Selasa, 14 Februari 2012

RAPORT MERAH IDEOLOGI DEMOKRASI

Oleh: Ustadz Abu Minhal


Isu demokrasi telah mendunia. Ideologi produk Barat ini (baca: orang-orang kafir) lantas dipaksakan atas negara-negara lain, termasuk pada komunitas kaum muslimin. Opini yang dihembuskan, bahwa kesengsaraan dan penderitaan rakyat suatu negara berpangkal pada hilangnya ruh demokratis di tengah mereka. Ketika suasana demokratis telah menaungi sebuah negara, maka rakyat akan hidup dalam kemakmuran yang merata (?!).

Faktanya, justru, wajah demokrasi melahirkan masalah-masalah baru yang tidak bisa dianggap sepele oleh umat Islam. Berikut ini sedikit tentang pelanggaran-pelanggaran ideologi demokrasi secara ringkas, baik ditinjau dari hukum asalnya, atau mekanisme-mekanisme penyelenggaraan negara dalam negara berdemokrasi (dimanapun) ditinjau dari sudut pandang Islam.


PELANGGARAN TERHADAP AKIDAH ISLAM
Pelanggaran dalam aspek akidah ini, lantaran ideologi demokrasi memutuskan hukum berdasarkan suara mayoritas. Apapun hasilnya, pilihan suara mayoritas itu akan diputuskan sebagai peraturan yang mengikat. Suara terbanyak dikultuskan, dan penetapan hukum-hukum hanya berada di tangan sekelompok orang saja.

Demokrasi yang bertumpu pada ketaatan pada suara mayoritas telah mengakibatkan terjadinya syirkuth-thâ'ah (menyekutukan sesuatu dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala pada aspek ketaatan dengan mutlak). Simaklah ayat berikut:

أم لهم شر كؤا شرعوا لهم من الذين ما لم يأذن به الله

"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? [asy-Syûra/42:21]

Hukum Allah itulah yang mestinya (wajib) diterapkan dalam seluruh bidang kehidupan sosial kemasyarakatan. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala al-Khaaliq (Dzat Yang Maha Menciptakan) dan Maha Tahu apa yang paling bermanfaat dan mengandung maslahat sebesar-besarnya bagi makhluk-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahu" [Yûsuf/12:40].


MEMICU KEMUNAFIKAN
Calon-calon legislatif atau eksekutif berusaha menampilkan citra dirinya sebagai figur yang baik. Tak kurang, misalnya dalam soal nama, disematkanlah label Haji (H) dan Hajjah (Hj). Penyematan gelar-gelar seperti ini atau yang sejenisnya, seolah menjadi "wajib". Ucapan-ucapan manis dan janji-janji menarik menghiasi bibir-bibirnya. Semuanya menjanjikan perbaikan keadaan dan meningkatkan kemakmuran rakyat.

Namun, begitu usai dan berhasil menggenggam jabatan, ternyata kepentingan pribadi, partai atau golongan berbalik menjadi tujuan utamanya. Janji-janji yang pernah diucapkan hanyalah isapan jempol. Itulah sebuah kedustaan. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar" [at-Taubah/9:119].

Juga disebutkan riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

"Tanda-tanda kemunafikan ada tiga. Jika berbicara, ia dusta. (2) Jika berjanji, ia mengingkari. (3) dan jika dipercaya, ia berkhianat" [HR al-Bukhâri, no. 32, dan Muslim, no. 89]


MENYUBURKAN BUDAYA SUAP
Politik uang tidak bisa lepas dari alam demokrasi. Misalnya dengan pembagian sembako, hadiah, atau bantuan lain. Ini dilakukan oleh calon-calon pencari kekuasaan untuk menarik simpati kalangan bawah. Apapun bentuknya, ketika materi berbicara, itulah esensi dari politik uang. Dalam terminologi fiqih sebagai risywah (suap) yang diharamkan Islam.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَعَنَ اللهُ الرَّاشِيْ وَالْمُرْتَشِيْ

"Allah melaknat penyuap dan orang yang disuap". [HR at-Tirmidzi dan Ibnu Maajah dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni, Shahîh at-Targhib wat-Tarhib, 2/261].


PUJIAN BAGI DIRI SENDIRI
Dalam alam demokarsi, sebagian calon-calon eksekutif maupun legislatif senang memuji diri sendiri. Saat kampanye sering menyatakan sebagai pihak yang paling pantas mengemban amanah rakyat. Pujian-pujian dan sanjungan-sanjungan juga dipaksakan oleh tim suksesnya demi kemenangan calon-calonnya. Bisa disaksikan, baliho-baliho, spanduk-spanduk maupun iklan-iklan dijejali dengan ungkapan-ungkapan pujian, gambar-gambar bagaimana orang-orang yang mencalonkan diri (atau dicalonkan) berempati kepada rakyat kecil, rela berkotor-kotor keluar masuk pasar tradisional (yang sebelumnya tidak pernah dilakukan) guna mendulang simpati lebih besar. Bila mreka tidak berhak dipuji, berarti telah terjadi penipuan dan kedustaan. Jika sepertinya pantas memperoleh pujian, ini pun tidak perlu dilakukan.

Hal ini karena pada asalnya, memuji diri sendiri tidak boleh (haram). Seseorang dituntut agar rendah hati, tidak menonjolkan diri, atau membanggakan diri. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Maka, janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa". [an-Najm/53:32].


SIAPAPUN BISA TERPILIH, MESKI ORANG PALING ZHALIM DAN TERBEJAT SEKALIPUN
Proses pencapaian kursi kekuasaan dalam ideologi demokrasi melalui mekanisme kepartaian. Masing-masing partai mendelegasikan orang pilihannya. Lantas, masyarakat menentukan pilihan pada siapa saja yang mereka kehendaki, tanpa memandang baik buruknya individu tersebut. Dalam penghitungan suara, para wakil yang memperoleh suara terbanyak akan memperoleh tempat. Demikian pula, pemegang kekuasaan (eksekutif) berdasarkan suara terbanyak, bagaimanapun buruk sifat dan karakter mereka.


DEMOKRASI MEMECAH PERSATUAN UMAT
Ideologi demokrasi melahirkan pembentukan partai-partai yang sangat berpotensi menimbulkan perpecahan dan fanatisme buta terhadap golongan. Secara tidak langsung juga menumbuhkan bahaya laten konflik antar simpatisan. Bahkan untuk membela golongannya rela mempertaruhkan kematinya. Sedangkan Islam mengutamakan persatuan dan mencela perpecahan.


ADANYA UNSUR PERJUDIAN DALAM PESTA DEMOKRASI
Terjadinya persaingan dalam meraih kekuasaan, telah menginspirasikan berbagai cara ditempuh untuk memenangkan suara. Bagi yang kalah, ia akan mengalami banyak kerugian. Inilah hasil yang akan didapat pihak pecundang. Sebaliknya, pihak yang memenangkan, ia akan memperoleh keuntungan. Meskipun pada hakikatnya, semua pihak mengalami kerugian dalam pesta yang menelan anggaran, baik negara maupun individu yang sangat besar ini. Dikatakan oleh Syaikh ‘Abdul-Muhsin –hafizhahullah- realita ini mirip dengan qimâr (perjudian).


DEMOKRASI MENGAJARKAN KEBEBASAN MUTLAK
Demokrasi terbangun di atas asas kebebasan mutlak, meskipun berupa kekufuran atau kebejatan dan degradasi moral. Setiap orang bebas melontarkan atau bertindak serta meyakini apa saja, tanpa memperhatikan norma agama maupun norma sosial, etika. Dalihnya, karena semua orang bebas menentukan pilihan pribadinya tanpa intervensi orang lain.

Demikian, sebagian pelanggaran demokrasi terhadap syariat Islam. Ketika sebuah sistem berlandaskan pada pemikiran yang rusak (kekufuran), maka tak dapat terelakkan, out putnya pun tidak jauh berbeda. Yakni membuahkan hasil yang sama-sama rusak dan berakibat buruk bagi orang banyak.
Wallahul-Hadi ilâ Shirâthil-Mustaqîm.

