Rabu, 17 November 2010

Madzhab Asy’ariyah (NU), Ahlus Sunnahkah?

Oleh: Ustadz Armen Halim Naro Lc,

Sejarah masuknya dakwah Islam ke Nusantara adalah melalui jalan perairan di tepi pesisir-pesisir pantai atau hulu sungai, sebagai jalur utama transportasi tatkala itu.

Kemudian menyebar luas ke seluruh pelosok dan negeri. Sehingga setiap orang yang hendak meneliti seperti apakah pemahaman yang masuk ke negeri ini pertama kalinya, dia dapat memulai kajiannya dan mereka yang menetap di daerah-daerah pesisir atau kepulauan dan seterusnya.

Semenjak kecil penulis —kebetulan putra salah satu pesisir di Sumatera Barat— selalu melihat orang-orang tua di sana mengaji sifat dua puluh sebagai pelajaran utama dalam aqidah mereka. Kemudian kadang mereka mengatakan, “Fiqh kami fiqh Syafi’i, aqidah kami aqidah Asy’ari, tarekat kami tarekat Naqsyabandi.”

Pemahaman ini merupakan pemahaman kebanyakan masyarakat kita tentang agama yang mereka anut, hanya saja dengan bertambahnya usia dan meningkatnya pelajaran, tentu Setiap kita perlu mempertanyakan apa yang selama ini dipahami oleh orang-orang tua dan dibesarkan dengannya generasi muda kita. Karena hal itu menyangkut kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Benarkah Asy’ariyah sebagai kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah? Benarkah pemahaman Asy’ariyah itu pemahaman “Firqah Najiyah” -yang disebut-sebut oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sebagai satu-satunya kelompok yang selamat-?!

Hal ini mengingatkan penulis kepada sebuah kejadian yaitu pengikut Asy’ariyah ‘meradang’ hebat sewaktu Syaikhul Isuam Ibnu Taimiyah rohimahullah menulis tentang aqidah Ahlus Sunnah dalam kitab al-Aqidah al-Wasithiyahnya, awal ucapan beliau, “Inilah aqidah Firqah Najiyah….” Lalu mereka adakanlah sebuah majelis dengan mendatangkan para qadhi dan ulama Asy’ariyah untuk mendebat beliau.

Sehingga Syaikhul Islam terpaksa harus mendatangkan 50 kitab dari kitab imam yang empat, ahlul hadits, tasawuf, dan ahlul kalam. Beliau berkomentar, “Aku telah beri waktu tiga tahun kepada setiap orang yang menyelisihiku (dalam kitab ini), seandainnya mereka menemukan ada satu huruf yang bertentangan dengan perkataan tiga generasi terbaik Islam, maka aku siap untuk kembali.” Beliau melanjutkan, “Maka tidak ada seorang pun yang mendapatkan ucapanku bertentangan dengan salah satu ulama Islam maupun pendahulu mereka, padahal mereka telah mencarinya di khazanah dan perpustakaan negeri.” (Lthat Majmu’ Fatawa 3/169, 217)

Apakah Asy’arlyah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu?

“Asy’ariyah” yang juga dikenal dengan “Asya’irah” adalah penisbatan sebuah pemahaman dalam aqidah kepada Imam Abul Hasan al-Asy’ari(1), hanya mereka berpegang pada pemahaman Abul Hasan pada fase kedua kehidupannya, yang dikenal pada saat itu beliau menganut pemahaman Kullabiyah. Alangkah baiknya bagi mereka menapak jejak Abul Hasan yang terakhir dalam hidupnya! Yaitu beliau kembali kepada ajaran salaf. Karena sebagaimana yang telah diketahui bahwa kehidupan beliau melalui tiga fase:
a. Fase dengan membawa pemahaman Mu’tazilah, karena kebetulan gurunya dalam pemahaman ini adalah bapak tirinya yang bernama Abu Ali al Jubba’i, hal ini berlangsung hingga beliau berusia 40 tahun. (Tabyin Kadzibil Muftari, hal. 40)
b. Fase dengan membawa pemahaman Ku11abiyah diambil dari nama pendirinya, Abdullah bin Sa’id bin Kullab al Qaththan (240 H). Pemahaman inilah yang menjadi tonggak ajaran dan pokok pemahaman mereka dalam madzhab, pemahaman ini dituangkan oleh beliau dalam kitab al-Luma’ fir Radd ‘ala Ahliz Zaighi wal Bida’.


