dimana merupakan sikap mereka mendahulukan perkataan Allah dan Rasul-Nya daripada pendapat selain keduanya. Mereka memutuskan perkara dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ketika sebuah permasalahan tidak disebutkan secara nas dalam dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka berijtihad dan beristimbat dari dalil-dalil yang mereka ketahui.


Imam Asy-Syafii dan imam-imam yang lain, tidak pernah sekalipun mengajarkan kepada para pengikut-pengikutnya, untuk taklid (fanatik buta) kepada mereka.
Berikut perkataan para imam tersebut, semoga Allah merahmati mereka:

I. IMAM ABU HANIFAH

1. “Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)
Demikianlah kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam ini. Dimana mereka mengisyaratkan bahwa mereka tidaklah mengetahui as-sunnah semuanya. Dan Imam Syafii juga telah menyebutkan secara jelas tentang perkara itu –sebagaimana yang akan datang-. Kadang muncul dari mereka pendapat yang menyelisihi as-sunnah yang belum sampai kepada mereka, kemudian mereka memerintahkan kita untuk memegang teguh sunnah tersebut dan menjadikan as-sunnah tersebut sebagai madzhab para imam tersebut.

2. “Tidak boleh seseorang untuk berpegang dengan pendapat kami, selama ia tidak mengetahui dari (dalil) mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqa’u fi Fadha’ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145)
Kalau demikian ini wejangan mereka pada orang yang tidak mengetahui dalil mereka, lalu bagaimana dengan perkataan mereka terhadap orang yang mengetahui bahwa dalil menyelisihi pendapat mereka kemudian berfatwa menyelisihi dalil?

3. “Haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku.

4. “Sesungguhnya kami adalah manusia, yang mengatakan satu pendapat pada hari ini dan meralatnya di esok hari.”
Demikian perkataan beliau, karena banyak beliau membangun pendapatnya di atas qiyas, kemudian muncul pada diri beliau sebuah qiyas yang lebih kuat atau sampai kepada beliau sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau memegangnya dan meninggalkan pendapatnya yang lalu.

5. “Jika aku mengatakan suatu pendapat yang bertentangan dengan kitab Allah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah pendapatku”. (Al-Fulani di dalam Al- lqazh, hal. 50)


II. IMAM MALIK BIN ANAS

1. “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah, ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah, tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)

2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali bisa diambil perkataannya dan bisa ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)

3. Ibnu Wahab berkata: Aku mendengar Malik ditanya tentang menyelah-nyelahi jari di dalam wudhu, lalu dia berkata, “Tidak ada hal itu pada manusia.” Ibnu Wahab berkata: “Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya: “Kami mempunyai sebuah sunnah tentang hal itu.” Maka dia berkata: “Apakah itu?” Aku berkata: “Telah memberitahukan kepada kami Al-Laits bin Saad dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits: dari Yazid bin Amr Al -Mu’afiri: dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al-Mustaurid bin Syidad Al-Qurasyi telah memberikan hadits kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menggosok dengan kelingkingnya apa yang ada di antara jari-jari kedua kakinya.” Maka Imam Malik berkata, “Sesungguhnya hadits ini adalah hasan. Dan aku belum mendengarnya melainkan waktu ini.” Kemudian aku mendengarnya, setelah itu dia ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelah-nyelahi jari-jari. (Muqaddimah Al-Jarhu wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)


III. IMAM ASY-SYAFII

1. “Tidak ada seorangpun, kecuali ada satu sunnah Rasulullah yang terlewat dan terluput darinya. Maka kalau aku mengucapkan satu pendapat atau membuat satu kaedah dasar, padahal di tentang hal itu telah ada sabda dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertentangan dengan pendapatku. Maka pendapat yang benar itu adalah yang disabdakan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Itulah pendapatku.” (Tarikh Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3)

Mengulang yang telah disampaikan di depan… Demikianlah kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan Imam Syafii. Beliau mengisyaratkan bahwa tidak ada seorang pun mengetahui as-sunnah secara keseluruhan. Kadang muncul dari mereka pendapat yang menyelisihi as-sunnah yang belum sampai kepada mereka, kemudian mereka memerintahkan kita untuk memegang teguh sunnah tersebut dan menjadikan as-sunnah tersebut sebagai madzhab para imam tersebut.

2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak boleh dia meninggalkannya hanya karena mengikuti perkataan seseorang.” (Al-Fulani, hal. 68)

3. “Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku pendapat yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berpendapatlah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkan pendapatku.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam 3/47/1 dan An-Nawawi dalam Al-Majmu’ 1/63)

4. “Apabila hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.” (An-Nawawi di dalam Al-Majmu’ 1/63, dan Asy-Sya’rani 10/57)
Kejelasan tentang hal ini akan dibawakan dalam pembahasan berikutnya Insya Allah.


5. “Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadits dan para perawi hadits. Maka jika ada sebuah hadits shahih, maka ajarkanlah kepadaku apapun adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam. Sehingga apabila shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafii, 8/1)

6. “Setiap masalah yang di dalamnya terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam yang menyelisihi pendapatku, maka aku meralatnya baik ketika hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Harawi, 47/1)

7. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan riwayat shahih dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kalian taklid kepadaku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)

8. “Setiap hadits Nabi yang shahih itu adalah pendapatku, meskipun kalian tidak mendengarnya dariku.” (Ibnu Abi Hatim hal 93-94)


IMAM AHMAD BIN HAMBAL

1. “Janganlah engkau taklid kepadaku dan jangan pula engkau taklid kepada Malik, Syafii, Auza’i dan Tsauri. Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani hal 113)

2. “Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat semata, dan ia bagiku adalah sama. Sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits.)” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami` 2/149)

3. “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran. “ (Ibnul Jauzi hal 182).


Allah berfirman:
“Maka demi Rabbmu, (pada hakekatnya) mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Nabi) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa: 65)

Rabu, 17 November 2010

AHLUSSUNNAH = SALAFY

Manhaj Ahlus-Sunnah wal- Jama’ah sama dengan manhaj Salaf atau Salafi atau Salafush-Shâlih. Disebut dengan manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, karena jalan kebenaran itu adalah jalan orang-orang yang berpegang teguh terhadap Sunnah Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat. Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda:



Aku wasiatkan kepada engkau untuk bertakwa kepada Allah;
mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin),
walaupun seorang budak Habsyi.
Karena sesungguhnya barang siapa hidup setelahku,
ia akan melihat perselisihan yang banyak,
maka engkau wajib berpegang kepada Sunnahku
dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus.
Peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham.
Jauhilah semua perkara baru (dalam agama),
karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah,
dan semua bid’ah adalah sesat.[1]



Adapun orang yang menempuh jalan Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat itulah yang disebut dengan al-jama’ah, sebagaimana hadits di bawah ini:



Dari ‘Auf bin Mâlik radhiyallâhu’anhu,
ia berkata: Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Orang-orang Yahudi telah bercerai-berai menjadi 71 kelompok,
satu di dalam surga, 70 di dalam neraka.
Orang-orang Nashara telah bercerai-berai menjadi 72 kelompok,
71 di dalam neraka, satu di dalam surga.
Demi (Allah), Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya,
umatku benar-benar akan bercerai-berai menjadi 73 kelompok,
satu di dalam surga, 72 di dalam neraka”.
Beliau ditanya: “Wahai Rasulullah! Siapakah mereka itu?”
Beliau menjawab: “Al-Jama’ah”.[2]



Pada hadits lain disebutkan:



Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallâhu’anhu,
ia berkata: Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Benar-benar akan datang kepada umatku,
apa yang telah datang pada Bani Israil, persis seperti sepasang sandal.
Sehingga jika di antara mereka ada yang menzinahi ibunya terang-terangan,
di kalangan umatku benar-benar ada yang akan melakukannya.
Dan sesungguhnya Bani Isra’il telah bercerai-berai menjadi 72 agama,
dan umatku akan bercerai-berai menjadi 73 agama,
semuanya di dalam neraka kecuali satu”.
Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu itu, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”. [3]

Para sahabat serta generasi yang mengikutinya adalah Salafush-Shalih, disingkat dengan Salaf. Artinya, ialah orang-orang yang terdahulu yang shalih. Sedangkan orang yang mengikutinya disebut Salafi. Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam memuji Salaf tersebut dengan sabda Beliau:



Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat),
kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’in),
kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’ut tabi’in).
(Hadits mutawatir, riwayat Bukhâri, dan lainnya)

Namun yang perlu kita ketahui juga, bahwa tidak setiap orang yang menyatakan dirinya Salafi, kemudian dia benar-benar berada di atas manhaj Salaf. Karena kebenaran itu tidak hanya dengan perkataan dan pengakuan saja, tetapi juga memerlukan dukungan yang dibuktikan dengan amal perbuatan.

[1] HR Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (2676), ad-Dârimi, Ahmad, dan lainnya dari al-‘Irbadh bin Sariyah.
[2] HR Ibnu Majah (no: 3992), Ibnu Abi ‘Ashim (no. 63), al-Lalikai (1/101). Hadits ini derajatnya hasan. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Ibni Majah, no. 3226.
[3] Hadits Shahîh lighairihi, riwayat at-Tirmidzi, al-Hakim, dan lainnya. Dishahîhkan oleh Imam Ibnul-Qayyim dan
asy-Syathibi. Dihasankan oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dan Syaikh al-Albâni. Syaikh Salim al-Hilali menulis kitab
khusus untuk membela hadits ini, yaitu Daf’ul Irtiyab ‘an Haditsi mâ Ana ‘alaihi wal- Ash-hab.

Madzhab Asy’ariyah (NU), Ahlus Sunnahkah?

Oleh: Ustadz Armen Halim Naro Lc,

Sejarah masuknya dakwah Islam ke Nusantara adalah melalui jalan perairan di tepi pesisir-pesisir pantai atau hulu sungai, sebagai jalur utama transportasi tatkala itu.

Kemudian menyebar luas ke seluruh pelosok dan negeri. Sehingga setiap orang yang hendak meneliti seperti apakah pemahaman yang masuk ke negeri ini pertama kalinya, dia dapat memulai kajiannya dan mereka yang menetap di daerah-daerah pesisir atau kepulauan dan seterusnya.

Semenjak kecil penulis —kebetulan putra salah satu pesisir di Sumatera Barat— selalu melihat orang-orang tua di sana mengaji sifat dua puluh sebagai pelajaran utama dalam aqidah mereka. Kemudian kadang mereka mengatakan, “Fiqh kami fiqh Syafi’i, aqidah kami aqidah Asy’ari, tarekat kami tarekat Naqsyabandi.”

Pemahaman ini merupakan pemahaman kebanyakan masyarakat kita tentang agama yang mereka anut, hanya saja dengan bertambahnya usia dan meningkatnya pelajaran, tentu Setiap kita perlu mempertanyakan apa yang selama ini dipahami oleh orang-orang tua dan dibesarkan dengannya generasi muda kita. Karena hal itu menyangkut kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Benarkah Asy’ariyah sebagai kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah? Benarkah pemahaman Asy’ariyah itu pemahaman “Firqah Najiyah” -yang disebut-sebut oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sebagai satu-satunya kelompok yang selamat-?!

Hal ini mengingatkan penulis kepada sebuah kejadian yaitu pengikut Asy’ariyah ‘meradang’ hebat sewaktu Syaikhul Isuam Ibnu Taimiyah rohimahullah menulis tentang aqidah Ahlus Sunnah dalam kitab al-Aqidah al-Wasithiyahnya, awal ucapan beliau, “Inilah aqidah Firqah Najiyah….” Lalu mereka adakanlah sebuah majelis dengan mendatangkan para qadhi dan ulama Asy’ariyah untuk mendebat beliau.

Sehingga Syaikhul Islam terpaksa harus mendatangkan 50 kitab dari kitab imam yang empat, ahlul hadits, tasawuf, dan ahlul kalam. Beliau berkomentar, “Aku telah beri waktu tiga tahun kepada setiap orang yang menyelisihiku (dalam kitab ini), seandainnya mereka menemukan ada satu huruf yang bertentangan dengan perkataan tiga generasi terbaik Islam, maka aku siap untuk kembali.” Beliau melanjutkan, “Maka tidak ada seorang pun yang mendapatkan ucapanku bertentangan dengan salah satu ulama Islam maupun pendahulu mereka, padahal mereka telah mencarinya di khazanah dan perpustakaan negeri.” (Lthat Majmu’ Fatawa 3/169, 217)

Apakah Asy’arlyah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu?

“Asy’ariyah” yang juga dikenal dengan “Asya’irah” adalah penisbatan sebuah pemahaman dalam aqidah kepada Imam Abul Hasan al-Asy’ari(1), hanya mereka berpegang pada pemahaman Abul Hasan pada fase kedua kehidupannya, yang dikenal pada saat itu beliau menganut pemahaman Kullabiyah. Alangkah baiknya bagi mereka menapak jejak Abul Hasan yang terakhir dalam hidupnya! Yaitu beliau kembali kepada ajaran salaf. Karena sebagaimana yang telah diketahui bahwa kehidupan beliau melalui tiga fase:
a. Fase dengan membawa pemahaman Mu’tazilah, karena kebetulan gurunya dalam pemahaman ini adalah bapak tirinya yang bernama Abu Ali al Jubba’i, hal ini berlangsung hingga beliau berusia 40 tahun. (Tabyin Kadzibil Muftari, hal. 40)
b. Fase dengan membawa pemahaman Ku11abiyah diambil dari nama pendirinya, Abdullah bin Sa’id bin Kullab al Qaththan (240 H). Pemahaman inilah yang menjadi tonggak ajaran dan pokok pemahaman mereka dalam madzhab, pemahaman ini dituangkan oleh beliau dalam kitab al-Luma’ fir Radd ‘ala Ahliz Zaighi wal Bida’.


c. Fase dengan membawa pemahaman salaf (Ahlus Sunnah wal Jama’ah), pemahaman yang mana beliau wafat dengannya, beliau tuangkan dalam karangan beliau yaitu al-Ibanah, Risalah ila Ahli Tsaghar dan Maqalat Islamiyyin.

Sedangkan istilah “Ahlus Sunnah wal Jama’ah” mempunyai dua kata, “Sunnah” dan “Jama’ah”. Sunnah secara bahasa adalah jalan atau gaya hidup, sebagian mengaitkannya dengan kebaikan (2). Dan secara istilah adalah jalan hidup Rasulullah , yang diterangkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta jalan para sahabat yang telah mereka sepakati.

Jama’ah artinya secara bahasa mengumpulkan atau perkumpulan. Sedangkan secara istilah, tidak lepas dan enam makna:

(1) awadul a’zham/kelompok mayoritas (3),

(2) kumpulan ulama mujtahid,

(3) para sahabat secara khusus,

(4) umat Islam jika sepakat dalam sebuah perkara,

(5) umat Islam jika bersatu dalam sebuah kepemipinan,

(6) kelompok yang benar. (Lihat Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah wa Manhajul Asya’irah, DR. Khalid bin Abdul Lathif Muhammad Nur, 1/22)

Dan keseluruhan makna tersebut, tidak ada pertentangan bahkan saling menguatkan, karena jama’ah yang dimaksud ialah para sahabat, karena merekalah kelompok yang berada di atas kebenaran, kelompok yang terbanyak.

Maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara singkat adalah mereka yang berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah dan mengikuti jama’ah sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Asy’ariyah sepakat dalam definisi Ahlus Sunnah di atas, dalam kitab mereka Jauharah at Tauhid dikatakan: “ Wa kullul khoiri Ittibaa’u man salafa wa kullu syarrin fiy ibtidaa’in man kholafa “Seluruh kebaikan dengan mengikuti salaf (yang terdahulu) Dan semua keburukan pada bid’ah orang khalaf (yang datang kemudian).

Akan tetapi, benarkah dakwaan Asy’ariyah bahwa pemahaman mereka adalah pemahaman para sahabat dan aqidah mereka adalah aqidah imam yang empat?

Di atas perapian, akan kita lihat siapa yang emas dan siapa yang loyang, di pintalan akan ketahuan mana yang sutera dan mana yang benang?!

Secara garis besar, penulis menemukan empat belas pokok pemahaman Asy’ariyah yang bertentangan dengan pemahaman Ahlus Sunnah. Di antaranya:

(1) mashdar talaqqi, (2) sifat wujud Alloh , (3) tauhid, (4) iman, (5) al-Qur’an, (6) qadar, (7) sebab dan musabab, (8) kenabian, (9) tahsin dan taqbih, (10) takwil, (11) hikmah/illah, (12) sam’iyat/ nash, (13) takfir, (14) asma dan sifat.

Di bawah ini, penulis akan sebutkan tujuh ushul (pokok) pemahaman tersebut dengan Sedikit penjelasan singkat lantaran keterbatasan halaman. Siapa saja yang ingin mendapatkan penjelasan lebih mendalam, penulis persilahkan membaca kitab-kitab bantahan ulama salaf terhadap Asy’ariyah, terutama kitab-kitab Syaikhul Islam dan murid beliau, Ibnul Qayyim rohimahullah.

1. Mashdar Talaqqi (sumber dasar pengambilan)(4)

Pertama: Sebagaimana yang kita ketahui bahwa mashdar talaqqi Ahlus Sunnah adalah al-Qur’an dan Sunnah, ijma’, dan qiyas. Berbeda dengan Asy’ariyah, sumber pengambilan mereka adalah akal.

Hal ini diperkuat oleh pendapat para tokoh madzhab seperti al-Juwaini, ar-Razi, al-Ghazali, al Amidi, dan seluruh ulama mereka yang mengatakan jika akal dan nash saling bertentangan, maka yang menang adalah akal. Bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa mengambil zhahir Kitab dan Sunnah termasuk dari pokok paham kekufuran. (Sebagaimana disebutkan as-Sanusi (885 H) dalam Syarhul Kubra dan ar-Razi dalam Asasut Taqdis hal.1 72)

Kedua: Bahwa nash-nash dalam Kitab dan Sunnah bersifat zhanniyah dalalah (tidak mutlak mengandung kebenaran) dengan tidak memberi keyakinan, yang qath’i (mendatangkan keyakinan) adalah akal. (Ma’alim Ushuliddin, Fakhruddin ar-Razi, hal. 24)

Ketiga: Mereka memandang bahwa hadits tidak dapat dijadikan pegangan dalam aqidah. Jika terjadi pertentangan dengan akal, yang mutawatir harus ditakwil, sedangkan yang ahad tidak perlu digubris. Sampai-sampai imam mereka, ar-Razi, menyebutkan bahwa semua riwayat hadits dari para sahabat adalah zhanniyah (adanya kemungkinan salah), tidak berbeda dalam hal kejujuran mereka maupun dalam hafalan. Dan juga mereka mengatakan bahwa dalam kitab Shahihain (Bukhari-MusIim) ada hadits-hadits yang dipalsukan oleh orang orang zindiq.

Keempat: Kitab-kitab aqidah mereka senantiasa mereka penuhi dengan perkataan para filosof, orang-orang bijak -yang sebenamya bukan bijak- atau yang lainnya. Bersamaan dengan itu, kitab kitab aqidah tersebut kosong dari ayat-ayat Alloh Azza wa Jalla apalagi sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Kelima: Sumber pengambilan kalangan tasawuf Asy’ariyah seperti al-Ghazali dan Hami lebih mendahulukan kasyaf (pembukaan tabir alam khayal) dan zauq (perasaan jiwa) serta takwil nash. Bahkan mereka menshahihkan dan melemahkan hadits menurut zauq dan kasyaf tersebut, dan mereka menyebutnya “ilmu laduni”.

2. Wujud Alloh Azza wa Jalla

Menurut salaf, keberadaan Alloh Azza wa Jalla merupakan hal yang fithri, dalil tentang hal itu telah terpatri pada alam, jiwa, dan wahyu. Pada setiap sesuatu ada bukti tentang wujud Alloh Azza wa Jalla .

Sedangkan Asy’ariyah hanya mernpunyai satu-satunya alasan tentang wujud Alloh Azza wa Jalla ,yaitu “huduts” (baru) dan “qidam” (terdahulu). Menurut mereka, bukti bahwa Alloh a itu wujud adalab bahwa semua makhluk bersifat baru dan setiap yang baru mesti ada yang terdahulu.

Kekhususan Dzat yang terdahulu bahwa semua sifat-sifatnya tidak boleh sama (baik lafazh maupun makna, Pen.) dengan sifat makhluk. Makanya Alloh – menurut mereka- bukanlah jauhar (badan halus), tidak jisim (badan kasar), tidak mempunyai arah, dan tidak punya tempat … dan seterusnya(5) dari istilah-istilah bid’ah yang tidak pernah Alloh sifati diri-Nya dengan penamaan tersebut, akan tetapi pemahaman mereka hanya sebagai bentuk taqlid terhadap guru-guru mereka dari kalangan filosof dan ahli kalam, Untuk memastikannya, silakan lihat permulaan semua kitab aqidah mereka.

3. Tauhid

Tauhid menurut Ahlus Sunnah terbagi tiga, yaitu: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ dan sifat. Sedangkan menurut Asy’ariyah, tauhid adalah menafikan sekutu atau bilangan serta menafikan bagian dan susunan.

Dari makna ini, mereka menafsirkan kata “ilah” dengan a1-Khaliq (6) (Sang Pencipta) atau Dzat yang mampu berbuat. Dan mereka pun mengingkari sebagian sifat seperti wajah, tangan, mata, karena menurut rnereka hal itu menunjukkan susunan dan bagian.

Sedangkan tauhid hakiki yang menjadi lawan syirik, maka sama sekali tidak ada dalam kitab aqidah mereka. Penulis tidak tahu di mana mereka letakkan pembahasan tersebut, apakah di pembahasan furu’? Jelas ini tidak akan ada, ataukah mereka meninggalkannya? ini yang bisa dipastikan.

Menurut salaf, yang wajib diketahui pertama kali adalah tauhid, sedangkan Asy’ariyah menyatakan bahwa kewajiban pertama adalah nazhar, meneliti dan menganalisa dengan akal.

Mereka mengingkari ma’rifat kepada Alloh dengan fithrah. Mereka berkata, “Barangsiapa beriman kepada Alloh melalui jalan selain jalan analisa maka dia taqlid. telah berbuat maksiat, bahkan telah jatuh kafir.

Point inilah yang dibantah oleh Ibnu Hajar karena konsekuensi dari ungkapan tersebut ialah pengkafiran semua orang awam, bahkan semua sahabat Rasulullah karena mereka semua mendapatkan iman (bukan dengan jalan analisa, Red.) (7)

‘4. Iman

Iman menurut Ahlus Sunnah adalah pengakuan hati, ucapan lisan, dan perbuatan anggota badan,bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat. Sedangkan menurut Asy’ariyah cukup dengan pembenaran hati, tidak bertambah dan berkurang.

ini menyerupai ucapan Murji’ah Jahmiyah, sebagaimana yang disebut pada semua pembahasan aqidah mereka)”

5. Al-Qur’ an (Kalamullah)

Madzhab Ahlus Sunnah tentang al Qur”an menyatakan bahwa ia adalah “Kalamullah” bukan makhluk, bahwasanya al-Qur’an itu firman Alloh Azza Wa Jalla .Dia sendiri yang berbicara terdengar oleh malaikat-Nya, didengar oleh Jibril alaihissalam , didengar oleh Musa alaihissalam, dan akan didengar semua makhluk nantinya pada hari kiamat.

Sedangkan madzhab Asy’ariyah merupakan kombinasi antara pemahaman Ahlus Sunnah dengan pemahaman Mu’tazilah yang mereka mengatakan al-Qur’an itu makhluk

Asy’ariyah membedakan antara lafazh dengan makna. Kalam yang mereka tetapkan adalah makna dalam diri-Nya, bukan berupa suara dan bukan pula huruf. Adapun kitab-kitab yang diturunkan termasuk al-Qur’an bukanlah kalam-Nya, akan tetapi dia tidak lebih dan sebuah makna yang terpahami oleh Jibril alaihissalam dan terpisah dari Dzat-Nya, jika diungkapkan dalam bahasa Ibrani jadilah ia Taurat, jika berbahasa Suryani jadilah dia Injil, dan jika berbahasa Arab jadilah ia al-Qur”an. Semuanya makhluk, sedangkan penyebutannya dengan Kalamullah hanya sebatas majaz/kiasan (9)

6. Qadha dan qadar

Asy’ariyah dalam qadar berusaha mengkombinasikan antara pemahaman Jabariyah (10) dan Qadariyah. Mereka menemukan sebuah teori yang mereka beri nama dengan “kasab”, yang mana mereka sendiri bingung menjelaskan teori tersebut ujung-ujung teori tersebut menuju pemahaman Jabariyah tulen.

Berkata ar-Razi menjelaskan teori tersebut, “Sesungguhnya manusia terpaksa dalam bentuk memilih.” al-Baghdadi memberi permisalan tentang teori tersebut umpama seorang hamba dengan Alloh Azza wa Jalla , dua orang yang membawa batu yang besar, yang satu lemah dan yang satu lagi kuat, sebenarnya yang kuatlah yang membawa, sedangkan si lemah juga tidak bisa lepas dari penyebutan membawa. (Al.Inshaf hal. 45-46, Ushuluddin hal. 133, dan lainnya)

7. Sebab dan musabab

Asy’ariyah mengingkari bahwa sesuatu dapat mempengaruhi sesuatu, seperti api dapat membakar, pisau dapat melukai, dan seterusnya. Bahkan mereka mengkafirkan atau membid’ahkan setiap orang yang menyelisihi mereka dalam pemahaman mi.

Mereka mengatakan, “Barangsiapa mengatakan bahwa api sifatnya dapat membakar atau apilah penyebab terbakar, maka dia kafir atau musyrik karena tidak ada yang berbuat kecuali Alloh . Menurut mereka lagi, barangsiapa meyakirii bahwa api dapat membakar karena Alloh • memberikan kekuatan untuk membakar, maka dia mubtadi’ sesat. (Lihat Syifaul ‘Alil, Ibnul Qayyim, 259- 261, dan juga pembahasan mereka tentang qadar)

Setelah penjelasan singkat ini, apa yang tersisa bagi Asy’ariyah dalam penisbatan mereka kepada madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah?! Dalam semua bab aqidah, Asy’ariyah selalu memposisikan dirinya sebagai oposisi Ahlus Sunnah, sebagai bentuk pembelaan mereka terhadap filsafat dan ilmu kalam.

Penulis tidak akan menyembunyikan sesuatu dalam hal ini, bahwa memang ada persamaan Ahlus Sunnah terhadap madzhab Asy’ariyah, yaitu pembahasan tentang para sahabat dan pembahasan imamah (kepemimpinan), inilah satu-satunya bab yang Asy’ariyah sepakat dengan Ahlus Sunnah.

Di saat bersamaan, ulama Ahlus Sunnah mengakui juga bahwa madzhab Asy’ariyah kelompok yang terdekat kepada Ahlus Sunnah dari kelompok yang binasa lainnya.

Pendapat Ulama Islam dari Kalangan Madzhab yang Empat Tentang Asy’ariyah

1. Ulama Malikiyah

Diriwayatkan dari Ibnu Abdil Barr al-Maliki yang bergelar “Hafizh Maghrib” (Alim dari Maghrib/ Marokko) dari faqih Malikiyah Ibnu Khuwaiz Mindaz dengan sanadnya, bahwa beliau berkata dalam bab Syahadat -ketika menjelaskan perkataan Imam Malik “Tidak boleh persaksian ahlul bid’ah dan hawa”.-, “Ahlul hawa menurut Malik dan seluruh penganutnya ialah ahlul kalam. Maka setiap ahli kalam adalab ahlul ahwa’ dan dan bid’ah, baik dia bermadzhabkan Asy’ariyah maupun bukan, tidak diterima persaksiannya dalam Islam selama-lamanya, diboikot dan dihukum atas perlakuan bid’ahnya, jika masih berlanjut diminta bertaubat (kalau tidak maka dibunuh, Pen.).” (Jami’ Bayanil ilmi wa Fadhlihi, Tbnu Abdil Barr, 2/117, tahqiq Utsman Muhammad Utsman)

2. Ulama Syafi’iyah

Berkata Imam Abul Abbas bin Juraij yang bergelar “Syafi’i Kedua” —kebetulan beliau semasa dengan al-Asy’ari—, “Kami tidak setuju dengan takwil Mu’tazilah,Asy’ariyah, Jahmiyah, Mulhidah, Mujassimah, Musyabbihah, Karamiyah, Mukayyifah. Akan tetapi kami menerimanya tanpa takwil dan beriman dengannya tanpa tamtsil (11)

Berkata Imam Abul Hasan al-Karji dari ulama Syafi’iyah pada abad kelima, “Para ulama Syafi’iyah selalu tidak mau jika mereka dinisbatkan kepada Asy’ariyah. Bahkan mereka berlepas diri dari semua pemahaman madzhab Asy’ari, melarang pengikut dan para sahabat mereka mendekat kepada madzhab tersebut, sesuai dengan berita yang aku terima dari beberapa ulama dan para imam.”

Kemudian belian mencontohkan seperti syaikh Syafi’iyah pada masanya, Imam Abu Hamid al-Isfirayini-yang bergelar dengan “Syafi’i Ketiga”—, seraya berkata, “Sudah dimaklumi bersama tegasnya Syaikh (al-Isfirayini) terhadap ,ahli kalam, sehingga beliau memilah antara ushul fiqh Syafi’i dengan ushul Asy’ari. Sikap yang sama diperlihatkan pula oleh Abu Ishaq asy-Syirazi dalam kedua kitab beliau, al-Luma’ dan at-Tabshirah. Sampai-sampai jika ada persamaan antara perkataan Asy’ari dengan perkataan ulama Syafi’iyah, beliau tetap bedakan dan berkata, ‘Perkataan ini adalah pendapat para sahabat kami dan dengannya berpendapatlah Asy’ariyah.’ Beliau tidak pernah menggolongkan Asy’ariyah ke dalam pengikut Syafi’i. Hal itu dikarenakan benci kepada ushul fiqh mereka. Bagaimana pula sikap mereka terhadap ajaran mereka?” (Tis’iniya, Ibnu Taimiyah, 238-239)

3. Ulama Hanafiyah

Sebagaimana diketahui bahwa penulis kitab Thahawiyah, Imam Thahawi dan pensyarahnya yaitu Ibnu Abil ‘Tzz al-Hanafi, keduanya penganut madzhab Hanafi. Apalagi Imam Thahawi semasa pula dengan al-Asy’ari. Beliau menulis kitab tersebut untuk menerangkan aqidah Imam Abu Hanifah. Mereka menukilkan dari Imam Abu Hanifah bahwa beliau tegas-tegas menyatakan bahwa seseorang yang berkata Alloh Azza wa Jalla tidak di atas ‘arsy atau mengambil sikap diam ten- tang itu maka dia kafir. Lantaran itulah Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah, telah mengkafirkan Bisyr al-Mirrisy -tokoh ajaran Mu’tazilah-. Sebagaimana diketahui pula, Asy’ariyah mengingkari bahwa Alloh Azza wa Jalla di atas ‘arsy dan bahwasanya pokok pemahaman Asy’ariyah diambil dari Bisyr al-Mirnisy.

4. Ulama Hanabilah

Tidak ada yang tidak mengetahui sikap ulama Hanabilah terhadap madzhab Asy’ariyah semenjak Imam Ahmad membid’ahkan Ibnu Kullab sebagai pendiri yang sebenarnya madzhab Asy’ariyah. Semenjak itu pula, antara Hanabilah dengan madzhab Asy’ariyah selalu dalam peperangan yang berkepanjangan.

Demikianlah nukilan singkat pendapat ulama empat madzhab terhadap Asy’ariyah. Terlebih lagi, jika diperdengarkan nukilan dari ulama jarh wa ta’dil dari kalangan ulama hadits tentang madzhab Asy’ariyah, tentu akan lebih keras dan tegas lagi. Sebagaimana diketahui, madzhab Asy’ariyah secara umum menolak hadits ahad, dan hadits-hadits di Shahihain —kata mereka— sebagiannya dipalsukan oleh orang-orang zindiq dan seterusnya dari bencana pemahaman rusak mereka.

Kenyataan yang Tidak Bisa Dipungkiri

Di sini tersebutlah sebuah kenyataan, sehingga yang memungkirinya sama artinya dia memungkiri adanya matahari di siang bolong. Yaitu pengakuan kembali, kebingungan, dan taubat ulama-ulama besar Asy’ariyah dari pemahaman dan aqidah yang selama ini mereka bela. Di antara mereka:

Abul Hasan al-Asy’ari sebagai pendiri madzhab, al-Juwaini, al-Ghazali, asy-Syihristani, dan Fakhrur Razi. Jika mereka memang berada di atas aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka dari apakah mereka bertaubat?! Dan dari aqidah manakah mereka kembali?!

Kesimpulan

Dari pembahasan singkat ini dapat kita pahami, dakwaan Asy’ariyah bahwa mereka adalah Ahlus Sunnah merupakan dakwaan tanpa bukti. Akan tetapi bukan berarti pula mereka keluar dari Islam. Yang pasti, mereka adalah salah satu dari sekian banyak kelompok yang disebut oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak selamat dengan aqidah dan pemahaman mereka.

Dengan demikan, semakin nyata bagi kita semua bahwa jalan kebenaran dan keselamatan adalah jalan Rasuluilah Shallallahu alaihi wa sallam dengan pemahaman para Salafus shalih ( 3 generasi terbaik Islam yaitu pendahulu kita yang shalih dari Sahabat, Tabi’in, Tabiut Tabi’in )

“ Wa Kullul khoiri Ittibaa’u man Salafa Wa Kullu Syarrin fiy Ibtidaa’in man Kholafa “

Seluruh kebaikan dengan mengikuti salaf (yang terdahulu) Dan semua keburukan pada bid’ah orang khalaf (yang datang kemudian).

Foot Noote :

(1) Al-Milal wan Nihal (1/94) asy-Syihristani.

(2) An-Nihayah fi Gharibil Had its (2/409) Ibnul Atsir dan Tahzibul Lughah (12/298-299) Azhari.

(3) Makna ini diambil dari beberapa riwayat yang tidak lepas dari kelemahan.

(4) Silahkan lihat tentang mashdar talaqqi mereka dalam Dar’u Ta’arudh al-Aq1 wan Naql oleh lbnu Taimyah, Asasut Taqdis (hal. 168-1 73) oleh ar-Razi, asy-Syamil (hal. 561) oleh al-Juwaini, Syarhul Kubra (hal. 502) oleh as-Sanusi.

(5) Karena itu sifat-sifat makhluk (hadits). Menurut salaf, sifat Alloh ialah apa yang Dia tetapkan dalam syari’at-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa menakwil, menyerupakan, membayangkan, dan seterusnya sebagaimana yang diterangkan dalam kitab aqidah.

(6) Arti yang benar dalam kalimat yang agung tersebut adalah “Tiada Dzat yang berhak diibadahi selain Alloh “. Arti ini mencakup dua tauhid, yaitu rububiyah dan uluhiyah. Sedangkan tafsiran Asy’ariyah yang mengartikan bahwa “Tidak ada Dzat yang mencipta melainkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala “, hanya sebatas pengakuan terhadap tauhid rububiyah dan belum masuk pengakuan tenhadap tauhid uluhiyah. Tafsiran Asy’ariyah telah diakui oleh musyrik Quraisy, akan tetapi tidak membuat mereka menjadi muslim.

(7) Silahkan lihat pembahasan ini, al-Inshaf (hal. 22) al-Baqillani, asy-Syamil (hal. 120), Fathul Bari (3/357, 361), Dar’u Ta’arudh al-’Aql wan Naql (juz 7, 8, dan 9). ‘

(8) Silahkan lihat al-Irsyad (hal. 397), al-Inshaf (hal. 55) al-Baqillani, dan juga al -I man Ibnu Taimiyah -hampir keseluruhan kitab tersebut bantahan terhadap mereka.

(9) Silahkan lihat pemahaman mereka tentang al-Quran al-Inshaf (hal. 96-97), Ushuhuldin (hal. 107), S yarh al-Bajuri (hal. 64-66).

(10) Jabariyah adalah pemahaman bahwa manusia tidak mempunyai ikhtiar, dia bagaikan kapas yang diterbangkan angin. KebaIikannya, pemahaman Qadariyah.

(11) lbnu Juraij wafat 306 H, lihat Siyar A’lam an-Nubala’ (14/201). Kelihatannya, beliau telah meninggal sebelum kembalinya Abul Hasan al-Asy’ari kepada madzhab salaf. Silahkan lihat ljtima’ Juyusy Islamiyah (hal. 62).


Sumber : Majalah Al Furqon Edsi 7 Tahun V/ Shafar 1427 ( Feb 06 )

Asy’ariyyah Bukan Ahlus-Sunnah

Oleh: Redaksi Majalah Fatawa

Asy’ariyyah adalah nama sebuah kelompok atau firqah ahli kalam yang menisbatkan diri kepada Abul-Hasan al-Asy’ari ketika menyatakan diri keluar dari kelompok Mu’tazilah.

Asy’ariyyah menjadikan hujjah-hujjah dan dalil-dalil akal serta ilmu kalam untuk membantah kelompok Mu’tazilah, kaum filosof dan kelompok lain yang menyelisihinya. Bantahan itu dilakukan ketika menetapkan hakikat agama dan akidah Islam, mengikuti pemikiran Ibnu Kullab.

Mereka mengklaim diri mereka sebagai Ahlus-Sunnah. Di negara kita sering disalah-pahamkan bahwa metode Asy’ariyah, sebagaimana Maturidiyah, adalah sama dengan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.

Mengenal Abu Hasan al-Asy’ari

Namanya adalah Abul-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, nashab-nya bersambung hingga Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu.1 Lahir di kota Bashrah pada tahun 260 H2 dan wafat pada tahun 324 H di kota Baghdad –menurut pendapat yang benar3– serta dimakamkan di sana. Keyakinan dan pemikiran4 hidupnya mengalami tiga fase, yaitu:

Pertama, ia hidup di bawah asuhan dan bimbingan Abu Ali al-Juba’i –seorang tokoh dan guru kaum Mu’tazilah–, mengambil ilmu darinya dan menjadi wakil serta kepercayaannya. Sehingga dia menjadi seorang Mu’tazilah yang menyerukan pemikiran-pemikiran Mu’tazilah, yang mendahulukan akal daripada naql (nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits). Hal itu berlangsung selama kurun waktu 40 tahun.

Kedua, pada suatu ketika dia meneliti ulang tentang keyakinan dan pemikiran Mu’tazilahnya. Dan sempat menghilang dari tengah-tengah khalayak selama 15 hari, berdiam diri di rumahnya guna merenungi dan mengkaji ulang keyakinan dan pemikirannya, lalu beristikharah (meminta petunjuk) kepada Allah hingga ia mendapatkan ketenangan.

Setelah itu dia pun muncul kembali di tengah khalayak dan menyatakan bara’ah-nya (berlepas diri) dari Mu’tazilah, pemahaman yang sejak awal dipelajari dan diyakininya. Dalam hal ini dia menulis kitab al-Luma’ fir-Raddi ‘ala Ahliz-Zaighi wal-Bida’.

Namun setelah ia meniti jalan yang baru, dia kembali terperosok dalam penakwilan nash-nash sifat-sifat Allah yang dianggapnya sesuai dengan hukum akal. Dalam hal ini ia mengikuti jalan yang ditempuh oleh Abdullah bin Sa’id bin Kullab5 yang menetapkan tujuh “sifat dzat” bagi Allah dengan dalil akal, yaitu: sifat Hayat (hidup), sifat ‘Ilmu, sifat Iradah (keinginan), sifat Qudrah (kekuasaan/kemampuan), sifat Sama’ (pendengaran), Bashar (penglihatan) dan sifat Kalam (berbicara).

Adapun sifat khabariyyah, seperti sifat Wajah, sifat Dua Tangan, sifat Telapak Kaki dan Betis6 maka ditakwilkan kepada makna yang menurutnya selaras dengan hukum akal. Sedangkan sifat-sifat Allah yang berkaitan dengan masyi’ah (kehendak)7 ditolaknya (tidak menetapkannya).

Keyakinan dan pemikiran Abul-Hasan al-Asy’ari pada fase kedua inilah yang kemudian diikuti oleh kelompok Asy’ariyyah sampai sekarang. Mereka “menyangka” bahwa inilah fase terakhir yang dialaminya.

Ketiga, yaitu fase di mana Abul-Hasan menemukan jalan Ahlus-Sunnah yang menetapkan semua sifat Allah tanpa tahrif8 dan tasybih/tamtsil9, serta tanpa takyif10 dan ta’thil11; mengikuti manhaj (jalan) yang ditempuh oleh Salafush-Shalih (generasi utama seperti Sahabat, Tabi’in dan Atba at-Tabi’in). Pada fase ini dia menulis beberapa kitab yang utamanya adalah kitab “al-Ibanah ‘An Ushulid-Diyanah.12”

Didalamnya dia menjelaskan bagaimana dia memilih akidah dan manhaj Salaf, serta menyatakan dirinya merujuk kepada Imam Ahlus-Sunnah, Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Dia menyatakan di kitab al-Ibanah tersebut (hal. 43);

“Pendapat dan agama yang kami pegang adalah berpegang kepada kitab Rabb kami (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi kami (Muhammad) Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta apa yang diriwayatkan oleh para sahabat, tabi’in dan para imam hadits; kami berpegang erat kepada itu semua.

Kami sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu ‘Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal –semoga Allah menjadikan wajahnya berseri, mengangkat derajatnya dan melimpahkan pahalanya–, dan kita menjauhi orang-orang yang menyelisihinya, karena dia adalah imam yang utama dan pemimpin yang sempurna; melaluinya Allah menjelaskan kebenaran disaat muncul kesesatan dan melaluinya pula Allah menjelaskan jalan yang terang, mengalahkan bid’ah-bid’ah, penyimpangan dan keraguan yang dilakukan oleh para pelakunya…”

Disamping itu dia juga telah menulis kitab “Maqalat al-Islamiyyin” dan “al-Risalah Ila Ahli al-Tsaghr.”

Namun demikian, karena telah begitu lamanya dia mendalami madzhab Mu’tazilah, sehingga menjadikannya tidak selamat dari beberapa kesalahan. Semoga Allah merahmati Beliau dan mengampuni segala kesalahannya.

Sebagian Pemikiran Asy’ariyyah yang Menyimpang dari Ahlus-Sunnah

Dalam banyak hal, pemikiran kelompok Asy’ariyyah menyepakati akidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, namun tidak sedikit pula yang menyelisihinya. Di antaranya yang terpenting adalah:

Pertama: Tentang Sifat-sifat Allah.

Kelompok Asy’ariyyah hanya menetapkan tujuh sifat dzat: Ilmu, Qudrah, Iradah, Sama’, Bashar, Kalam dan Hayat; berdasarkan dalil akal semata. Adapun sifat-sifat khabariyyah, mereka takwilkan; seperti sifat istiwa’ (tinggi di atas arsy-Nya) mereka takwilkan dengan istila’ (menguasai). Mereka juga menolak atau mentakwilkan sifat-sifat fi’liyyah yang berkaitan dengan masyi’ah; seperti sifat Nuzul (Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya)13 yang mereka takwilkan dengan nuzul-amrihi (turunnya keputusan Allah); sifat Tangan yang mereka takwilkan dengan qudrat atau nikmat dan lain-lain yang semisalnya. Menurut mereka, menetapkan sifat-sifat itu berdasarkan dzahir nash, berarti menjadikan Allah ber-jisim (tubuh) dan menyerupakan Allah dengan makhluk.

Ahlus-Sunnah menetapkan semua sifat Allah yang telah Allah tetapkan sendiri untuk-Nya dalam al-Qur’an dan apa yang ditetapkan oleh Rasul-Nya dalam as-Sunnah tanpa tahrif, tasybih/tamtsil, takyif maupun ta’thil. Karena Allah telah menyatakan (yang artinya);

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syura : 11)

Dengan kaidah ayat ini, Ahlus-Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah yang sesuai dengan kekhususan keagungan dan kebesaran Allah yang tidak bisa diserupakan dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Dan ini berlaku untuk semua sifat Allah, tidak berbeda antara sebagian sifat dengan sifat yang lain.

Karena menetapkan sebagian sifat Allah berarti mengharuskan untuk menetapkan sebagian sifat yang lainnya. Maka, jika mereka bisa menetapkan sebagian sifat, seperti Ilmu, Qudrat (kuasa/mampu), Iradat (keinginan/kehendak), Sama’ (pendengaran), Bashar (penglihatan), Kalam dan Hayat, mengapa mereka tidak bisa menetapkan sifat-sifat yang lainnya –dengan alasan bahwa menetapkannya akan jatuh kepada menyerupakan Allah dengan makhluk.

Bukankah sifat-sifat yang mereka tetapkan seperti ilmu dan lainnya juga dinisbatkan pada makhluk? Maka berarti mereka sendiri telah jatuh pada tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Kalau mereka mengatakan bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut hanya layak bagi Allah yang tidak sama dengan yang dimiliki makhluk-Nya.

Maka mengapa mereka bisa mengatakan hal itu untuk sifat-sifat yang mereka tetapkan saja. Mengapa mereka tidak bisa mengatakan yang sama untuk sifat-sifat yang lainnya, dengan mengatakan bahwa menetapkan semua sifat-sifat Allah itu adalah hanya layak bagi Allah yang tidak serupa dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

Jadi, dengan kaidah ayat diatas, bisa disimpulkan bahwa kesamaan lafazh sifat antara yang ada pada Allah dengan yang ada pada makhluk tidak mengharuskan kita menyerupakan hakikat antara sifat Allah dan sifat makhluk. Dan hakikat sifat-sifat Allah itu tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah sendiri. Wallahu a’lam.

Kedua: Tentang Perbuatan Hamba.

Kelompok Asy’ariyyah mengatakan bahwa perbuatan hamba adalah ciptaan Allah sekaligus merupakan usaha (kasb) hamba. Yang maksudnya bahwa qudrat (kemampuan) hamba tidak memiliki pengaruh terhadap perbuatannya –dengan berbagai bentuknya– yang muncul dari dirinya; karena Allah telah memberlakukan penciptaan perbuatan hamba tersebut bergandengan dengan qodrat-nya –dalam waktu yang bersamaan–, dan inilah yang mereka sebut sebagai kasb. Jadi, yang murni berpengaruh terhadap kemunculan perbuatan hamba adalah qodrat Allah, dalam arti bahwa hamba tidak memiliki ikhtiyar (pilihan). Pendapat mereka dalam masalah ini serupa dengan pendapat Jabriyyah (suatu kelompok dari kalangan Jahmiyyah).

Menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, hal tersebut merupakan perkara yang mustahil dan tidak bisa diterima oleh akal sehat. Karena jika hamba tidak memiliki ikhtiar (pilihan) atas perbuatan, maka apa yang mereka sebut sebagai kasb itu adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal sehat.

Dan perkataan tersebut menghasilkan konsekuensi bahwa kalau hamba tidak dikatakan sebagai pelaku perbuatan yang hakiki, maka berarti pelaku hakiki perbuatan tersebut adalah Allah. Padahal perbuatan tersebut melekat pada hamba dan tidak pada Allah.

Sehingga kalau hamba bukan pelakunya –padahal jelas ia yang melakukannya, maka bagaimana dikatakan bahwa Allah yang menjadi pelakunya? Karena kalau Allah pelakunya, maka hukum-hukum syari’at yang Allah tetapkan akan kembali kepada-Nya –termasuk balasan pahala dan siksa–, dan ini suatu hal yang mustahil. Allah Mahatinggi lagi Mahasuci dari hal ini. Jika demikian, apakah akan dikatakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut tidak ada pelakunya?! Dan ini adalah bathil.

Sedangkan Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan (hamba) itu pelakunya yang hakiki adalah hamba itu sendiri dengan ikhtiarnya, namun hal itu termasuk di antara perkara yang telah ada catatan takdirnya dari Allah. Jadi hambalah yang betul-betul melakukannya, tetapi Allah yang menciptakannya, yang menciptakan qodrat, iradat dan sebab; yang dengannya hamba melakukan perbuatan.

Periksa kembali bantahan dan jawaban terhadap kelompok Jahmiyyah dalam masalah ini di majalah Fatawa edisi 05/II.

Catatan Kaki:

1. ^ Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin ‘Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah Amir bin Abu Musa ‘Abdullah bin Qais al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. al-Asy’ari adalah penisbatan kepada kabilah Asy’ar yang terkenal di Yaman. Asy’ar nama aslinya adalah Nabt bin Udad. (Tarikh Baghdad 11/346 oleh al-Khathib al-Baghdadi; dan Tabyin Kadzibil-Muftara 34-35 oleh Ibnu Asakir)

2. ^ Inilah yang benar sebagaimana dalam Tarikh Baghdad (11/346); lihat juga Muqaddimah Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshari terhadap kitab al-Ibanah karya Abul-Hasan al-Asy’ari (hal. 5-6). Adapun yang tercantum dalam al-Mausu’ah al-Muyassarah fil Adyan wal-Madzahib (1/87) yaitu tahun 270 H, barangkali merupakan kesalahan cetak, wallahu a’lam.

3. ^ Merupakan pendapat Ibnu Hazm sebagaimana dinukil oleh al-Khathib dalam Tarikh-nya (11/346); lihat juga Tabyin Kadzibil-Muftara (hal. 56) oleh Ibnu Asakir.

4. ^ Diantaranya dijelaskan oleh Syaikh Hammad al-Anshari dalam muqaddimahnya terhadap kitab al-Ibanah (hal. 8-12); Beliau nukilkan beberapa perkataan para ulama yang menetapkan tentang fase-fase kehidupan Abul-Hasan al-Asy’ari sehingga menjadi seorang yang berjalan di atas manhaj Salafush-Shalih.

5. ^ Kemudian dikenal dengan Ibnu Kullab dan pengikutnya disebut Kullabiyah.

6. ^ Sifat dzat Allah terbagi dua: pertama, yaitu sifat dzat khabariyyah (yang dari sisi lafazhnya digunakan untuk anggota-anggota tubuh makhluk, namun hakikatnya berbeda antara Allah dengan makhluk-Nya, karena kesamaan dalam lafazh tidak mesti harus sama hakikatnya) seperti sifat Wajah, Dua Tangan, Dua Mata dan lainnya. Kedua, sifat dzat maknawiyyah (selain dari sifat khabariyyah) seperti sifat Hayat (Hidup), Ilmu, Iradah (Keinginan) dan lainnya.

7. ^ Maksudnya adalah sifat-sifat fi’liyyah (perbuatan) yang terkait erat dengan kehendak-Nya. Sifat-sifat fi’liyyah ini terbagi dua pula, yaitu: pertama, sifat fi’liyyah yang berkaitan dengan sebab yang ada pada hamba seperti Mencintai, Membenci, Ridha, Murka (marah) dan lainnya. Kedua, sifat fi’liyyah yang tidak terkait dengan sebab yang ada pada makhluk, seperti sifat Nuzul (turun ke langit dunia pada setiap sepertiga malam yang terakhir), Sifat Dhahik (Tertawa) dan lainnya. Yang kesemuanya berbeda hakikatnya dengan perbuatan-perbuatan makhluk, walaupun sama dalam lafazhnya.

8. ^ Tahrif yaitu menyimpangkan lafazh maupun makna dari nama atau sifat Allah kepada lafazh lain atau makna lain dengan tanpa dalil.

9. ^ Tasybih/tamtsil yaitu menyerupakan atau menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

10. ^ Takyif yaitu menetapkan suatu bentuk atau hakikat tertentu dari sifat-sifat Allah, padahal sifat-sifat Allah itu ghaib sebagaimana dzat-Nya.

11. ^ Ta’thil yaitu meniadakan atau mengingkari sebagian maupun keseluruhan dari sifat-sifat Allah.

12. ^ Sebagian orang menolak kebenaran penisbatan kitab ini kepada Abul-Hasan. Namun hal ini terbantah dengan apa yang ditetapkan oleh Ibnu Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzibil-Muftara dan Ibnu Darbas dalam kitabnya adz-Dzabbu ‘An Abil-Hasan al-Asy’ari. Lihat disertasi magister yang ditulis oleh Khalid bin Abdul-Lathif bin Muhammad Nur dengan judul Manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah wa Manhaj al-Asya’irah (1/32-39).

13. ^ Lihat hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim no. 758.

MAKNA AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH

Muhammad bin Abdullah Al-Wuhaibi

As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna (lihat : Mawaqif Ibnu Taimiyah Minal Asy’ariyah I:3804 oleh Syaikh Abdur-Rahman Al-Mahmud dan Mafhum Ahlis Sunnah Wal Jama’ah Inda Ahlis Sunnah Wal Jama’ah oleh Syaikh Nasyir Al-Aql).

Dalam tulisan ringkas ini tidak hendak dibahas makna-makna itu. Tetapi hendak menjelaskan istilah “As-Sunnah” atau “Ahlus Sunnah” menurut petunjuk yang sesuai dengan i’tiqad Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan : “….. Dari Abu Sufyan Ats-Tsauri ia berkata :

“Berbuat baiklah terhadap ahlus-sunnah karena mereka itu ghuraba”

(Diriwayatkan oleh Al-Lalika’i dalam “Syarhus-Sunnah” No. 49)

Yang dimaksud “As-Sunnah” menurut para Imam yaitu : Thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat berada di atasnya”.

Yang selamat dari syubhat dan syahwat“, oleh karena itu Al-Fudhail bin Iyadh mengatakan :

“Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk kedalam perutnya dari (makanan) yang halal”. ( lihat : Al-Lalika’i Syarhus Sunnah No. 51 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 8:1034).

Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu ‘anhum.

Kemudian dalam pemahaman kebanyakan Ulama Muta’akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya. As-Sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i’tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).

Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai “As-Sunnah”.

Menamakan masalah ini dengan “As-Sunnah” karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat. (Kasyful Karriyyah 19-20).

Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu ‘anhum.

Al-Imam Ibnul Jauzi mengatakan :

“….. Tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah”. (Talbisul Iblis oleh Ibnul Jauzi hal.16 dan lihat Al-Fashlu oleh Ibnu Hazm 2:107).

Kata “Ahlus-Sunnah” mempunyai dua makna :
Mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu ‘anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama dimana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i’tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma’.

Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.

Ibnu Sirin rahimahullah mengatakan :

“Mereka (pada mulanya) tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan : Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi’dah dan hadits mereka tidak di ambil”.(Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya hal.15).

Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya :

“Siapakah Ahlus Sunnah itu ? Ia menjawab : Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli”. (Al-Intiqa fi Fadlailits Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha. hal.35 oleh Ibnu Abdil Barr).

Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Dimana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.

Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang dihadapan Ahlul Bid’ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.

Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal dikalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa’ wal Bida’ dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji’ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu ‘anhum.

AHLUS SUNNAH WAL-JAMA’AH

Istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i’tiqad ialah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjama’ah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jama’ah. (lihat : Wujubu Luzuumil Jama’ah wa Dzamit Tafarruq. hal. 115-117 oleh Jamal bin Ahmad Badi).

Para ulama berselisih tentang perintah berjama’ah ini dalam beberapa pendapat. (Al-I’tisham 2:260-265).
Jama’ah itu adalah As-Sawadul A’dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar-pen) dari pemeluk Islam.
Para Imam Mujtahid
Para Shahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum.
Jama’ahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
Jama’ah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.

Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna.
Bahwa jama’ah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara’, maka wajib melazimi jama’ah ini dan haram menentang jama’ah ini dan amirnya.
Bahwa jama’ah yang Ahlus Sunnah melakukan i’tiba’ dan meninggalkan ibtida’ (bid’ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jama’ah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma’ atau As-Sawadul A’dzam. (Mauqif Ibni Taimiyah Minal Asya’irah 1:17).

Syaikhul Islam mengatakan :

“Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jama’ah karena jama’ah itu adalah ijtima’ (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jama’ah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma’ merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan dien dengan ketiga pokok ini (Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’). (Majmu al-Fatawa 3:175).

Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa’ wal Bida’.

Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta’ala :

“Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram”. (Ali-Imran : 105).

“Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa’ wa Dhalalah”. (Diriwayatkan oleh Al-Lalika’i 1:72 dan Ibnu Baththah dalam Asy-Syarah wal Ibanah 137.As-Suyuthi menisbahkan kepada Al-Khatib dalam tarikhnya dan Ibni Abi Hatim dalam Ad-Durrul Mantsur 2:63).

Sufyan Ats-Tsauri mengatakan :

“Jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan do’akanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah”. (Diriwayatkan oleh Al-Lalika’i dalam Syarhus Sunnah 1:64 dan Ibnul Jauzi dalam Talbisul Iblis hal.9).

Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah firqah yang berada diantara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukan atas luasnya i’tiqad dan manhaj.

Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para Ulama Salaf. Diantara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

ASY’ARIYAH, MATURIDIYAH DAN ISTILAH AHLUS SUNNAH.

Asy’ariyah dan Maturidhiyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini, dan di kalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa madzhab salaf “Ahlus Sunnah wa Jama’ah” adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu As’ariyah, Maturidiyah dan Madzhab Salaf.

Az-Zubaidi mengatakan :

“Jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah”. (Ittihafus Sadatil Muttaqin 2:6).

Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan :

“Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jama’ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi”.( Ar-Raudlatul Bahiyyah oleh Abi Udibah hal.3).

Al-Ayji mengatakan :

“Adapun Al-Firqotun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang mereka : “Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang Aku dan para shahabatku berada diatasnya”. Mereka itu adalah Asy’ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah”. (Al-Mawaqif hal. 429).

Hasan Ayyub mengatakan :

“Ahlus Sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid”. (lihat : Tabsithul Aqaidil Islamiyah, hal. 299 At-Tabshut fi Ushulid Din, hal. 153, At-Tamhid oleh An-nasafi hal.2, Al-Farqu Bainal Firaq, hal. 323, I’tiqadat Firaqil Muslimin idal Musyrikin, hal. 150).

Pada umumnya mereka mengatakan aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah berdasarkan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Disini tidak bermaksud mempermasalahkan pengakuan bathil ini. Tetapi hendak menyebutkan dua kesimpulan dalam masalah ini.
Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy’ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikitpun tidak dapat merubah hakikat kebid’ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.
Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar’i dan yang digunakan oleh para Ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i’tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apapun.

Diterjemahkan dari majalah

Al-Bayan, no. 78 Shafar 1415H

oleh Ibrahim Sa’id

[Majalah As-sunnah edisi 10/Th.1]

SEJARAH SINGKAT ABUL HASAN AL ASY”ARI

Nama lengkapnya adalah Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa al Asy’ari. Lebih akrab disebut Abul Hasan Al Asy’ari .

Lahir di Bashrah pada tahun 260 H atau 270 H. Masa kecil dan mudanya dihabiskan di kota Bashrah. Kota yang kala itu sebagai pusat kaum Mu’tazilah.

Dan tidak dapat dielakkan pada masa pertumbuhannya , beliau terpengaruh dengan lingkungannya . Beliau mendalami Ilmu Kalam dan pemikiran Mu’tazilah dari ayah tirinya yang bernama Abu Ali Al Jubai.

Namun kemudian beliau bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah ini. Allah menghendaki keselamatan bagi beliau dan memperoleh petunjuk kepada Madzhab Salaf dalam penetapan sifat-sifat Allah dengan tanpa Ta’wil, tanpa Ta’thil tanpa Takyif dan tanpa Tamtsil [*]

Kisah taubatnya dari pemikiran Mu’tazilah ini sangat populer. Beliau melepas pakainya seraya berkata : “ Aku melepaskan keyakinan Mu’tazilah dari pemikiranku, seperti aku melepaskan jubah ini dari tubuhku.” .

Kemudian beliau melepas Jubah yang dikenakannya . Secara simbolis itu merupakan pernyataan bahwa beliau berlepas diri dari pemikiran Mu’tazilah dan dari kaum Mu’tazilah.

Ahli sejarah negeri Syam, Al Hafizh Abul Qoasim Ali bin Hasan bin Hibatillah bin Asakir Ad Dimasyq ( wafat tahun 571H ) dalam kitab At Tabyin menceritakan peristiwa tersebut :

Abu Ismail bin Abu Muhammad bin Ishaq Al Azdi Al Qairuwani , yang dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Uzrah bercerita , Abul Hasan Al Asy’ari adalah seorang yang bermadzhab Mu’tazilah. Dan memegang Madzhab ini selama 40 tahun . Dalam pandangan mereka beliau adalah seorang Imam. Kemudian beliau menghilang selama lima belas hari . Secara tiba-tiba beliau muncul di masjid Jami’ kota Bashrah. Dan setelah shalat Jum’at, beliau naik keatas Mimbar seraya berkata : “ hadirin sekalian ,Aku menghilang dari kalian selama beberapa hari , karena ada dalil-dalil yang bertentangan dan sama kuatnya , namun akau tidak mampu menetapkan mana yang Hak dan mana yang Batil. Dan aku tidak mampu membedakan mana uang batil dan mana yang hak. Kemudian aku memohon petunjuk kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala . Maka Dia memberiku petunjuk , dan aku tuangkan kedalam bukuku ini. Dan aku melepaskan semua Aqidah ( Keyakinan ) yang dulu aku pegang, sebagaimana aku membuka bajuku ini.” Kemudian beliau membuka bajunya dan membuangnya, lalu memberikan bukunya tersebut kepada para hadirin.



Sebagai bukti kesungguhan Abul Hasan Al Asy’ari melepaskan diri dari pemikiran Mu’tazilah yaitu beliau mulai bangkit membantah pemikiran Mu’tazilah dan mendebat mereka. Bahkan beliau menulis sampai tiga ratus buku untuk membantah Mu’tazilah. Namun dalam membantahnya , beliau menggunakan rasio dan prinsip –prinsip logika. Beliau mengikuti pemikiran-pemikiran Kullabiyyah.

ABUL HASAN AL ASY’ARI SECARA TOTAL MENJADI PENGIKUT MANHAJ SALAF

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala menyempurnakan nikmatNya untuk beliau. Setelah pindah ke Baghdad dan bergabung bersama para tokoh murid-murid Imam Ahmad, akhirnya beliau secara total menjadi seorang Salafi ( pengikut Manhaj Salaf ) . Pada fase yang ketiga dalam kehidupannya ini beliau menulis beberapa risalah berisi pernyataan taubatnya dari seluruh pemikiran Mu’tazilah dan Syubhat-syubhat Kullabiyyah . [1]

Diatara beberapa buku yang ditulisnya, yaitu : Al Luma’, Kasyful Asrar Wa Hatkul Asrar, Tafsir Al Mukhtazin, Al Fushul Fi Raddi ‘Alal Mulhidiin Wa Kharijin “Alal Millah Ka Al Falasifah Wa Thabai’in Wad dahriyin Wa Ahli Tasybih , Al Maqalaat Al Islamiyyin dan Ibanah. Semoga Allah merahmati beliau.

PERNYATAAN ABUL HASAN AL ASY’ARI DALAM KITABNYA : AL IBANAH FI USHULID DIYANAH [2]

Beliau berkata dalam kitab Al Ibanah : “ Pendapat yang kami nyatakan , dan agama yang kami anut adalah berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam, atsar-atsar ( riwayat –riwayat ) yang diriwayatkan dari para sahabat , Tabi’in dan para Imam Ahli hadist. Kami berpegang teguh dengan prinsip tersebut.kami berpendapat dengan pendapat yang telah dinyatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal rohimahullah, semoga Allah Tabaroka wa Ta’a’ala mengelokkan wajah beliau , mengangkat derajat beliau dan melimpahkan pahala bagi beliau. Dan Kami menyelisihi perkataan yang menyelisihi perkataan beliau.Karena beliau adalah Imam yang fadhil ( utama ) pemimpin yang kamil ( sempurna) . Melalui dirinya Allah menerangkan kebenaran dan mengangkat kesesatan, menegaskan manhaj dan memberantas Bid’ah yang dilakukan oleh kaum mubtadi’in , dan memberantas penyimpangan yang dilakukan orang-orang sesat, serta memberantas keraguan yang ditebarkan orang yang ragu-ragu.[3]

Demikian pernyataan Abul Hasan , bahwa ia kembali ke pangkuan Manhaj Salaf.