Marâji`:
1. Al-Adlu fi Syarî’atil Islâm wa Laisa fid-Dimaqratiyyah al-Maz’umah, 'Abdul-Muhsin al-Abbâd Darut-Tauhid, Riyadh, Cetakan I, 1428 H.
2. Hukmu ad-Dimaqrathiyyah fil-Islâm, Munkarât wa Mukhalafât Syar'iyyah Tahshulu fil- Intikhabât, Dr. Hamd bin Muhammad al-Hâjiri, Cetakan I, Tahun 1427 H – 2006 M, tanpa penerbit

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04//Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Sumber: www.almanhaj.or.id

ABDULLAH BIN SABA’ BUKAN TOKOH FIKTIF

Oleh: Muhammad Ashim bin Musthafa


Para ahli hadits dan para penulis kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil, [1] para penulis sejarah serta penulis kitab-kitab tentang aliran-aliran telah sepakat tentang keberadaan tokoh keturunan Yahudi ini, dia ialah Abdullah bin Saba, yang juga berjuluk Ibnu Sauda.

Peran yang ia mainkan telah menanamkan bibit kerusakan di kalangan orang-orang munafiqin dan orang-orang sukuisme serta orang-orang yang di dalam hatinya berakar hawa nafsu dan keinginan-keinginan buruk lainnya. Andullah bin Saba memperlihatkan keislamannya pada masa kekhilafahan Utsman. Dia juga mempertontonkan pribadi yang shalih, kemudian berusaha menjalin kedekatan dengan Ali.


SIAPAKAH ABDULLAH BIN SABA?
Jati diri Abdullah bin Saba diperselisihkan. Ada sebagian ulama tarikh yang menisbatkannya ke suku Himyar. Sementara Al-Qummi memasukkannya ke dalam suku Hamadan. Adapun Abdul Qahir al-Baghdadi menyebutnya berasal dari kabilah Al-Hirah. Sedangkan Ibnu Katsir berpendapat, Ibnu Saba berasal dari Rumawi. Tetapi Ath-Thabari dan Ibnu Asakir menyebutnya berasal dari negeri Yaman.

Syaikh Abdullah Al-Jumaili menyatakan bahwa dirinya condong kepada pendapat yang terakhir. Dalihnya, pendapat ini mengakomodasi mayoritas pendapat tentang negeri asal Ibnu Saba. Pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat pertama (ia berasal dari suku Al-Himyar), juga dengan pendapat kedua (ia berasal dari suku Hamadan). Pasalnya, dua kabilah ini berasal dari Yaman. Sementara pendapat Ibnu Katsir dan Al-Baghdadi tidak sejalan. [2]

Perbedaan pendapat ini muncul lantaran keberadaan dirinya yang sengaja ia rahasiakan, sampai orang-orang yang sezaman dengannya pun tidak mengenalnya, baik nama maupun negeri asalnya. Sengaja ia sembunyikan identitas dirinya, karena ia memiliki rencana rahasia, yaitu ingin berbuat makar terhadap Islam. Dia tidaklah memeluk Islam, kecuali untuk mengelabui, karena ia ingin menggerogoti Islam dari dalam.

Salah satu bukti yang menunjukkan ia sengaja menutup diri, yaitu jawaban yang diberikan kepada Abdullah bin Amir. Tatkala ia ditanya oleh Abdullah bin Amir tentang asal usulnya, Abdullah bin Saba menjawab : “(Aku) adalah seorang lelaki dari ahli kitab yang ingin memeluk Islam, dan ingin berada disampingmu”.

MAKAR IBNU SABA
Abdullah bin Saba mengunjungi banyak negeri Islam. Dia berkeliling sambil menghasut kaum muslimin, agar ketaatan mereka kepada para penguasa meredup. Ia memulai dengan masuk negeri Hijaz, Bashrah, Kufah. Setelah itu menuju Damaskus. Namun di kota terakhir ini, ia tidak berkutik. Penduduknya mengusirnya dengan segera. Lantas Mesir menjadi tujuan selanjutnya dan ia menetap disana.

Langkah berikutnya, ia melakukan korespondensi dengan orang-orang munafiqin, memprovokasi para pendengki yang membenci Khalifah kaum muslimin. Banyak yang terperdaya, hingga kemudian mendukungnya. Dia hembuskan pemahaman yang ngawur kepada para pendukungnya itu. Dia berhasil menancapkan semangat untuk memberontak dan tidak taat di kalangan sebagian kaum muslimin. Sehingga mereka bertekad membunuh Khalifah Utsman. Khalifah yang ketiga, menantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para pengikut sang penghasut ini tidak menghormati kemulian kota Madinah. Mereka tidak menghormati kemulian bulan yang mulia. Juga tidak menghormati orang yang sedang membaca Al-Qur’an. Khalifah Utsman mereka bunuh saat sedang membaca Al-Qur’an.

Sepak terjang Abdullah bin Saba sangat nyata terekam sejarah. Namun ada saja yang mengingkari keberadaannya, dan menganggap Ibnu Sauda hanyalah tokoh dongeng atau fiktif. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai Ammar bin Yasir. Kalau pendapat itu keluar dari orang Syi’ah atau para orientalis, tentu hal yang lumrah. Akan tetapi, anehnya, di antara yang menetapkan demikian ini ternyata orang-orang yang mengaku beragama Islam.

CENDEKIAWAN MUSLIM YANG MENGINGKARI KEBERADAAN ABDULLAH BIN SABA
Ada beberapa pemikir muslim yang menganggap bahwa Abdullah bin Saba hanyalah tokoh fiktif belaka, sehingga mereka mengingkari keberadaan Ibnu Saba. Di antara pemikir-pemikir tersebut ialah Dr Thaha Husain. Dia sangat dikenal sebagai corong orientalis. Pengingkarannya tentang keberadaan Ibnu Saba ini, ia tuangkan ke dalam tulisannya yang berjudul : Ali wa Banuhu dan Al-Fitnah Al-Kubra. Dalam tulisannya ini, ia benar-benar telah memenuhi otaknya dengan pemikiran orientalis, sampai-sampai ia mengatakan : “Aku berfikir dengan kerangka budaya Perancis dan menulisnya dengan bahasa Arab”.

Tokoh ini telah dijadikan sebagai kendaraan yang dimanfaatkan oleh Yahudi di Mesir untuk mengibarkan bendera Yahudi Internasional. Bersama para propagandis sosialisme di Mesir, ia menerbitkan majalah Katib Mishri. Sejak awal dia juga telah mengumumkan dukungannya terhadap pemikiran Yahudi Talmudiyyah ; yakni salah satu gerakan Yahudi yang mendustakan keberadaan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Al-Qur’an dan Taurat. Sebuah gagasan yang bagi seorang orientalis kafir tidak berani mengatakannya.

Tentang Ibnu Saba (Ibnu Sauda), Dr Thaha Husain menyatakan, bahwa ihwal tentang Sabaiyyah dan perintisnya Ibnu Sauda, cerita tentang mereka hanyalah sekedar dipaksakan, dibuat skenarionya tatkala terjadi perdebatan atara Syi’ah dan golongan lainnya. Para seteru Syi’ah ingin memasukkan unsur Yahudi ke dalam prinsip keagamaan Syi’ah, sebagai usaha untuk lebih mantap dalam mematahkan dan mengganggu mereka …[3]

Selain Dr Thaha Husain, ada tokoh lain yang juga mengingkari adanya Abdullah bin Saba. Yaitu Dr Hamid Hafni Dawud, Dekan Jurusan Bahasa Arab Universitas Ain Syams. Dia seorang aktifis gerakan penyatuan Islam dengan Syi’ah. Sehingga tidak mengherankan jika ia berkata : “Sesungguhnya, cerita tentang Ibnu Saba (merupakan) salah satu dari kesalahan sejarah yang lolos dari penelitian para pakar sejarah dan menjadi sentral pemikiran mereka. Mereka itu sebenarnya tidak paham dan tidak mampu mencernanya. Ini adalah berita-berita buatan yang dipalsukan atas nama Syi’ah, sehingga mereka melekatkan kisah Abdullah bin Saba pada mereka (Syi’ah) dan menjadikannya sebagai cara untuk mendiskkreditkannya” [4]

Sederat nama berikut, memiliki pandangan yang sama. Mereka ialah : Muhammad bin Jawad Maghnia, Murtadha Al-Askari, Dr Ali Wardi, Dr Kamil Musthafa Asy-Syibi, Dr Abdullah Fayyad, Thalib Ar-Raifa’i. mereka adalah pemikir-pemikir yang mengingkari kebenaran adanya Ibnu Saba. Mereka menyatakan, Ibnu Saba adalah tokoh dongeng yang hakikatnya tidak ada dalam dunia nyata.