c. Fase dengan membawa pemahaman salaf (Ahlus Sunnah wal Jama’ah), pemahaman yang mana beliau wafat dengannya, beliau tuangkan dalam karangan beliau yaitu al-Ibanah, Risalah ila Ahli Tsaghar dan Maqalat Islamiyyin.

Sedangkan istilah “Ahlus Sunnah wal Jama’ah” mempunyai dua kata, “Sunnah” dan “Jama’ah”. Sunnah secara bahasa adalah jalan atau gaya hidup, sebagian mengaitkannya dengan kebaikan (2). Dan secara istilah adalah jalan hidup Rasulullah , yang diterangkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta jalan para sahabat yang telah mereka sepakati.

Jama’ah artinya secara bahasa mengumpulkan atau perkumpulan. Sedangkan secara istilah, tidak lepas dan enam makna:

(1) awadul a’zham/kelompok mayoritas (3),

(2) kumpulan ulama mujtahid,

(3) para sahabat secara khusus,

(4) umat Islam jika sepakat dalam sebuah perkara,

(5) umat Islam jika bersatu dalam sebuah kepemipinan,

(6) kelompok yang benar. (Lihat Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah wa Manhajul Asya’irah, DR. Khalid bin Abdul Lathif Muhammad Nur, 1/22)

Dan keseluruhan makna tersebut, tidak ada pertentangan bahkan saling menguatkan, karena jama’ah yang dimaksud ialah para sahabat, karena merekalah kelompok yang berada di atas kebenaran, kelompok yang terbanyak.

Maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara singkat adalah mereka yang berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah dan mengikuti jama’ah sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Asy’ariyah sepakat dalam definisi Ahlus Sunnah di atas, dalam kitab mereka Jauharah at Tauhid dikatakan: “ Wa kullul khoiri Ittibaa’u man salafa wa kullu syarrin fiy ibtidaa’in man kholafa “Seluruh kebaikan dengan mengikuti salaf (yang terdahulu) Dan semua keburukan pada bid’ah orang khalaf (yang datang kemudian).

Akan tetapi, benarkah dakwaan Asy’ariyah bahwa pemahaman mereka adalah pemahaman para sahabat dan aqidah mereka adalah aqidah imam yang empat?

Di atas perapian, akan kita lihat siapa yang emas dan siapa yang loyang, di pintalan akan ketahuan mana yang sutera dan mana yang benang?!

Secara garis besar, penulis menemukan empat belas pokok pemahaman Asy’ariyah yang bertentangan dengan pemahaman Ahlus Sunnah. Di antaranya:

(1) mashdar talaqqi, (2) sifat wujud Alloh , (3) tauhid, (4) iman, (5) al-Qur’an, (6) qadar, (7) sebab dan musabab, (8) kenabian, (9) tahsin dan taqbih, (10) takwil, (11) hikmah/illah, (12) sam’iyat/ nash, (13) takfir, (14) asma dan sifat.

Di bawah ini, penulis akan sebutkan tujuh ushul (pokok) pemahaman tersebut dengan Sedikit penjelasan singkat lantaran keterbatasan halaman. Siapa saja yang ingin mendapatkan penjelasan lebih mendalam, penulis persilahkan membaca kitab-kitab bantahan ulama salaf terhadap Asy’ariyah, terutama kitab-kitab Syaikhul Islam dan murid beliau, Ibnul Qayyim rohimahullah.

1. Mashdar Talaqqi (sumber dasar pengambilan)(4)

Pertama: Sebagaimana yang kita ketahui bahwa mashdar talaqqi Ahlus Sunnah adalah al-Qur’an dan Sunnah, ijma’, dan qiyas. Berbeda dengan Asy’ariyah, sumber pengambilan mereka adalah akal.