ULAMA-ULAMA SYAFI’IYYAH MENOLAK DINISBATKAN KEPADA ASY’ARIYYAH

Kebanyakan orang mengira bahwa Madzhab Al Asy’ariyyah itu identik dengan Madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah . Ini sebuah kekeliruan yang fatal . Abu Hasan sendiri telah kembali kepangkuan Manhaj Salaf dan mengikuti Aqidah Imam Ahmad bin Hambal rohimahullah. Yaitu menetapkan seluruh sifat-sifat yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya dan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam didalam hadist-hadist shahih, dengan tanpa Takwil, tanpa Ta’thil, tanpa Takyif, dan tanpa Tamtsil.

Jelas, Abul Hasan pada akhir hidupnya adalah seorang Salafi, pengikut manhaj Salaf dan Madzhab Imam Ahli Hadist. Sampai-sampai ulama-ulama Asy Syafi’iyyah menolak dinisbatkan kepada Madzhab Asy’ariyyah.

Berikut ini , mari kita simak penuturan Syaikh Abu Usamah Salim bin Id Al Hilali dalam kitabnya yang sangat bagus, dalam edisi Indonesia berjudul “ Jama’ah – Jama’ah Islam ditimbang menurut Al Qur’an dan As Sunnah ( halaman 329-330 ). Dalam bukunya tersebut beliau membantah Hizbut Tahrir yang mencampur adukkan istilah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dengan istilah Al Asy’ariyyah , sekaligus menyatakan bila Asy’ariyyah bukan termasuk “ Ahlu Sunnah Wal Jama’ah atau bukan termasuk pengikut pengikut Manhaj Salaf.

Beliau berkata: Jika dikatakan : yang dimaksud Ahlus Sunnah di sini adalah madzhab Asy’ariyyah

Kami Jawab : Tidak boleh menamakan Asy’Ariyyah dengan sebutan Ahlu Sunnah . Berdasarkan persaksian ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah ( Pengikut Shalafush Shalih ) , mereka bukan Ahlu Sunnah.

1. Imam Ahmad , Ali bin Al madini dan lainnya menyatakan , barang siapa menyelami ilmu kalam, ( maka ia ) tidak termasuk Ahlu Sunnah , meskipun perkataanya bersesuaian dengan As Sunnah, hingga ia meninggalkan jidal ( perdebatan ) dan menerima nash0nash syar’iyyah [4].

Tidak syak lagi , sumber pengambilan dalil yang sangat utama dalam Madzhab Asy’ariyyah telah menegaskan hal itu. Mereka mendahulukan dalil aqli ( logika ) daripada dalil naqli ( wahyu ), apabila terjadi pertentangan antara keduanya.



Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah mereka melalui bukunya yang berjudul Dar’u Ta’arudh Aql wan Naql , beliau membukanya dengan menyebutkan kaidah umum yang mereka pakai bilaman terjadi pertentangan antara dalil-dalil [5]

2 Ibnu Abdil Bar, dalam mensyarah ( menjelaskan ) perkataan Imam Malik, dia menukil perkataan Ahli Fiqh Madzhab maliki bernama Ibnu Khuwaiz mandad : “ Tidak diterima persaksian Ahli ahwa’ ( Ahli Bid’ah ) . “ Ia menjelaskan : “ yang dimaksud Ahli Ahwa’ oleh Imam Malik dan seluruh rekan-rekan kami , adalah ahli Kalam. Siapa saja yang termasuk ahli Kalam , maka ia tergolong ahli Ahwa wal Bida’ , baik ia seorang pengikut madzhab Asy’ariyyah atau yang lainnya. Persaksiannya dalam Islam tidak diterima selam-lamanya , wajib diboikot dan diberi peringatan atas bid’ahnya . Jika ia masih mempertahankannya , maka harus diminta bertaubat [6]

3 Abul Abbas Suraij yang dijuluki Asy Syafi’I kedua berkata : “ Kami tidak mengikuti takwil Mu’tazilah , Asy’ariyyah , Jahmiyah, Mulhid ,Mujassimah, Musyabbihah, Karramiyah, dan Mukayyifah [7]. Namun kami menerima nash-nash sifat tanpa takwil , dan kami mengimaninya tanpa Tamtsil [8]

4. Abul Hasan Al Karji , salah seorang tokoh ulam Asy Syafi’iyyah berkata : “ Para imam dan alaim ulama Syafi’iyyah , dari dulu sampai sekarang menolak dinisbatkan kepada Asy’ ariyyah . Mereka justeru berlepas diri dari Madzhab yang dibangun oleh Abul Hasan Al Asy’ari . Menurut yang aku dengar dari beberapa Syaikh dan Imam , bahkan mereka melarang teman-teman mereka dan orang-orang dekat mereka dari menghadiri majelis-majelisnya. Sudah dimaklumi bersama kerasnya sikap Syaikh [9] terhadap ahli Kalam , sampai-sampai memisahkan fiqh Asy Syafi’I dari prinsip-prinsip Al Asy’ari , dan diberi komentar oleh Abu Bakar Ar Radziqani . dan buku itu ada padaku. Sikap inilah yang diikuti oleh Abu Ishaq Asy Syirazi dalam dua kitabnya, yakni Al Luma’ dan At Tabshirah. Sampai-sampai kalaulah sekiranya perkataan Al Asy’ari bersesuaian dengan perkataan rekan-rekan kami ( Ulama Madzhab Syafi’I ) , beliau membedakannya .

Beliau berkata : “ Ini adalah pendapat sebagian rekan kami. Dan pendapat ini juga dipilih oleh Al Asy’ariyah .” Beliau tidak memasukkan mereka ke dalam golongan rekan-rekan Asy Syafi’I”. Mereka menolak disamakan dengan Al Asy’ariyyah . dan dalam masalah Fiqh mereka menolak dinisbatkan kepada Madzhab Al Asy’ariyyah; terlebih lagi dalam masalah ushuluddin “. [10]

Pendapat yang benar adalah Al Asy’ariyyah termasuk ahli Kiblat ( kaum Muslimin ) , tetapi mereka bukan Ahlus Sunnah wal Jama’ah . Ketika para tokoh dan pembesar Al Asy’ariyyah jatuh kedalam kebingungan , mereka keluar dari pemikiran Asy’ariyyah . Diantarannya adalah Al Juwaini, Ar Razi, Al Ghazzali dan lainnya . Jika mereka benar-benar berada diatas As Sunnah dan mengikuti Salaf , lalu dari Manhaj apakah mereka Keluar ?. dan kenapa mereka keluar?, Hendaklah orang yang bijak memahaminya , karena ini adalah kesimpulan akhir .

Dalam dauroh Syar’iyyah Fi masail Aqa’idiyyah wal Manhajiyyah di Surabaya , dua tahun yang lalu , Syaikh Salim ditanya : “ Apakah Al Asy’ariyyah termasuk Ahlu Sunnah wal Jama’ah ?, Beliau menjawab dengan tegas : “Al Asy’ariyyah tidak termasuk Ahlu Sunnah wal jama’ah “

Foot Note :

*] Ta’thil ( menolak atau meniadakan sifat Allah), Takyif ( membayangkan atau menanyakan hakikat dan bentuk sifat Allah ), Tamtsil ( Menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk ) , Ta’wil ( Maksudnya Tahrif yaitu menyimpangkan makna dari Zhahirnya tanpa dalil )

1) Al Kullabiyyah adalah penisbatan kepada Abu Muhammad Abdullah bin Sa’id bin Muhammad bin Kullab al Bashri, wafat pada tahun 240 H

2) Buku ini telah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia , diterbitkan oleh Pustaka At Tibyan . Dalam buku aslinya disertakan taqdim ( kata pengantar dari para ulama terkini , seperti Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshari , Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz dan Syaikh Ismail Al Anshari) . Buku ini sangat penting dibaca oleh kaum muslimin, khususnya di Indonesia dan Malaysia yang mayoritas penduduknya menisbatkan diri kepada Al Asy’ariyyah.

3) Al Ibanah, halaman 17.

4) Silakan Lihat Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah , karangan Al Laalikaai ( I/157-165 ).

5)Bagi yang ingin penjelasan lebih rinci , silakan lihat Kitab Asasut Taqdis, Karangan Ar Razi, Hal 168-173 dan Asy Syamil , karangan Al Juwaiini, hal. 561 dan Al Mawaqif, karangan , karangan Al Iji, hal. 39-40.

6) Jami’ Bayanil Ilmi wa fadhlihi ( II/96)

7) Ini semua adalah nam-nama aliran.

Ijtima’ Juyusy Islamiyyah, hal 62.

9) Yakni Syaikh Abu Hamid Al Isfaraini.

10) At Tis’iniyyah , hal 238-239

Sumber : Ditulis ulan dari Majalah As Sunnah Edisi 06/ Tahun VIII/1425H / 2004 M