Secara khusus Dr Fayyadh mengatakan : “Terlihat dengan jelas bahwa Ibnu Saba tidak lebih hanya sekedar cerita tokoh fiktif belaka dalam dunia nyata. Sepak terjangnya kalau benar ia mempunyai andil terlalu dilebih-lebihkan lantaran berbagai motivasi agama dan politis. Dan bukti-bukti lemahnya cerita tentang Ibnu Saba sangat banyak” [5]

Sesungguhnya keberadaan Ibnu Saba ini tidak hanya ditulis dalam kitab-kitab ahli sunnah, bahkan juga direkam di dalam buku-buk Syi’ah.

Walaupun ada ulama Syi’ah sekarang ini mengingkarinya, lantaran telah mengetahui kebobrokan aqidah Ibnu Saba yang sudah banyak menyelinap di berbagai pecahan kelompok Syi’ah.

Diantara kitab-kitab karya ulama Syi’ah yang mengungkap keberadaan Abdullah bin Saba ialah kitab Risalah Al-Irja (karya Al-Hasan bin Muhammad bin Al-Hanafiyah), Al-Gharat (Abu Ishaq Ibrahim bin Muhamamd Sa’id Al-Asfahani), Al-Maqalatu wal Firaq (Sa’ad bin Abdillah Al-Qummi), Firaqu Asy-Syi’ah (Muhammad Al-Hasan bin Musa An-Nubakhti) Rijalu Al-Kisysyi (Abu Amr Muhammad bin Umar Al-Kisysyi), Rijalu Ath-Thusi (Abu Ja’far Muhammad bin Al-Hasan Ath-Thusi), Syarah Ibni Abil Hadid li Nahji Al-Balaghah (Izzudin Abu Hamid Abdul Hamid bin Hibatullah yang lebih popular dengan sebutan Ibnu Abil Hadid Al-Mu’tazili Asy-Syi’i, Ar-Rijal (Al-Hasan bin Yusuf Al-Hilli), Raudhatul Jannat (Muhammad Baqir Khawansari), Tanqihul Maqal fi Ahwali ar-Rijal (Abdullah Al-Mamqani), Qamusu Ar-Rijal (Muhammad Taqiyyi At-Tustari), Raudhatush Shafa, sebuah buku sejarah tentang Syi’ah yang ditulis dengan bahasa Parsi. Ini sebagian buku-buku Syi’ah yang meyinggungnya.

Demikian pandangan tokoh-tokoh yang menyatakan Abdullah bin Saba sekedar tokoh fiktif. Seolah-olah mereka tidak melupakan kitab-kitab Ahli Sunnah yang dipercaya. Demikian juga, seolah-olah mereka buta terhadap referensi-referensi kitab Syi’ah yang menjadi rujukan, yang mengandung kisah tentang Ibnu Saba, aqidah dan klaim-klaimnya yang didustakan oleh Ali, Ahlul Bait serta berlepas diri dari mereka.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
__________
Foote Note
[1]. Kitab tentang studi kritis perawi hadits
[2]. Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahati Ar-Rafidhah Lil Yahud karya Abdullah Al-Jumaily Maktabah Al-ghuraba Al-Atsaiyyah Madinah Munawwarah cet. III Thn.1419H/1999M
[3]. Ali wa Banuhu, karya Dr Thaha Husain, dinukil dari kitab Ibnu Saba Haqiatun La Khayal, karya Dr Sa’di Al-Hasyimi
[4]. At-Tasyayu Zhahiratun Thabi’iyyah fi Ithari Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, hal. 18 dinukil dari kitab Ibnu Saba Haqiatun La Khayal, karya Dr Sa’di Al-Hasyimi
[5]. Tarikhul Imamiyyah wa Aslafahim Minsy Syi’ah, hal.92-100

Sumber: www.almanhaj.or.id

SYI'AH MENDUKUNG PERZINAAN DENGAN MENGATASNAMAKAN PERNIKAHAN

Salah satu dari sekian banyak keyakinan kaum Syi'ah yang sangat bertentangan dengan nash-nash yang sharih dan Ijma’, ialah adanya keyakinan di kalangan mereka tentang bolehnya nikah mut’ah, atau disebut dengan istilah kawin kontrak. Nikah mut'ah (kawin kontrak) ini biasa dilakukan oleh kaum Syi'ah. Mereka melakukannya tanpa ada beban, karena memang sudah menjadi salah satu bagian dari pokok-pokok keyakinan mereka sebagaimana disebutkan di dalam kitab-kitab Syi'ah.

Berikut inilah beberapa pandangan aneh dari kalangan tokoh-tokoh kaum Syi'ah tentang nikah mut’ah. Tentu, pandangan-pandangan ini sarat kedustaan.


Pertama : Nikah mut’ah merupakan salah satu dasar keimanan kaum Syi'ah.

Ja’far Shadiq berkata: “Barang siapa yang tidak mempercayai tentang Raj’ah (kebangkitan manusia dari kubur sebelum hari Kiamat) dan tidak menghalalkan mut’ah maka bukan termasuk golongan kami”.[1]


Kedua : Nikah mut’ah, konon sebagai pengganti dari minuman yang memabukkan.

Dari Muhammad bin Aslam dari Abu Ja’far berkata: "Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha lemah lembut. Dia telah menjadikan mut’ah sebagai pengganti dari semua minuman yang memabukkan". [2]


Ketiga : Ancaman yang keras bagi seseorang yang meninggalkan nikah mut'ah.

Kaum Syi'ah mengatakan, barang siapa yang keluar dari dunia (meninggal) dan tidak melakukan mut’ah maka dia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan hidungnya terpotong.[3]


Keempat : Seseorang yang melakukan nikah mut'ah maka akan mendapatkan pahala yang besar.

Ini tentu merupakan keyakinan aneh dan menyesatkan. Sehingga mereka memiliki keyakinan bahwa seseorang yang melakukan nikah mut’ah sebanyak empat kali maka derajatnya sejajar dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka menisbatkan perkataan dusta ini kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka menuturkan: “Barang siapa yang nikah mut’ah satu kali maka derajatnya seperti Husain. Barang siapa yang nikah mut’ah dua kali, derajatnya seperti hasan. Barang siapa yang nikah mut’ah tiga kali, derajatnya seperti 'Ali. Dan barang siapa yang melakukannya empat kali maka derajatnya sama dengan Rasulullah". Sungguh anggapan ini merupakan suatu kedustaan besar atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.[4]


Kelima : Boleh melakukan nikah mut’ah dengan para gadis tanpa izin dari walinya.

Dari Ziad bin Abi Halal: Aku mendengar Abu 'Abdillah berkata: "Tidak mengapa seseorang melakukan mut’ah dengan seorang gadis selama tidak menghamilinya karena ditakutkan munculnya aib yang akan menimpa keluarganya".[5]


Keenam : Tidak ada satu madzhab pun yang membolehkan menikahi istri orang lain secara mut’ah kecuali madzhab Mazdakiyyah yang menghalalkan praktek seks bebas. Demikian pula dengan kaum Syi'ah, mereka membolehkannya.