Hal ini diperkuat oleh pendapat para tokoh madzhab seperti al-Juwaini, ar-Razi, al-Ghazali, al Amidi, dan seluruh ulama mereka yang mengatakan jika akal dan nash saling bertentangan, maka yang menang adalah akal. Bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa mengambil zhahir Kitab dan Sunnah termasuk dari pokok paham kekufuran. (Sebagaimana disebutkan as-Sanusi (885 H) dalam Syarhul Kubra dan ar-Razi dalam Asasut Taqdis hal.1 72)

Kedua: Bahwa nash-nash dalam Kitab dan Sunnah bersifat zhanniyah dalalah (tidak mutlak mengandung kebenaran) dengan tidak memberi keyakinan, yang qath’i (mendatangkan keyakinan) adalah akal. (Ma’alim Ushuliddin, Fakhruddin ar-Razi, hal. 24)

Ketiga: Mereka memandang bahwa hadits tidak dapat dijadikan pegangan dalam aqidah. Jika terjadi pertentangan dengan akal, yang mutawatir harus ditakwil, sedangkan yang ahad tidak perlu digubris. Sampai-sampai imam mereka, ar-Razi, menyebutkan bahwa semua riwayat hadits dari para sahabat adalah zhanniyah (adanya kemungkinan salah), tidak berbeda dalam hal kejujuran mereka maupun dalam hafalan. Dan juga mereka mengatakan bahwa dalam kitab Shahihain (Bukhari-MusIim) ada hadits-hadits yang dipalsukan oleh orang orang zindiq.

Keempat: Kitab-kitab aqidah mereka senantiasa mereka penuhi dengan perkataan para filosof, orang-orang bijak -yang sebenamya bukan bijak- atau yang lainnya. Bersamaan dengan itu, kitab kitab aqidah tersebut kosong dari ayat-ayat Alloh Azza wa Jalla apalagi sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Kelima: Sumber pengambilan kalangan tasawuf Asy’ariyah seperti al-Ghazali dan Hami lebih mendahulukan kasyaf (pembukaan tabir alam khayal) dan zauq (perasaan jiwa) serta takwil nash. Bahkan mereka menshahihkan dan melemahkan hadits menurut zauq dan kasyaf tersebut, dan mereka menyebutnya “ilmu laduni”.

2. Wujud Alloh Azza wa Jalla

Menurut salaf, keberadaan Alloh Azza wa Jalla merupakan hal yang fithri, dalil tentang hal itu telah terpatri pada alam, jiwa, dan wahyu. Pada setiap sesuatu ada bukti tentang wujud Alloh Azza wa Jalla .

Sedangkan Asy’ariyah hanya mernpunyai satu-satunya alasan tentang wujud Alloh Azza wa Jalla ,yaitu “huduts” (baru) dan “qidam” (terdahulu). Menurut mereka, bukti bahwa Alloh a itu wujud adalab bahwa semua makhluk bersifat baru dan setiap yang baru mesti ada yang terdahulu.

Kekhususan Dzat yang terdahulu bahwa semua sifat-sifatnya tidak boleh sama (baik lafazh maupun makna, Pen.) dengan sifat makhluk. Makanya Alloh – menurut mereka- bukanlah jauhar (badan halus), tidak jisim (badan kasar), tidak mempunyai arah, dan tidak punya tempat … dan seterusnya(5) dari istilah-istilah bid’ah yang tidak pernah Alloh sifati diri-Nya dengan penamaan tersebut, akan tetapi pemahaman mereka hanya sebagai bentuk taqlid terhadap guru-guru mereka dari kalangan filosof dan ahli kalam, Untuk memastikannya, silakan lihat permulaan semua kitab aqidah mereka.

3. Tauhid

Tauhid menurut Ahlus Sunnah terbagi tiga, yaitu: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ dan sifat. Sedangkan menurut Asy’ariyah, tauhid adalah menafikan sekutu atau bilangan serta menafikan bagian dan susunan.

Dari makna ini, mereka menafsirkan kata “ilah” dengan a1-Khaliq (6) (Sang Pencipta) atau Dzat yang mampu berbuat. Dan mereka pun mengingkari sebagian sifat seperti wajah, tangan, mata, karena menurut rnereka hal itu menunjukkan susunan dan bagian.

Sedangkan tauhid hakiki yang menjadi lawan syirik, maka sama sekali tidak ada dalam kitab aqidah mereka. Penulis tidak tahu di mana mereka letakkan pembahasan tersebut, apakah di pembahasan furu’? Jelas ini tidak akan ada, ataukah mereka meninggalkannya? ini yang bisa dipastikan.

Menurut salaf, yang wajib diketahui pertama kali adalah tauhid, sedangkan Asy’ariyah menyatakan bahwa kewajiban pertama adalah nazhar, meneliti dan menganalisa dengan akal.

Mereka mengingkari ma’rifat kepada Alloh dengan fithrah. Mereka berkata, “Barangsiapa beriman kepada Alloh melalui jalan selain jalan analisa maka dia taqlid. telah berbuat maksiat, bahkan telah jatuh kafir.

Point inilah yang dibantah oleh Ibnu Hajar karena konsekuensi dari ungkapan tersebut ialah pengkafiran semua orang awam, bahkan semua sahabat Rasulullah karena mereka semua mendapatkan iman (bukan dengan jalan analisa, Red.) (7)

‘4. Iman

Iman menurut Ahlus Sunnah adalah pengakuan hati, ucapan lisan, dan perbuatan anggota badan,bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat. Sedangkan menurut Asy’ariyah cukup dengan pembenaran hati, tidak bertambah dan berkurang.

ini menyerupai ucapan Murji’ah Jahmiyah, sebagaimana yang disebut pada semua pembahasan aqidah mereka)”

5. Al-Qur’ an (Kalamullah)

Madzhab Ahlus Sunnah tentang al Qur”an menyatakan bahwa ia adalah “Kalamullah” bukan makhluk, bahwasanya al-Qur’an itu firman Alloh Azza Wa Jalla .Dia sendiri yang berbicara terdengar oleh malaikat-Nya, didengar oleh Jibril alaihissalam , didengar oleh Musa alaihissalam, dan akan didengar semua makhluk nantinya pada hari kiamat.

Sedangkan madzhab Asy’ariyah merupakan kombinasi antara pemahaman Ahlus Sunnah dengan pemahaman Mu’tazilah yang mereka mengatakan al-Qur’an itu makhluk

Asy’ariyah membedakan antara lafazh dengan makna. Kalam yang mereka tetapkan adalah makna dalam diri-Nya, bukan berupa suara dan bukan pula huruf. Adapun kitab-kitab yang diturunkan termasuk al-Qur’an bukanlah kalam-Nya, akan tetapi dia tidak lebih dan sebuah makna yang terpahami oleh Jibril alaihissalam dan terpisah dari Dzat-Nya, jika diungkapkan dalam bahasa Ibrani jadilah ia Taurat, jika berbahasa Suryani jadilah dia Injil, dan jika berbahasa Arab jadilah ia al-Qur”an. Semuanya makhluk, sedangkan penyebutannya dengan Kalamullah hanya sebatas majaz/kiasan (9)

6. Qadha dan qadar

Asy’ariyah dalam qadar berusaha mengkombinasikan antara pemahaman Jabariyah (10) dan Qadariyah. Mereka menemukan sebuah teori yang mereka beri nama dengan “kasab”, yang mana mereka sendiri bingung menjelaskan teori tersebut ujung-ujung teori tersebut menuju pemahaman Jabariyah tulen.