Diceritakan dari Yunus bin 'Abdurrahman, ia bertanya kepada ar-Ridha: ”Seorang wanita telah dinikahi secara mut’ah kemudian habis masa kontraknya, bolehkah laki-laki lain bermut’ah dengannya sebelum habis 'iddahnya?” Dia menjawab: “Tidak mengapa melakukannya, karena dosanya ditanggung oleh wanita tersebut”.[6]

Fadhl, salah seorang budak Muhammad bin Rasyid bertanya kepada Abu 'Abdilah: ”Sesungguhnya aku telah menikahi seorang wanita secara mut’ah. Aku merasa ia telah bersuami. Setelah aku berusaha mencari tahu, ternyata benar wanita itu memiliki suami. Apa yang harus aku lakukan?” Dia menjawab: ”Mengapa engkau mencari tahu tentang keadaan dirinya?” [7]


Ketujuh : Bolehnya bermut’ah dengan wanita pelacur.
Dari Ishaq bin Jarir, ia berkata: Aku bertanya kepada Abu Abdillah: “Sesungguhnya di kota Kufah ada seorang wanita pelacur. Bolehkah aku menikahinya dengan cara mut’ah?”

Dia balik bertannya: “Apakah bendera telah diangkat?”

Aku jawab: “Belum, karena kalau diangkat dia akan diambil oleh penguasa”.
Dia menjawab: “Nikahilah dia dengan mut’ah,” kemudian ia berbisik kepada salah satu budaknya sehingga aku dekati budak tersebut dan aku tanyakan: “Apa yang telah ia katakan?”

Budak itu menjawab: ”Sesungguhnya dia mengatakan, 'Seandainya bendera telah diangkat maka tidak ada dosa untuk menikahinya, karena sesungguhnya hal tersebut telah mengeluarkannya dari yang haram kepada yang halal'."

Dari Hasan bin Dharif berkata: ”Aku telah mengirim surat kepada Abu Muhammad menceritakan keadaanku yang telah meninggalkan mut’ah selama bertahun-tahun, kemudian aku kembali bersemangat untuk melakukannya. Aku mendengar ada seorang wanita cantik di salah satu desa yang telah menggugah hasratku untuk melakukan mut’ah, apalagi ia adalah wanita pelacur yang tidak akan menolak tawaran siapapun. Tetapi aku masih bimbang, sekalipun para imam telah mengatakan: 'Bermut’ahlah dengan wanita pelacur, karena sesungguhnya engkau telah mengeluarkannya dari yang haram kepada yang halal. Maka aku bertanya kepada Abu Muhammad: 'Bolehkah aku melakukan mut’ah setelah sekian lama meninggalkannya?' Dia menjawab: 'Sesungguhnya engkau telah menghidupkan salah satu Sunnah dan mematikan salah satu bid’ah. Tidak mengapa engkau melakukannya'."[9]


Kedelapan : Kaum Syi'ah menghalalkan pinjam-meminjam istri.
Praktek ini sebagaimana terdapat di dalam kitab-kitab kaum Syi'ah, seperti diriwayatkan dari Hasan al-Athar, ia berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah tentang i’aratul-farj (pinjam-meminjam istri), maka dia menjawab: 'Tidak mengapa untuk melakukannya'. Aku kembali bertanya: 'Bagaimana kalau ternyata sampai melahirkan anak?' Dia menjawab: 'Anak itu untuk orang yang memiliki wanita tersebut, kecuali kalau memang dia memberikan syarat'."[10]

Demikian, sebagian pemikiran dan keyakinan kaum Syi'ah tentang nikah mut'ah (kawin kontrak), yang menggambarkan bahwa praktek nikah mut’ah merupakan kerusakan moral dan praktek seks bebas dan penuh dengan kedustaan yang mereka nisbatkan kepada agama yang mulia ini. Sehingga sangat mengherankan, ketika sebagian orang yang mendapatkan julukan "cendikiawan Islam" membela tanpa reserve terhadap agama Syi'ah yang mengusung pemikiran aneh dan menyesatkan. Bahkan sebagai "cendekiawan Islam", mereka mengatakan dengan penuh kejahilan bahwa madzhab Syi'ah sama dengan madzhab yang empat, sehingga mereka berusaha mendekatkan Agama Syi'ah dengan agama Islam. Yang lainnya lagi: ”Mengapa kita harus sibuk membahas tentang Syi'ah? Bukahkah mereka juga muslim seperti kita; cari persamaannya dan tutupi perbedaannya”.

Begitulah syubhat mereka, sehingga tampaklah kejahilan mereka secara nyata terhadap agama Islam yang mulia dan sempurna. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengingatkan dalam firman-Nya, yang artinya: "Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta". [al-Kahfi/18 ayat 5].

referensi utama: Kitab al Jama’âat al-Islamiyyah fî Dha`uil Kitâbi was-Sunnah,
karya Syaikh Salim bin 'Id al-Hilali, halaman 305-308.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Man lâ Yahduruhu al-Faqîhu (2/148), Wasâ`il Syiah (4/438), Tafsîr ash-Shafiy (1/347).
[2]. Ar-Raudhatu minal-Kâfi (hlm. 151), Wasâ`il Syiah (14/438).
[3]. Minhâju ash-Shadiqîn, oleh Fathullah al-Qasimi, hlm. 356.
[4]. Ibid.
[5]. Al-Furu’ minal-Kâfi (2/46), Wasâ`il Syiah ( 14/457).
[6]. Man lâ Yahduruhu al-Faqîhu (2/149), Wasâ`il Syiah (14/456).
[7]. Wasâ`il Syiah, 14/457.
[8]. Wasâ`il Syiah, 14/455.
[9]. Wasâ`il Syiah (14/455), Kasyfu al-Ghummah, hlm. 307.
[10]. Wasâ`il Syiah, (7/540), Furû’ al-Kâfi (2/48), al-Istibshâr (3/141), at-Tahdzib (2/185).

Sumber: www.almanhaj.or.id

PERBEDAAN AHLUS SUNNAH DENGAN RAFIDHAH (SYIAH) DALAM PERKARA USHUL DAN FURU’

Oleh: Abu Isma’il Muslim Al-Atsari


Istilah Syi’ah berasal dari kata tasyayyu’, yang berarti: membela, menolong. Sedangkan Syi’ah artinya: para penolong atau para pengikut. Dahulu, istilah Syi’ah digunakan bagi orang-orang yang membela Ali Radhiyallahu 'anhu dan keluarganya, tetapi kemudian digunakan sebagai nama pada kelompok Rafidhah (Syi’ah Ja’fariyyah; Itsna ‘Aysariyyah) dan Zaidiyyah.


PERKEMBANGAN SYI’AH
Syi’ah melewati perkembangan-perkembangan sebagai berikut:
1.Dahulu, istilah Syi’ah (tasyayyu’) digunakan sebagai ungkapan kecintaan terhadap Ali Radhiyallahu 'anhu dan keluarganya, tanpa merendahkan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lain.

2. Kemudian berkembang sehingga melewati batas terhadap Ali Radhiyallahu 'anhu dan sebagian anggota keluarganya, mencela sahabat Radhiyallahu 'anhum, bahkan mengkafirkan mereka, disertai aqidah-aqidah lain yang bukan dari agama Islam sama sekali, seperti: taqiyyah, imamah, ‘ishmah, raj’ah, dan batiniyyah.

3. Kemudian di antara mereka ada yang menuhankan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu dan imam-imam setelahnya, berkeyakinan reinkarnasi dan aqidah-aqidah kufur lainnya, yang bertameng dengan tasyayyu’ (kecintaan terhadap Ali Radhiyallahu 'anhu dan keluarganya).


FIRQAH-FIRQAH (KELOMPOK-KELOMPOK) SYI’AH
Firqah-firqah Syi’ah banyak sekali, sampai sebagian ulama menyebutkan bahwa mereka mencapai 300 firqah. Sedangkan di zaman ini, firqah mereka yang besar ada tiga, yaitu:

1. Kelompok Rafidhah, dikenal dengan nama Syi’ah Ja’fariyyah, karena menisbatkan kepada Ja’far Ash-Shadiq. Juga dikenal dengan nama Imamiyyah, dan Itsna ‘Aysariyyah, karena memiliki keyakinan imam dua belas. Kelompok inilah yang paling besar dewasa ini. Mereka sekarang berada di Iran, Irak, Syam, Libanon, Pakistan, Afghanistan Barat, Ahsa’, dan Madinah.

2. Zaidiyyah, mereka adalah para pengikut Zaid bin Ali bin Al-Husain. Mereka tinggal di Yaman.

3. Isma’iliyyah. Mereka menisbatkan kepada Isma’il bin Ja’far Ash-Shadiq dan meyakini keimamannya, sehingga disebut Isma’iliyyah. Mereka berada di Jazirah Arab Utara, Afrika Utara, Afrika Tengah, Syam, Pakistan, India, dan lainnya.

Selain kelompok di atas, ada kelompok Nushairiyyah, Duruz, Bahrah, Agha Khaniyyah, dan lainnya.

Karena kelompok Syi’ah terbesar sekarang ini adalah kelompok Rafidhah (Syi’ah Ja’fariyyah ; Itsna ‘Aysariyyah), maka kami akan memfokuskan pembicaraan ini tentang mereka.


USAHA RAFIDHAH MENDEKATI AHLUS SUNNAH
Semangat Rafidhah untuk memasukkan madzhabnya ke barisan madzhab-madzhab kaum muslimin begitu kuat, mereka menginginkan seandainya madzhab mereka disebut madzhab kelima di kalangan kaum muslimin. Oleh karena itu mereka berusaha mensukseskan program mereka “taqrib (pendekatan) antara Sunnah dan Syi’ah” dengan berbagai cara. Tidak diragukan lagi bahwa persatuan kaum muslimin merupakan perkara yang wajib diwujudkan, tetapi hal itu haruslah tegak di atas fondasi-fondasi kebenaran.

Usaha-usaha Rafidhah itu sempat menjadikan sebagian kaum muslimin terkecoh karenanya. Padahal seandainya mereka mengetahui hakekat agama Rafidhah, mereka pasti akan lari menjauhi dengan ketakutan!


KESESATAN RAFIDHAH
Ketahuilah wahai saudara-saudaraku, bahwa terdapat jurang perbedaan yang sangat besar antara Ahlus Sunnah dengan Rafidhah, sehingga mustahil untuk disatukan! kecuali yang satu berpindah kepada agama yang lain!
Inilah perbedaan-perbedaan mendasar tersebut, yang sekaligus sebagai kesesatan-kesesatan mereka!:

1. Mereka berkeyakinan, -dengan dinisbatkan kepada para imam mereka- bahwa mereka memiliki Al-Qur’an yang berbeda dengan yang dimiliki kaum muslimin.

a). Mereka meriwayatkan dari Abu Abdullah, yang berkata: “Al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril Alaihissallam kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah 17 ribu ayat”. [Al-Kaafi fil Ushul II/634, Cetakan Teheran, Iran]

b). Dalam riwayat mereka yang lain disebutkan bahwa Abu Abdullah berkata : “Pada fihak kami sesungguhnya ada mushhaf Fatimah. Tahukan mereka apakah mushhaf Fatimah itu? Jawabnya: “Mushhaf Fatimah itu isinya tiga kali dibanding dengan Al-Qur’an kalian ini. Demi Allah, tidak satupun huruf dari Al-Qur’an tersebut, terdapat dalam Al-Qur’an kalian.” [Al-Kaafi fil Ushul II/240-241, Cetakan Teheran, Iran]


Bantahan.
Inilah keyakinan Rafidhah terhadap Al-Qur’anul Karim, keyakinan yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Keyakinan adanya perubahan di dalam Al-Qur’an ini tersebar di dalam buku-buku induk mereka! Mungkinkah kelompok yang memiliki keyakinan kufur seperti ini dianggap sebagai madzhab kelima di kalangan kaum muslimin?!

Padahal Allah Ta’ala telah memberikan jaminanNya terhadap kebenaran Al-Qur’an, Dia berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. [Al Hijr/15:9]


Sebagian mereka membantah dengan mengatakan bahwa : “Keyakinan perubahan terhadap Al-Qur’an adalah tuduhan musuh-musuh Syi’ah, sedangkan kami (orang-orang Syi’ah) tidak mempercayainya. Buktinya mushhaf yang dicetak dan dibaca oleh orang-orang Syi’ah sama dengan mushhaf Al-Qur’an yang dimiliki oleh kaum muslimin yang lain.”


Bantahan.
Bahwa anda –dan sebagian ulama Syi’ah- tidak meyakini adanya perubahan di dalam Al-Qur’an, itu adalah hak anda. Tetapi kenyataannya hal itu tertulis di dalam kitab-kitab utama dan dipercayai di kalangan Rafidhah, sehingga hal itu merupakan keyakinan Rafidhah. Kalau memang anda tidak memiliki keyakinan tersebut, sebaiknya anda keluar dari kelompok Rafidhah yang memiliki kitab-kitab pegangan yang berisikan hal tersebut. Atau itu sekedar taqiyah (menampakkan sesuatu yang berbeda dengan keyakinannya)??Dan inilah jawaban tentang keadaan orang-orang Rafidhah yang menggunakan Al-Qur’an yang sama dengan mush-haf kaum muslimin. Salah seorang pemimpin Rafidhah, bernama Ni’matullah Al-Jazairi, menyatakan: “Jika anda bertanya, mengapa kami dibenarkan membaca Al-Qur’an ini, padahal telah mengalami perubahan? Saya menjawab: “Telah diriwayatkan di dalam banyak riwayat bahwa para imam Syi’ah menyuruh golongan mereka untuk membaca Al-Qur’an yang ada ditangan umat Islam di waktu shalat dan lain-lain, dan melaksanakan hukum-hukumnya, sampai kelak datang waktunya pemimpin kita, Shahibuz Zaman, muncul lalu menarik beredarnya Al-Qur’an yang ada ditangan umat Islam ini ke langit, dan mengeluarkan Al-Qur’an yang dahulu disusun oleh Amirul Mukminin as, lalu Al-Qur’an inilah yang dibaca dan diamalkan.” [Al-Anwar An-Nu’maniyyah II/363-364, Cetakan: Teheran]

Ketahuilah, bahwa sebab yang mendorong Rafidhah berkeyakinan adanya perubahan terhadap Al-Qur’an adalah karena keyakinan pokok mereka, yaitu tentang keimaman 12 imam versi mereka tidak disebut di dalam Al-Qur’an, demikian juga di dalam Al-Qur’an penuh pujian dan sanjungan terhadap para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal para sahabat adalah orang-orang yang menjadi sasaran caci-maki mereka! Maka untuk meyakinkan para pengikut, mereka menyatakan bahwa ayat tentang tentang keimaman dan celaan terhadap para sahabat telah dibuang! Tetapi pernyataan itu tentulah akan membongkar kekafiran mereka, karena mengaggap adanya perubahan dalam Al-Qur’an merupakan kekafiran, maka merekapun berusaha untuk mengingkari hal tersebut. Akan tetapi riwayat-riwayat yang menyatakan perubahan di dalam Al-Qur’an tersebar luas di dalam kitab-kitab mereka. Kemudian di antara peristiwa yang membongkar kesesatan dan kekafiran mereka adalah munculnya sebuah kitab yang ditulis oleh salah seorang tokoh besar mereka yang berjudul “Fash-lul Khithab fii Tahriifi Kitabi Rabbil Arbab” (Kata Pemutus Tantang Adanya Perubahan di Dalam Kitabnya Pengasa Makhluk (kitab Al-Qur’an)). Penulisnya, yang bernama Mirza Taqiyy An-Nuuri Ath-Thibrisi menetapkan mutawatirnya riwayat adanya perubahan dalam Al-Qur’an (yang merupakan keyakinan kekafiran yang nyata dan membongkar kedustaan mereka!!!) di dalam kitab-kitab Rafidhah, dan dia mengakui bahwa para ulama mereka mengimani terhadap kekafiran ini! [Lihat Al-Mujaz fil Adyan wal Madzahib Al-Mu’ashirah, hal: 125, karya DR. Nashir bin Abdullah Al-Qifari dan DR. Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql]