Berkata ar-Razi menjelaskan teori tersebut, “Sesungguhnya manusia terpaksa dalam bentuk memilih.” al-Baghdadi memberi permisalan tentang teori tersebut umpama seorang hamba dengan Alloh Azza wa Jalla , dua orang yang membawa batu yang besar, yang satu lemah dan yang satu lagi kuat, sebenarnya yang kuatlah yang membawa, sedangkan si lemah juga tidak bisa lepas dari penyebutan membawa. (Al.Inshaf hal. 45-46, Ushuluddin hal. 133, dan lainnya)

7. Sebab dan musabab

Asy’ariyah mengingkari bahwa sesuatu dapat mempengaruhi sesuatu, seperti api dapat membakar, pisau dapat melukai, dan seterusnya. Bahkan mereka mengkafirkan atau membid’ahkan setiap orang yang menyelisihi mereka dalam pemahaman mi.

Mereka mengatakan, “Barangsiapa mengatakan bahwa api sifatnya dapat membakar atau apilah penyebab terbakar, maka dia kafir atau musyrik karena tidak ada yang berbuat kecuali Alloh . Menurut mereka lagi, barangsiapa meyakirii bahwa api dapat membakar karena Alloh • memberikan kekuatan untuk membakar, maka dia mubtadi’ sesat. (Lihat Syifaul ‘Alil, Ibnul Qayyim, 259- 261, dan juga pembahasan mereka tentang qadar)

Setelah penjelasan singkat ini, apa yang tersisa bagi Asy’ariyah dalam penisbatan mereka kepada madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah?! Dalam semua bab aqidah, Asy’ariyah selalu memposisikan dirinya sebagai oposisi Ahlus Sunnah, sebagai bentuk pembelaan mereka terhadap filsafat dan ilmu kalam.

Penulis tidak akan menyembunyikan sesuatu dalam hal ini, bahwa memang ada persamaan Ahlus Sunnah terhadap madzhab Asy’ariyah, yaitu pembahasan tentang para sahabat dan pembahasan imamah (kepemimpinan), inilah satu-satunya bab yang Asy’ariyah sepakat dengan Ahlus Sunnah.

Di saat bersamaan, ulama Ahlus Sunnah mengakui juga bahwa madzhab Asy’ariyah kelompok yang terdekat kepada Ahlus Sunnah dari kelompok yang binasa lainnya.

Pendapat Ulama Islam dari Kalangan Madzhab yang Empat Tentang Asy’ariyah

1. Ulama Malikiyah

Diriwayatkan dari Ibnu Abdil Barr al-Maliki yang bergelar “Hafizh Maghrib” (Alim dari Maghrib/ Marokko) dari faqih Malikiyah Ibnu Khuwaiz Mindaz dengan sanadnya, bahwa beliau berkata dalam bab Syahadat -ketika menjelaskan perkataan Imam Malik “Tidak boleh persaksian ahlul bid’ah dan hawa”.-, “Ahlul hawa menurut Malik dan seluruh penganutnya ialah ahlul kalam. Maka setiap ahli kalam adalab ahlul ahwa’ dan dan bid’ah, baik dia bermadzhabkan Asy’ariyah maupun bukan, tidak diterima persaksiannya dalam Islam selama-lamanya, diboikot dan dihukum atas perlakuan bid’ahnya, jika masih berlanjut diminta bertaubat (kalau tidak maka dibunuh, Pen.).” (Jami’ Bayanil ilmi wa Fadhlihi, Tbnu Abdil Barr, 2/117, tahqiq Utsman Muhammad Utsman)

2. Ulama Syafi’iyah

Berkata Imam Abul Abbas bin Juraij yang bergelar “Syafi’i Kedua” —kebetulan beliau semasa dengan al-Asy’ari—, “Kami tidak setuju dengan takwil Mu’tazilah,Asy’ariyah, Jahmiyah, Mulhidah, Mujassimah, Musyabbihah, Karamiyah, Mukayyifah. Akan tetapi kami menerimanya tanpa takwil dan beriman dengannya tanpa tamtsil (11)

Berkata Imam Abul Hasan al-Karji dari ulama Syafi’iyah pada abad kelima, “Para ulama Syafi’iyah selalu tidak mau jika mereka dinisbatkan kepada Asy’ariyah. Bahkan mereka berlepas diri dari semua pemahaman madzhab Asy’ari, melarang pengikut dan para sahabat mereka mendekat kepada madzhab tersebut, sesuai dengan berita yang aku terima dari beberapa ulama dan para imam.”