2. Mereka Memiliki Keyakinan Syirik Terhadap Para Imam Mereka.
Keyakinan-keyakinan syirik yang bertebaran di dalam kitab-kitab induk mereka sangat banyak, keyakinan-keyakinan syirik yang lebih sesat dari orang-orang musyrik di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena orang-orang musyrik dahulu meyakini keesaan Allah di dalam rububiyahNya, sedang keyakinan syirik orang-orang Rafidhah adalah di dalam rububiyahNya. Inilah di antara keyakinan-keyakinan sesat mereka itu:

a). Diriwayatkan dari Abu Abdullah, yang berkata: “Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui segala yang di langit dan di bumi, serta segala yang di surga dan di neraka, dan apa yang telah terjadi, serta sedang dan akan terjadi.” [Al-Kaafi fil Ushul I/261, Cetakan:Teheran]

b). Juga diriwayatkan dari Abu Abdullah, yang berkata: “Sesungguhnya dunia ini milik imam, dan akhiratpun milik imam. Dia meletakkannya di mana ia kehendaki dan memberikannya kepada siapa yang ia kehendaki.” [Al-Kaafi fil Ushul I/409, Cetakan:Teheran]



Bantahan:
Keyakinan yang tertulis di dalam kitab mereka itu adalah keyakinan syirk yang mengeluarkan dari agama Islam, dan merupakan keyakinan yang sangat bertentangan dengan Al-Qur’an, kitab Suci Allah Ta’ala!! Dia berfirman:

إِنَّ اللهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي اْلأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim.Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok.Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. [Luqman/31:34]

Allah juga berfirman.

فَلِلَّهِ اْلأَخِرَةُ وَاْلأُولَى

(Tidak), maka hanya milik Allah-lah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia. [An Najm/53:25]

Sebenarnya masih banyak lagi keyakinan syirik yang tersebut di dalam kitab-kitab induk mereka, tetapi yang sedikit itupun telah mencukupi bagi orang yang cerdik!


3. Mereka Mengkafirkan Seluruh Sahabat, Kecuali Beberapa Orang Saja, Yaitu: Ali, Al-Miqdad, Salman Al-Farisi, Abu Dzarr, dan ‘Ammar bin Yasir.
a). Salah seorang tokoh mereka bernama Salim bin Qais Al-Kufi Al-Hilali Al-‘Amiri berkata di dalam bukunya “As-Saqifah (kitab Wafatnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam)”, hal: 92 : “...Salman berkata: ‘Ali berkata: “Sesungguhnya seluruh manusia murtad setelah wafat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali 4 orang.”

b). Pada halaman lain disebutkan dari Ibnu Abbas: “Wahai saudara-saudaraku, pada hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, tidaklah beliau diletakkan di kubur beliau, sehingga orang-orang memecahkan janji dan murtad, serta mereka sepakat untuk menyelisihi”. [As-Saqifah, hal:249, karya Salim bin Qais Al-Kufi Al-Hilali Al-‘Amiri; juga semisalnya diriwayatkan oleh Al-Kulaini di dalam Ar-Raudhah minal Kafi, VIII/245, 296, dari Abu Ja’far]

c). Diriwayatkan dari Ja’far Ash-Shadiq, dia berkata: “Sesungguhnya seluruh manusia murtad setelah wafat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali segelintir orang saja.” [Al-Ushul minal Kafi II/319-320]

d). Pada riwayat lain disebutkan: “Seluruh manusia binasa ...kecuali 3 orang.” [Ar-Raudhah minal Kafi, hal:361, karya Al-Kulaini]

Dengan keyakinan di atas maka tidaklah aneh jika kemudian mereka mecela para sabahat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Celaan yang membawa kepada kekafiran!!


Bantahan:
Kalau benar keyakinan mereka itu, berarti ummahatul mukminin (para istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan para sahabat semua murtad dan menjadi kafir menurut mereka. Ini adalah keyakinan yang sangat munkar, keji, dan bertentangan dengan puluhan ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih yang memuji para sahabat.

Allah berfirman bahwa para sahabat adalah ummat terbaik.

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. [Al Imran/ 3:110]

Kalau mereka dipuji oleh Allah sebagai umat yang terbaik, maka bolehkah berkeyakinan kalau mereka murtad?! Tidak, karena itu adalah keyakinan kufur!

Allah juga meridhai para sahabat, dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dengan firmanNya:

وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. [At Taubah/9:100]

Dia juga berfirman.

لَّقَدْ رَضِىَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَافِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَة عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا


Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). [Al Fath/48:18]

مُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. [Al Fath/48:29]

Kalau mereka diridhai oleh Allah dan dijanjikan masuk sorga, maka bolehkah berkeyakinan kalau mereka murtad?! Tidak, karena itu adalah keyakinan kufur!

Banyak di antara mereka yang mengingkari bahwa mereka mengkafirkan sahabat dan mencela mereka, tetapi bukti-bukti tertulis yang ada di dalam kitab-kitab induk mereka tidak dapat dihilangkan hanya dengan pengingkaran lesan saja!

Inilah sebagian kesesatan mereka, belum lagi kesesatan-kesesatan lain yang ada pada mereka, seperti: keyakinan mereka mengagungkan tempat-tempat gugurnya orang tertentu dan kubur-kubur; mengbolehkan nikah mut’ah bahkan meyakini keutamaannya; danlain-lain. Yang sedikit itu sesungguhnya sudah mencukupi bagi orang yang cerdik.


PERKATAAN PARA ULAMA TENTANG RAFIDHAH
Telah terjadi perselisihan antara Ahlus Sunnah dengan Rafidhah semenjak zaman dahulu, dan Salafush Shalih telah membantah mereka di zaman itu. Inilah para ulama yang tercatat membantah Rafidhah:

1. Imam Malik rahimahullah.
Beliau ditanya tentang Rafidhah, beliau menjawab: “Janganlah kamu berbicara dengan mereka, dan janganlah kamu meriwayatkan dari mereka, karena mereka berdusta.” [Minhajus Sunnah I/59]

Beliau juga berkata: “Orang yang mencela para sahabat Nabi, maka dia tidak termasuk golongan Islam.” [As-Sunnah II/557, karya Al-Khallal]

2. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku tidak pernah melihat seorangpun lebih berani bersaksi palsu daripada Rafidhah”. [Riwayat Al-Lalikai di dalam Syarh Ushul I’tiqad VIII/1457; Abu Hatim Ar-Razi di dalam Aadab Asy-Syafi’I wa Manaqibuhu, hal:187-189; dan Abu Nu’aim di dalam Al-Hilyah IX/114; serta disebutkan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Minhajus Sunnah I/60 dan Adz-Dzahabi di dalam Siyar X/89]

3. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Barangsiapa mencela sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka kami khawatir dia keluar dari Islam.” [As-Sunnah II/558, karya Al-Khallal]

4. Imam Bukhari rahimahullah berkata: “Bagiku sama saja, apakah aku shalat di belakang orang yang berfaham Jahmiyyah atau Rafidhah, atau aku shalat di belakang orang Yahudi atau Nashrani. Dan seorang muslim tidak boleh memberi salam kepada mereka, menjenguk mereka ketika sakit, kawin dengan mereka, menjadikan mereka sebagai saksi, dan memakan sembelihan mereka.” [Khalqu Af’alil ‘Ibad, hal:125, karya Imam Bukhari]

5. Imam Abdurrahman bin Mahdi bin Hasan bin Abdurahman Al-‘Ambari Al-Bashri rahimahullah, salah seorang imam Ahli Hadits ternama, wafat Th 198H. Beliau berkata: “Dua hal ini (mengingkari kejujuran sahabat dan mengangap mereka murtad) merupakan agama golongan Jahmiyyah dan Rafidhah.” [Khalqu Af’alil ‘Ibad, hal:125, karya Imam Bukhari]

6. Imam Muhammad bin Yusuf Al-Faryabi rahimahullah, salah seorang ahli hadits terpercaya, dan terbaik di zamannya, wafat Th 212H, imam Bukhari meriwayatkan 26 hadits darinya. Ketika ditanya tentang orang yang mencela Abu Bakar, beliau menjawab: “Dia kafir.” [As-Sunnah VI/566, karya Al-Khallal; Ash-Sharimul Maslul, hal:570, karya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah]