Kemudian belian mencontohkan seperti syaikh Syafi’iyah pada masanya, Imam Abu Hamid al-Isfirayini-yang bergelar dengan “Syafi’i Ketiga”—, seraya berkata, “Sudah dimaklumi bersama tegasnya Syaikh (al-Isfirayini) terhadap ,ahli kalam, sehingga beliau memilah antara ushul fiqh Syafi’i dengan ushul Asy’ari. Sikap yang sama diperlihatkan pula oleh Abu Ishaq asy-Syirazi dalam kedua kitab beliau, al-Luma’ dan at-Tabshirah. Sampai-sampai jika ada persamaan antara perkataan Asy’ari dengan perkataan ulama Syafi’iyah, beliau tetap bedakan dan berkata, ‘Perkataan ini adalah pendapat para sahabat kami dan dengannya berpendapatlah Asy’ariyah.’ Beliau tidak pernah menggolongkan Asy’ariyah ke dalam pengikut Syafi’i. Hal itu dikarenakan benci kepada ushul fiqh mereka. Bagaimana pula sikap mereka terhadap ajaran mereka?” (Tis’iniya, Ibnu Taimiyah, 238-239)

3. Ulama Hanafiyah

Sebagaimana diketahui bahwa penulis kitab Thahawiyah, Imam Thahawi dan pensyarahnya yaitu Ibnu Abil ‘Tzz al-Hanafi, keduanya penganut madzhab Hanafi. Apalagi Imam Thahawi semasa pula dengan al-Asy’ari. Beliau menulis kitab tersebut untuk menerangkan aqidah Imam Abu Hanifah. Mereka menukilkan dari Imam Abu Hanifah bahwa beliau tegas-tegas menyatakan bahwa seseorang yang berkata Alloh Azza wa Jalla tidak di atas ‘arsy atau mengambil sikap diam ten- tang itu maka dia kafir. Lantaran itulah Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah, telah mengkafirkan Bisyr al-Mirrisy -tokoh ajaran Mu’tazilah-. Sebagaimana diketahui pula, Asy’ariyah mengingkari bahwa Alloh Azza wa Jalla di atas ‘arsy dan bahwasanya pokok pemahaman Asy’ariyah diambil dari Bisyr al-Mirnisy.

4. Ulama Hanabilah

Tidak ada yang tidak mengetahui sikap ulama Hanabilah terhadap madzhab Asy’ariyah semenjak Imam Ahmad membid’ahkan Ibnu Kullab sebagai pendiri yang sebenarnya madzhab Asy’ariyah. Semenjak itu pula, antara Hanabilah dengan madzhab Asy’ariyah selalu dalam peperangan yang berkepanjangan.

Demikianlah nukilan singkat pendapat ulama empat madzhab terhadap Asy’ariyah. Terlebih lagi, jika diperdengarkan nukilan dari ulama jarh wa ta’dil dari kalangan ulama hadits tentang madzhab Asy’ariyah, tentu akan lebih keras dan tegas lagi. Sebagaimana diketahui, madzhab Asy’ariyah secara umum menolak hadits ahad, dan hadits-hadits di Shahihain —kata mereka— sebagiannya dipalsukan oleh orang-orang zindiq dan seterusnya dari bencana pemahaman rusak mereka.

Kenyataan yang Tidak Bisa Dipungkiri

Di sini tersebutlah sebuah kenyataan, sehingga yang memungkirinya sama artinya dia memungkiri adanya matahari di siang bolong. Yaitu pengakuan kembali, kebingungan, dan taubat ulama-ulama besar Asy’ariyah dari pemahaman dan aqidah yang selama ini mereka bela. Di antara mereka:

Abul Hasan al-Asy’ari sebagai pendiri madzhab, al-Juwaini, al-Ghazali, asy-Syihristani, dan Fakhrur Razi. Jika mereka memang berada di atas aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka dari apakah mereka bertaubat?! Dan dari aqidah manakah mereka kembali?!