7. Ahmad bin Yunus rahimahullah, salah seorang tokoh ulama Ahlus Sunnah di Kufah, wafat th. 227H. Beliau berkata: “Seandainya seorang Yahudi menyembelih seekor binatang, dan seorang Rafidhi (Syi’ah) menyembelih seekor binatang, niscaya aku hanya memakan sembelihan si Yahudi, dan aku tidak mau memakan sembelihan si Rafidhi karena dia telah murtad dari Islam.” [Ash-Sharimul Maslul, hal:570, karya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah]

Selain perkataan para ulama di atas, masih banyak lagi perkataan para ulama yang menyatakan kesesatan Rafidhah, di antaranya:

8. Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullah. Seorang tokoh ahli hadits, hafal 100 ribu hadits, sehingga ada yang berkata: “Setiap hadits yang tidak dikenal oleh Abu Zur’ah, maka hadits itu tidak memiliki asal usul.” Beliau wafat Th 227 H.
9. Ibnu Qutaibah rahimahullah, salah seorang ulama terkenal yang banyak karya-karyanya, wafat Th 276 H.
10. Abdul Qadir Al-Baghdadi rahimahullah, salah seorang tokoh ulama terkenal, wafat Th 429 H.
11. Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullah, seorang ‘alim masalah aqidah dan syari’ah di masanya, wafat Th 458 H
12. Al-Asfarayaini rahimahullah, seorang tokoh terkenal yang banyak karya-karyanya, wafat Th 471 H
13. Abu Hamid Al-Ghazali rahimahullah, wafat Th 505H.
14. Ibnu Hazm rahimahullah.
15. Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah. Seorang tokoh ahli hadits di zamannya, dari Maghribi, wafat Th 544 H
16. As-Sam’ani rahimahullah, tokoh penghafal hadits, yang banyak karya-karyanya, wafat Th 562 H.
17. Fakhrur Razi rahimahullah seorang tokoh terkenal, wafat Th 606 H.
18. Al-Qurthubi rahimahullah di dalam Tafsirnya.
19. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
20. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah.
21. Imam Adz-Dzahabi rahimahullah.
22. Imam Ibnu Katsir rahimahullah.
23. Syaikh Al-Alusi rahimahullah.
24. Syaikh Ali bin Sulthan bin Muhammad Al-Qaari rahimahullah
25. Abul Mahasin Yusuf Al-Wasithi rahimahullah
26. Syeikh Syah Abdul Azizi Ad-Dahlawi rahimahullah
27. Muhammad Ali Asy-Syaukani rahimahullah
28. DR. Taqiyyuddin Al-Hilali Al-Husaini rahimahullah.
29. Syaikh Muhammad Bahjah Al-Baithar rahimahullah.
30. Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah.
31. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah.
32. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah.
33. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
34. Syaikh Mushthafa al-Adawi.
35. Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Dan lainnya.


PENUTUP.
Setelah kita mengetahui sedikit saja tentang kesesatan Rafidhah, dan bahwa mereka adalah orang-orang yang dikenal berdusta di kalangan para ulama, maka janganlah kita terkecoh oleh mereka.

Kami sebutkan di sini, -sebagai nasehat dan peringatan, sesungguhnya peringatan itu berguna bagi orang-orang yang beriman- di antara orang yang terkecoh dan memuji-muji Syiah adalah seorang penulis Indonesia, yang banyak buku-bukunya, yaitu Prof. Dr. Abu Bakar Aceh di dalam bukunya yang berjudul Syi’ah, Rasionalisme dalam Islam. Di dalam bukunya tersebut Prof. meruju’ kepada berbagai buku-buku yang ditulis oleh orang-orang Syia’h, bahkan sempat memuji-muji kitab Muraja’at karya Abdul Husain Syarafuddin Al-Musawi (Pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Mizan Bandung dengan judul: Dialog Sunnah Syi’ah) .


TAMBAHAN
Cobalah dengar perkataan seorang Ahli hadits yang diakui ilmunya tentang kitab yang sempat mengecoh sang Prof. tersebut , inilah di antara perkataan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah tentang buku tersebut beserta pengarangnya.

1. Setelah menjelaskan palsunya sebuah hadits tentang keutamaan sahabat Ali Radhiyallahu 'anhu di dalam kitab Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah no:892, Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Sesungguhnya ada beberapa sebab yang mendorongku mentakhrij hadits ini, mengkritiknya, dan membongkar cacatnya, di antaranya : Aku melihat seorang Syaikh yang bernama Abdul Husain Syarafuddin Al-Musawi seorang Syi’ah telah menyebutkan hadits ini di dalam kitab Muraja’at karyanya, hal:27. Dia mentakhrij hadits ini menipu para pembaca bahwa hadits ini adalah shahih, sebagaimana kebiasaannya di kalangan orang-orang yang semisalnya.” [Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah II/295, Penerbit:Maktabul Ma’arif, Riyadh, Cet:5, Th:1412 H]

2. Kitab Muraja’at karya seorang Syi’ah tersebut dipenuhi oleh hadits-hadits lemah dan palsu tentang keutamaan Ali Radhiyallahu 'anhu. Demikian pula disertai kebodohan terhadap ilmu (hadits) yang mulia ini, penipuan terhadap para pembaca, penyesatan dari al-haq yang nyata, bahkan kedustaan terang-terangan. Yang hampir-hampir tidak terlintas pada fikiran pembaca yang mulia bahwa ada seorang di antara para penulis terjerumus ke dalam keadaan semisalnya. Oleh karena inilah, tekadku kuat untuk mentakhrij hadits-hadits itu –walaupun jumlahnya banyak-, dan menjelaskan cacat-cacat dan kelemahannya, serta membongkar perkataan orang Syi’ah tersebut terhadap hadits-hadits itu, perkataannya yang berupa penipuan dan penyesatan.” [Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah II/297, Penerbit:Maktabul Ma’arif, Riyadh, Cet:5, Th:1412 H]

Inilah perkataan seorang yang ahli dan terpercaya mudah-mudahan membuka mata sebagian kaum muslimin yang tertipu dengan ulah orang-orang Rafidhah yang berusaha mengecoh mereka dengan perbuatan seperti di atas!

Wahai Allah tunjukkanlah al-haq kepada kami sebagai al-haq sehingga kami dapat mengikutinya.

Dan tunjukkanlah kesesatan kepada kami sebagai kesesatan sehingga kami dapat mengikutinya. Wallahu A’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

sumber: www.almanhaj.or.id

TAQIYAH, TOPENG KEMUNAFIKAN KAUM SYIAH

Oleh: Ustadz Abu Minhal



TAQIYAH, RUKUN AGAMA SYIAH
Akidah taqiyah termasuk akidah Syiah yang menyelisihi Islam. Akidah ini menempati kedudukan yang tinggi dalam agama mereka. Menurut mereka, para nabi dan rasul pun diperintahkan untuk melakukannya.

Ulama Syiah telah menjelaskan definisi taqiyah ini. al-Mufîd dalam Tash-hîhul I’tiqâd berkata: “Taqiyah adalah merahasiakan al-haq (keyakinan Syiah, red) dan menutupi diri dalam meyakininya, berkamuflase di hadapan para penentang (orang-orang yang berseberangan dalam keyakinan) dan tidak mengusik mereka dengan apa saja yang akan menyebabkan bahaya bagi agama dan dunia (orang-orang Syiah).

Yusuf al-Bahrâni (tokoh Syiah abad 12 H) berkata, “Maksudnya menampakkan kesamaan sikap dengan para penentang dalam apa yang mereka yakini karena takut kepada mereka.”

Al-Khumaini berkata: “Taqiyah artinya seseorang mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan realita atau melakukan sesuatu yang berseberangan dengan aturan syariah guna menyelamatkan nyawa, kehormatan atau kekayaannya.” [1]

Melalui tiga definisi taqiyah dari tiga Ulama besar Syiah dapat disimpulkan bahwa:
1. Makna taqiyah adalah seseorang menampakkan sesuatu yang berbeda dengan hatinya di hadapan orang lain
2. Dipraktekkan di hadapan para penentang mereka sehingga seluruh kaum Muslimin masuk dalam kategori ini (para penentang mereka).
3. Taqiyah dilakukan dalam urusan yang berkaitan dengan praktek agama orang-orang yang berseberangan dengan mereka
4. Taqiyah dilakukan karena rasa takut, ingin memelihara agama, jiwa dan harta.[2]


BEBERAPA RIWAYAT TENTANG KEDUDUKAN TAQIYAH
Terdapat banyak riwayat versi Syiah dalam kitabkitab induk mereka yang menunjukkan tingginya kedudukan akidah taqiyah ini.

Al-Kulîni (seorang Ulama Syiah) meriwayatkan perkataan Ja’far ash-Shâdiq yang berbunyi:

التَّقِيّضةُ دِيْنِيْ وَدِيْنُ آبَاءِيْ، لاَإِيْمَا ن لِمنْ لاَتقِيَّةَ لَهُ

Taqiyah adalah agamaku dan agama moyangku. Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak melakukan taqiyah

Abu ‘Abdillâh berkata: “Sesungguhnya Sembilan persepuluh dari agama terdapat dalam taqiyah. Tidak ada agama bagi orang yang tidak bertaqiyah” [al-Khishâl,Ibnu Bâbuyah al-Qummi, 1/25].

Al-Bâqir berkata: “Akhlak terbaik para imam dan orang-orang terkemuka Syiah adalah bertaqiyah.” [al-Ushûl al-Ashîlah hal. 324].

Dalam al-Mahâsin, (sebuah rujukan Syiah) diriwayatkan dari Habîb bin Basyîr dari Abu ‘Abdillâh, ia berkata: “Demi Allah Azza wa Jalla, tidak ada di muka bumi ini yang lebih aku cintai daripada taqiyah. Habîb, orang yang melakukan taqiyah, akan diangkat derajatnya oleh Allah Azza wa Jalla. dan orang yang tidak melakukan taqiyah, Allah Azza wa Jalla akan menghinakannya.” [al-Mahâsin: 259].

Secara nyata, mereka memberlakukan akidah taqiyah di seluruh kondisi. Dalam ibadah umpamanya; tidaklah mereka mengerjakan shalat dengan kaum Muslimin kecuali dalam rangka menjalankan akidah taqiyah, yang dalam bahasa lain adalah untuk memperdayai dan menipu kaum Muslimin agar perbedaan tajam yang ada pada keyakinan Syiah tidak tampak. [3]

Dalam masalah bersumpah, Ulama mereka memperbolehkan mengeluarkan sumpah-sumpah dusta, tanpa perlu membatalkan atau membayar kafarahnya.


KEBATILAN PRINSIP TAQIYAH
Pernyataan-pernyataan di atas sudah bukan barang aneh lagi bagi Ahli Sunnah. Pasalnya, landasan agama Syiah memang adalah dusta dan tipu-daya. Semua yang mereka yakini tidak berasaskan dalil-dalil syar’i. Pijakan mereka hanyalah kemunafikan dan kebohongan.

Syaikh DR Ibrâhim ar-Ruhaili hafizhahullâh mengomentari riwayat-riwayat di atas dengan berkata: “Riwayat-riwayat itu menunjukkan bagaimana kedudukan taqiyah dalam pandangan mereka dan derajatnya yang agung dalam agama mereka. Sebab taqiyah menurut Syiah termasuk prinsip agama yang terpenting. Tidak ada keimanan sempurna bagi orang yang tidak bertaqiyah. Orang yang meninggalkan taqiyah, laksana meninggalkan shalat. Bahkan taqiyah itu melebihi seluruh rukun Islam. Taqiyah mewakili Sembilan persepuluh agama mereka. Sementara rukun-rukun Islam dan kewajiban-kewajiban lain hanya terletak pada sepersepuluh bagian yang tersisa saja.” [4]

Syaikhul Islam rahimahullah memaparkan: “Sebagaimana (telah dimaklumi), mereka orang yang paling buta terhadap ayat-ayat al-Qur`ân, hadits-hadits dan atsar dan paling tidak tahu bagaimana cara memilah-milah antara dalil yang shahîh dan yang lemah. Pijakan mereka dalam dalildalil naqli adalah sejarah yang terputus sanadnya. Bahkan kebanyakan riwayat itu berasal dari orang-orang yang telah dikenal akan kedustaan dan bahkan juga kekufurannya. Ulama mereka berpegangan pada riwayat seperti Abu Mikhnaf, Luth bin Yahya, Hisyâm bin Muhammad bin Sâib dan orang-orang lainnya yang kedustaannya sudah tidak asing lagi di kalangan Ulama (Islam). Anehnya, orangorang seperti mereka itu merupakan orang-orang itu penting bagi Syiah dalam urusan riwayat…”

Menampakkan diri dengan sesuatu yang tidak diyakini dan dikerjakan oleh seseorang bukanlah sifat kaum mukminin. Tetapi, bagian dari karakter kaum munafikin. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, “Kami telah beriman.” Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu. Kami hanyalah berolok-olok.” [al-Baqarah:2/14]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِم مَّا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ

Mereka (orang-orang yang munafik) mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. [Ali Imrân:3/167]


PENUTUP
Setiap orang yang mempunyai akal akan memahami konsekuansi akidah taqiyah. Sebab, pada hakekatnya, taqiyah merupakan intisari dari kemunafikan dan kebohongan. Akibatnya, tidak tampak perbedaan antara seorang Mukmin dan kafir, orang shalih dan orang jelek, orang jujur dan orang dusta, seorang rasul dan dukun. Selanjutnya, prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya akan lenyap. Sebab, Syiah mengharuskan seseorang untuk menggunakan taqiyah dalam segala kondisi. Menjadi seorang Yahudi saat berinteraksi dengan orang Yahudi, menjadi Nashrani saat bersama orang Nashrani dan seterusnya. Meski demikian, mereka menganggap diri sebagai kaum Mukminin dan menilai orang di luar mereka sebagai orang-orang murtad dan munafik. Padahal mereka lebih pantas berjuluk dengan sebutan itu, sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah [Minhâjus Sunnah 1/85, 69]

Dalam al-Qur’ân, berbicara dengan lisan yang berbeda dengan isi hati termasuk karakter kaum Munafikin, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :

يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِم مَّا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ ۗ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُونَ

mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. dan Allah lebih mengetahui dalam hatinya. dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.[Ali Imran/3:167]
Wallahu A’lam.

RUJUKAN:
1. Badzlul Majhûd Fî Itsbâti Musyâbahatir Râfidhah bil Yahûd, DR. Ibrâhîm ar-Ruhaili, Maktabar Ghurabâ‘ Th. III 1419H.
2.Tanâquhu Ahlil Ahwâ wal Bida’ DR. Afâf binti Hasan bin Muhammad Mukhtâr Maktabar ar-Rusyd (1/213-215).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Atas dasar itu, adu argumentasi atau debat dengan mereka sulit akan membuahkan hasil. Karena mereka akan menyangkal segala yang dialamatkan kepada mereka.
[2]. Badzlul Majhûd 2/638
[3]. Syaikh Ibrâhim ar-Ruhaili berkata: “Sebenarnya kami tidak mengetahui apakah perbedaan antara mereka dan kaum Munafikin. Sebab, dahulu kaum Munafikin mengerjakan shalat dan menampakkan diri di hadapan kaum Muslimin dengan amal shaleh.” (Badzlul Majhûd 2/246). Dan Syaikh DR. Abdul Azîz ash-Shâ’idi, dosen Jâmiah Islamiyyah Madinah pernah menceritakan bahwa tokoh agama Syiah pernah meminta jamaahnya tetap berada di Masjidil Haram untuk mengerjakan shalat agar tidak menimbulkan kecurigaan orang. Sebab mereka di waktu adzan dikumandangkan justru keluar dari masjid. Ketika menimbulkan kegaduhan dan pandangan sekeliling mengarah kepada mereka, sang tokoh pun melarang jamaah keluar masjid dan tetap menjalankan shalat
bersama imam (melakukan taqiyah)


sumber: www.almanhaj.or.id