Kesimpulan

Dari pembahasan singkat ini dapat kita pahami, dakwaan Asy’ariyah bahwa mereka adalah Ahlus Sunnah merupakan dakwaan tanpa bukti. Akan tetapi bukan berarti pula mereka keluar dari Islam. Yang pasti, mereka adalah salah satu dari sekian banyak kelompok yang disebut oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak selamat dengan aqidah dan pemahaman mereka.

Dengan demikan, semakin nyata bagi kita semua bahwa jalan kebenaran dan keselamatan adalah jalan Rasuluilah Shallallahu alaihi wa sallam dengan pemahaman para Salafus shalih ( 3 generasi terbaik Islam yaitu pendahulu kita yang shalih dari Sahabat, Tabi’in, Tabiut Tabi’in )

“ Wa Kullul khoiri Ittibaa’u man Salafa Wa Kullu Syarrin fiy Ibtidaa’in man Kholafa “

Seluruh kebaikan dengan mengikuti salaf (yang terdahulu) Dan semua keburukan pada bid’ah orang khalaf (yang datang kemudian).

Foot Noote :

(1) Al-Milal wan Nihal (1/94) asy-Syihristani.

(2) An-Nihayah fi Gharibil Had its (2/409) Ibnul Atsir dan Tahzibul Lughah (12/298-299) Azhari.

(3) Makna ini diambil dari beberapa riwayat yang tidak lepas dari kelemahan.

(4) Silahkan lihat tentang mashdar talaqqi mereka dalam Dar’u Ta’arudh al-Aq1 wan Naql oleh lbnu Taimyah, Asasut Taqdis (hal. 168-1 73) oleh ar-Razi, asy-Syamil (hal. 561) oleh al-Juwaini, Syarhul Kubra (hal. 502) oleh as-Sanusi.

(5) Karena itu sifat-sifat makhluk (hadits). Menurut salaf, sifat Alloh ialah apa yang Dia tetapkan dalam syari’at-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa menakwil, menyerupakan, membayangkan, dan seterusnya sebagaimana yang diterangkan dalam kitab aqidah.

(6) Arti yang benar dalam kalimat yang agung tersebut adalah “Tiada Dzat yang berhak diibadahi selain Alloh “. Arti ini mencakup dua tauhid, yaitu rububiyah dan uluhiyah. Sedangkan tafsiran Asy’ariyah yang mengartikan bahwa “Tidak ada Dzat yang mencipta melainkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala “, hanya sebatas pengakuan terhadap tauhid rububiyah dan belum masuk pengakuan tenhadap tauhid uluhiyah. Tafsiran Asy’ariyah telah diakui oleh musyrik Quraisy, akan tetapi tidak membuat mereka menjadi muslim.

(7) Silahkan lihat pembahasan ini, al-Inshaf (hal. 22) al-Baqillani, asy-Syamil (hal. 120), Fathul Bari (3/357, 361), Dar’u Ta’arudh al-’Aql wan Naql (juz 7, 8, dan 9). ‘

(8) Silahkan lihat al-Irsyad (hal. 397), al-Inshaf (hal. 55) al-Baqillani, dan juga al -I man Ibnu Taimiyah -hampir keseluruhan kitab tersebut bantahan terhadap mereka.

(9) Silahkan lihat pemahaman mereka tentang al-Quran al-Inshaf (hal. 96-97), Ushuhuldin (hal. 107), S yarh al-Bajuri (hal. 64-66).

(10) Jabariyah adalah pemahaman bahwa manusia tidak mempunyai ikhtiar, dia bagaikan kapas yang diterbangkan angin. KebaIikannya, pemahaman Qadariyah.

(11) lbnu Juraij wafat 306 H, lihat Siyar A’lam an-Nubala’ (14/201). Kelihatannya, beliau telah meninggal sebelum kembalinya Abul Hasan al-Asy’ari kepada madzhab salaf. Silahkan lihat ljtima’ Juyusy Islamiyah (hal. 62).


Sumber : Majalah Al Furqon Edsi 7 Tahun V/ Shafar 1427 ( Feb 06 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar