Minggu, 31 Oktober 2010

Hukum Qurban Secara Kolektif

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Alhamdulillah, beberapa minggu lagi kita akan memasuki bulan Dzulhijah, terkhusus kita akan merayakan Idul Adha. Saat hari raya tersebut sampai hari-hari tasyriq, kita akan bertemu dengan rutinitas tahunan, yaitu penyembelihan qurban. Dalam edisi Buletin At Tauhid kali ini dan berikutnya, kita akan membahas secara lebih khusus mengenai masalah qurban. Tema yang akan diangkat adalah mengenai ketentuan seputar hewan qurban yang akan disembelih dan boleh atau tidaknya kolektif ketika itu. Dari bahasan ini pula kita akan mengetahui kekeliruan dalam penyembelihan qurban secara urunan yang biasa terjadi di tengah-tengah masyarakat. Moga-moga yang sederhana ini manfaat.

Hewan yang digunakan untuk sembelihan qurban adalah unta, sapi[1], dan kambing. Bahkan para ulama berijma’ (bersepakat) tidak sah apabila seseorang melakukan sembelihan dengan selain binatang ternak tadi.[2]

Ketentuan Qurban Kambing

Seekor kambing hanya untuk qurban satu orang dan boleh pahalanya diniatkan untuk seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia.”Pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ada seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.”[3] Asy Syaukani mengatakan, “(Dari berbagai perselisihan ulama yang ada), yang benar, qurban kambing boleh diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa atau lebih.”[4]

Ketentuan Qurban Sapi dan Unta

Seekor sapi boleh dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor unta untuk 10 orang (atau 7 orang)[5]. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan,”Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Idul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor unta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.”[6]

Begitu pula dari orang yang ikut urunan qurban sapi atau unta, masing-masing boleh meniatkan untuk dirinya dan keluarganya. Perhatikan fatwa Al Lajnah Ad Da-imah berikut.

Soal: Bolehkah seorang muslim berqurban unta atau sapi untuk tujuh orang, lalu masing-masing meniatkan untuk orang tua, anak, kerabat, pengajar dan kaum muslimin lainnya. Apakah urunan tujuh orang tadi masing-masing diniatkan untuk satu orang saja (tanpa disertai lainnya) atau pahalanya boleh untuk yang lainnya?

Jawab: Yang diajarkan, unta dan sapi dibolehkan untuk tujuh orang. Setiap tujuh orang itu boleh meniatkan untuk dirinya sendiri dan anggota keluarganya.[7]

Bagaimana Hukum Qurban Secara Kolektif?

Sebagaimana ketentuan di atas, satu kambing hanya boleh untuk satu orang (dan boleh diniatkan untuk anggota keluarga), satu sapi untuk tujuh orang (termasuk anggota keluarganya), dan satu unta untuk sepuluh orang (termasuk anggota keluarganya), lalu bagaimana jika 1 kambing dijadikan qurban untuk 10 orang atau untuk satu sekolahan (yang memiliki murid ratusan orang) atau satu desa? Ada yang melakukan seperti ini dengan alasan dana yang begitu terbatas.

Sebagai jawabannya, alangkah baiknya kita perhatikan fatwa ulama yang terhimpun dalam Al Lajnah Ad Da-imah (komisi fatwa di Saudi Arabia) mengenai hal ini.

Soal: Ada seorang ayah yang meninggal dunia. Kemudian anaknya tersebut ingin berqurban untuk ayahnya. Namun ada yang menyarankan padanya, ”Engkau tidak boleh menyembelih unta untuk qurban satu orang. Sebaiknya yang disembelih adalah satu ekor kambing. Karena unta lebih utama dari kambing. Jadi yang mengatakan ”Sembelihlah unta”, itu keliru”. Karena apabila ingin berkurban dengan unta, maka harus dengan patungan bareng-bareng.

Jawab: Boleh berkurban atas nama orang yang meninggal dunia, baik dengan satu kambing atau satu unta. Adapun orang yang mengatakan bahwa unta hanya boleh disembelih dengan patungan bareng-bareng, maka perkataan dia yang sebenarnya keliru. Akan tetapi, kambing tidak sah kecuali untuk satu orang dan shohibul qurban (orang yang berqurban) boleh meniatkan pahala qurban kambing tadi untuk anggota keluarganya. Adapun unta boleh untuk satu atau tujuh orang dengan bareng-bareng berqurban. Tujuh orang tadi nantinya boleh patungan dalam qurban satu unta. Sedangkan sapi, kasusnya sama dengan unta.[8]

Dari penjelasan ini, maka kita bisa ambil beberapa pelajaran:
Seorang pelaku qurban dengan seekor kambing boleh mengatasnamakan qurbannya atas dirinya dan keluarganya.
Qurban dengan sapi atau unta boleh dipikul oleh tujuh orang.
Yang dimaksud kambing untuk satu orang, sapi dan unta untuk tujuh orang adalah dalam masalah orang yang menanggung pembiayaannya.
Tidak sah berqurban dengan seekor kambing secara kolektif/urunan lebih dari satu orang lalu diniatkan atas nama jama’ah, sekolah, RT atau desa. Kambing yang disembelih dengan cara seperti ini merupakan daging kambing biasa dan bukan daging qurban.

Solusi dalam Iuran Qurban

Solusi yang bisa kami tawarkan untuk masalah iuran hewan qurban secara patungan adalah dengan acara arisan qurban. Jadi setiap tahun beberapa orang bisa bergantian untuk berqurban. Di antara alasan dibolehkan hal ini karena sebagian ulama membolehkan berutang ketika melakukan qurban.

Imam Ahmad bin Hambal mengatakan tentang orang yang tidak mampu aqiqah, ”Jika seseorang tidak mampu aqiqah, maka hendaknya ia mencari utangan dan berharap Allah akan menolong melunasinya. Karena seperti ini akan menghidupkan ajaran Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.”[9] Qurban sama halnya dengan aqiqah.

Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Dulu Abu Hatim pernah mencari utangan dan beliau pun menggiring unta untuk disembelih. Lalu dikatakan padanya, ”Apakah betul engkau mencari utangan dan telah menggiring unta untuk disembelih?” Abu Hatim menjawab, ”Aku telah mendengar firman Allah (yang artinya), ”Kamu akan memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (QS. Al Hajj: 36)”[10]

Catatan:
Yang mengikuti arisan tersebut hendaknya orang yang berkemampuan karena yang namanya arisan berarti berutang.
Harga kambing bisa berubah setiap tahunnya. Oleh karena itu, arisan pada tahun pertama lebih baik setorannya dilebihkan dari perkiraan harga kambing untuk tahun tersebut.
Ketika menyembelih tetap mengatasnamakan individu (satu orang untuk kambing atau tujuh orang untuk sapi dan unta) dan bukan mengatasnamakan jama’ah atau kelompok arisan.

Bagaimana dengan Hadits ”Ini adalah qurbanku dan qurban siapa saja dari umatku yang belum berqurban”?

Sebagian orang ada yang beralasan benarnya qurban secara kolektif melebihi ketentuan syari’at yang dikemukakan di atas dengan alasan hadits Jabir bin ’Abdillah berikut,”Aku bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menghadiri shalat Idul Adha di tanah lapang. Setelah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkhutbah, beliau turun dari mimbar kemudian beliau diserahkan satu ekor domba. Lalu beliau memotong dengan tangannya, lantas bersabda, ”Bismillah, wallahu akbar. Ini adalah qurbanku dan qurban siapa saja dari umatku yang tidak ikut berqurban”.”[11] Mereka beralasan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja niatkan untuk seluruh umatnya yang tidak berqurban, maka berarti kami boleh niatkan qurban untuk satu RT, satu sekolahan atau satu desa.

Sanggahan: Mengenai hadits ”qurban siapa saja yang tidak ikut berqurban”, ini adalah khusus untuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan tidak untuk yang lainnya. Jadi, beliau diperbolehkan berkurban untuk seluruh umatnya (selain keluarganya). Sedangkan umatnya hanya diperbolehkan menyembelih qurban untuk dirinya dan keluarganya sebagaimana dijelaskan di muka.

Al Qodhi Abu Ishaq mengatakan, ”Perkataan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ini –wallahu a’lam- sebagaimana seseorang boleh berqurban untuk dirinya dan keluarganya, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam boleh berqurban atas nama seluruh kaum muslimin karena beliau adalah ayah mereka dan istri-istri beliau adalah ibu mereka.”[12] Oleh karena, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah ayah kaum muslimin, maka beliau diperbolehkan meniatkan qurban untuk dirinya dan keluarganya (yaitu seluruh kaum muslimin).

Kesimpulan
Penyembelihan qurban untuk diri dan keluarga dibolehkan sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Hal ini berdasarkan amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Penyembelihan qurban untuk diri sendiri dan untuk seluruh umat Islam selain keluarga hanyalah khusus bagi Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Dalilnya, para sahabat tidak ada yang melakukan hal tersebut sepeninggal Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Yang ada mereka hanya menyembelih qurban untuk diri sendiri dan keluarga.
Sebagian kaum muslimin yang menyembelih qurban untuk satu sekolah atau untuk satu RT atau untuk satu desa adalah keliru, seperti ini tidak dilakukan oleh para salaf terdahulu.

Semoga sajian ini bermanfaat. [M. Abduh Tuasikal, ST]

_____________

[1] Sebagian ulama menyamakan kerbau dengan sapi.
[2] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/369, Maktabah At Taufiqiyah.
[3] HR. Tirmidzi no. 1505, Ibnu Majah no. 3138. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 1142.
[4] Nailul Author, Asy Syaukani, 8/125, Mawqi’ Al Islam
[5] Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa satu unta hanya dijadikan urunan tujuh orang untuk udh-hiyah karena diqiyaskan dengan unta pada al hadyu. Sedangkan Asy Syaukani mengatakan bahwa unta udh-hiyah boleh untuk sepuluh orang dan unta al hadyu untuk tujuh orang. (Shahih Fiqih Sunnah, 2/370)
[6] HR. Tirmidzi no. 905, Ibnu Majah no. 3131. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih, sebagaimana dalam Misykatul Mashobih 1469 [17].
[7] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 11/405, Darul Ifta’ Yang menandatangai fatwa ini: Syaikh ’Abdul ’Aziz bin ’Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh ’Abdur Rozaq ’Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ’Abdullah bin Qu’ud dan Syaikh ’Abdullah bin Ghodyan selaku anggota. Soal pertama dari Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ’Ilmiyah wal Ifta’ no. 8790
[8] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 11/403. Yang menandatangai fatwa ini: Syaikh ’Abdul ’Aziz bin ’Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh ’Abdullah bin Qu’ud dan Syaikh ’Abdullah bin Ghodyan selaku anggota. Soal kedua dari Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ’Ilmiyyah wal Ifta’ no. 3055
[9] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/11011, Multaqo Ahlul Hadits
[10] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Ibnu Katsir, 5/426, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H
[11] HR. Abu Daud no. 2810, At Tirmidzi no. 1521. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[12] Al Muntaqo Syarh Al Muwatho’, 3/113, Mawqi’ Al Islam

Tawassul yang Dibolehkan dan yang Terlarang

Tawassul dalam tinjauan bahasa dan Al Qur’an

At tawassul secara bahasa artinya mendekatkan diri dengan sesuatu amal (Al Misbahul Munir, 2/660). Bisa juga dimaknai dengan berharap (ar raghbah) dan butuh (Lihat Al Mufradat fi ghoribil Qur’an, 523). Terkadang juga dimaknai dengan “tempat yang tinggi”. Sebagaimana terdapat dalam lafadz do’a setelah adzan: “Aati Muhammadanil wasilata…”. Disebutkan dalam Shahih Muslim bahwa makna “Al Wasilah” pada do’a di atas adalah satu kedudukan di surga yang hanya akan diberikan kepada satu orang saja.
Ringkasnya, tawassul secara bahasa memiliki empat makna: mendekatkan diri, berharap, butuh, dan kedudukan yang tinggi.

Dalam Al Qur’an, kata “Al Wasilah” terdapat di dua tempat:
[Pertama] di surat Al Maidah ayat 35, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan carilah “Al Wasilah” kepadaNya dan berjuanglah di jalanNya agar kalian beruntung.”
[Kedua] di surat Al Isra’ ayat 57, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari “Al Wasilah” kepada Rabb mereka, siapakah diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah)….”

Dua ayat di atas, terutama surat Al Maidah ayat 35, sering digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai dalil untuk melakukan tawassul yang terlarang. Penyebabnya adalah kesalahpahaman dalam menafsirkan kalimat: “Carilah Al Wasilah kepada-Nya..” Untuk itu, sebelum membahas masalah ini lebih lanjut, akan dibahas tafsir kalimat tersebut dengan merujuk beberapa pendapat para ahli tafsir dalam rangka meluruskan pemahaman tentang kalimat di atas.

Tafsir para ulama tentang makna Al wasilah pada surat Al Maidah ayat 35:
Al Jalalain, “carilah “Al Wasilah” kepadaNya”, maknanya: “carilah amal ketaatan yang bisa mendekatkan diri kalian kepada Allah.” (Tafsir Jalalain surat Al Maidah: 35)
Ibnu Katsir menukil tafsir dari Qatadah, “Carilah “Al Wasilah” kepadaNya”, tafsirnya: “mendekatkan diri kepadanya dengan melakukan ketaatan dan amal yang Dia ridhai.”
Ibnu Katsir juga menukil tafsir dari Ibnu Abbas, Mujahid, Atha’, Abu Wail, Al Hasan Al Bashri, Qotadah, dan As-Sudi, bahwa yang dimaksud “Carilah Al Wasilah…” adalah mendekatkan diri. (Tafsir Ibn Katsir surat Al Maidah ayat 35)
Ibnul Jauzi menyebutkan di antara tafsir yang lain untuk kalimat, “Carilah al Wasilah kepadaNya..” adalah carilah kecintaan dariNya. (Zaadul Masir, surat Al Maidah ayat 35).
Sementara Al Baidhawi mengatakan bahwa yang dimaksud: “carilah al wasilah kepadaNya…” adalah mencari sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendekatkan diri pada pahala yang Allah berikan dengan melakukan ketaatan dan meninggalkan maksiat.” (Tafsir Al Baidhawi “Anwarut Tanzil” untuk ayat di atas).

Mengingat keterbatasan tempat, hanya bisa dinukilkan beberapa pendapat dari kitab tafsir. Di samping itu, hampir semua ahli tafsir menyampaikan pendapat yang sama dengan empat kitab tafsir di atas ketika menafsirkan ayat tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa tafsir yang benar untuk firman Allah: “Carilah al wasilah kepadaNya…” adalah melakukan segala bentuk ketaatan yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah dan menjauhi segala perbuatan maksiat yang bisa menjauhkan diri kita kepada Allah.

Oleh karena itu, sangat tidak benar jika ayat ini dijadikan dalil untuk melakukan tawassul yang tidak disyari’atkan atau tawassul bid’ah. Lebih-lebih jika tawassul tersebut mengandung kesyirikan. Karena kita menyadari bahwa dua perbuatan di atas, nilainya adalah kemaksiatan kepada Allah. Maka siapa yang melakukan tawassul dengan tawassul bid’ah atau tawassul yang mengandung kesyirikan justru dia akan semakin jauh dari Allah. Bukannya dia semakin dicintai Allah tetapi malah justru mendatangkan murka Allah.

Tawassul yang disyari’atkan

Berdasarkan penjelasan tentang pengertian tawassul di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya setiap ketaatan dan sikap merendahkan diri di hadapan Allah dapat dijadikan sebagai bentuk tawassul. Namun di sana ada beberapa amal khusus yang disebutkan dalam dalil untuk dijadikan sebagai bentak bertawassul kepada Allah, di antaranya:

1) Melalui asmaul husna

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya …” (QS. Al A’raf: 180)
Berdasarkan ayat tersebut, dianjurkan bagi setiap yang hendak berdo’a untuk memuji Allah terlebih dahulu dengan menyebut nama-namaNya yang mulia dan disesuaikan dengan isi do’a. Misalnya do’a minta ampunan dan rahmat, maka dianjurkan untuk menyebut nama Allah: Al Ghafur Ar Rahiim.

2) Membaca shalawat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua do’a tertutupi (tidak bisa naik ke langit) sampai dibacakan shalawat untuk Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At Thabrani dalam Al Ausath dan dihasankan Al Albani)

3) Memilih waktu dan tempat mustajab

Ada beberapa waktu yang mustajab untuk berdo’a, di antaranya:
• Waktu antara adzan dan iqamah, berdasarkan hadits, “Do’a di antara adzan dan iqamah tidak ditolak, maka berdo’alah.” (HR. At Tirmidzi dan dishahihkan Al Albani)
• Di akhir shalat fardhu sebelum salam, berdasarkan riwayat ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Kapankah do’a seseorang itu paling didengar?” Beliau menjawab, “Tengah malam dan akhir shalat fardhu.” (HR. At Tirmidzi dan dihasankan Al Albani). Yang dimaksud “akhir shalat fardlu” adalah setelah tasyahud sebelum salam.
• Satu waktu di hari jum’at setelah ‘Ashar, berdasarkan hadits, “Hari jum’at itu ada 12 jam. Di antaranya ada satu waktu yang jika seorang muslim memohon kebaikan kepada Allah pada waktu tersebut pasti Allah beri. Cari waktu itu di akhir hari setelah ashar.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan Al Hakim dengan disetujui Ad Dzahabi)
Demikian sekelumit penjelasan tentang kesempatan yang baik untuk berdo’a. Masih terlalu banyak keterangan tentang waktu dan tempat yang mustajab untuk berdo’a yang tidak bisa dipaparkan pada kesempatan ini.

4) Meminta orang shaleh yang masih hidup untuk mendo’akannya

Karena keshalehan dan kedudukan manusia itu bertingkat-tingkat. Sehingga peluang terkabulkannya do’a seseorang juga bertingkat-tingkat sebanding dengan kedekatannya kepada Allah. Oleh karena itu, ada beberapa sahabat yang meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendo’akannya. Namun ada beberapa hal yang perlu untuk diingat terkait dengan meminta orang lain agar mendo’akannya:
• Hendaknya tidak dijadikan kebiasaan. Atau bahkan dijadikan sebagai ucapan latah ketika ketemu setiap orang. Sering dijumpai ada orang yang setiap ketemu orang lain pasti minta agar dido’akan. Bahkan yang lebih baik dalam hal ini adalah berusaha untuk berdo’a sendiri dan tidak menggantungkan diri dengan meminta orang lain. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakr As Siddiq radhiallahu ‘anhu yang tidak meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendo’akan dirinya.
• Do’a yang diminta bukan murni masalah dunia dan untuk kepentingan pribadinya. Semacam lulus tes, banyak rizqi, dan semacamnya. Jika do’a itu untuk kepentingan pribadinya maka selayaknya yang diminta adalah akhirat. Sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat dengan meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dirinya dimasukkan ke dalam surga. Atau, jika do’a itu isinya kepentingan dunia, maka selayaknya bukan untuk kepentingan pribadinya namun untuk kepentingan umum, semacam meminta hujan atau keamanan kampung.

5) Amal shaleh

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar seorang da’i yang mengajak untuk beriman kepada Engkau lalu kami beriman…” (QS. Ali Imran: 193).
Pada ayat di atas Allah mengajarkan salah satu cara bertawassul ketika berdo’a, dengan menyebutkan amal shalih yang paling besar nilainya, yaitu memenuhi panggilan dakwah seorang nabi untuk beriman kepada Allah.

Masih banyak bentuk-bentuk tawasul lainnya yang disyari’atkan, namun mengingat keterbatasan tempat tidak bisa disebutkan. Secara ringkas, tawassul yang disyariatkan dapat dikelompokkan menjadi tiga:
• Tawassul dengan memuji Allah sambil menyebut asma’ul husna
• Tawassul dengan meminta orang shaleh yang masih hidup untuk mendo’akannya
• Tawassul dengan amal shaleh. Membaca shalawat, memilih waktu yang mustajab, dan semacamnya tercakup dalam amal shaleh.

Tawassul yang terlarang

Tawassul yang terlarang adalah menggunakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu yang tidak dijelaskan oleh syari’at. Tawassul yang terlarang dapat dikelompokkan menjadi dua macam:

a) Bertawassul dengan sesuatu yang tidak dijelaskan oleh syariat.

Tawassul jenis ini adalah tawassul yang terlarang, bahkan terkadang menyebabkan timbulnya perbuatan syirik. Misalnya seseorang bertawassul dengan kedudukan (jaah) Nabi ‘alaihis shalatu was salam atau kedudukan orang-orang shaleh di sisi Allah. Karena tawassul semacam ini berarti telah menetapkan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah yang tidak ada dasarnya dalam syariat. Karena kedudukan siapa pun di sisi Allah itu tidak mempengaruhi terkabulnya doa orang lain yang menggunakannya sebagai sarana tawassul. Kedudukan hanya bermanfaat bagi pemiliknya bukan orang lain. Kedudukan Nabi ‘alaihis shalatu was salam di sisi Allah hanya bermanfaat bagi do’a beliau saja dan bukan do’a orang lain. Maka do’a kita tidaklah menjadi cepat terkabul hanya gara-gara kita menyebut kedudukan Nabi ‘alaihis shalatu was salam atau orang shaleh.

Di antara bentuk tawassul semacam ini adalah tawassul yang dilakukan sebagian kaum muslimin pada saat membaca shalawat Badr. Dalam shalawat ini terdapat kalimat, yang artinya: “Kami bertawasul dengan sang pemberi petunjuk, Rasulullah dan setiap orang yang berjihad di jalan Allah, yaitu pasukan perang badar.”
Para ulama menjelaskan bahwa tawassul model semacam ini memiliki dua hukum:
[Pertama] Hukumnya bid’ah, karena tawassul termasuk salah satu bentuk ibadah. Sementara bentuk tawassul dengan cara ini belum pernah dipraktekkan di zaman Nabi ‘alaihis shalatu wa sallam dan para sahabat.
[Kedua] Jika diyakini dengan menggunakan tawassul jenis ini menyebabkan do’anya menjadi cepat terkabul maka hukumnya syirik kecil. Karena orang yang menggunakan kedudukan orang lain di sisi Allah berarti menjadikan sebab tercapainya sesuatu yang pada hakekatnya itu bukan sebab. Pendek kata, tawassul ini termasuk kedustaan atas nama syari’at.
Namun, jika bertawassul dengan menyebut nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi maksudnya adalah untuk menunjukkan keimanannya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti ini dibolehkan. Karena ini termasuk bertawasul dengan amal shaleh yaitu beriman kepada nabi.

b) Tawassul dengan ruh orang shaleh, jin, dan malaikat

Tawassul jenis kedua ini adalah model tawassul yang dilakukan oleh orang-orang musyrik jahiliyah. Mereka meng-agung-kan berhala, kuburan, petilasan orang-orang shaleh karena mereka yakin bahwa ruh orang shaleh tersebut akan menyampaikan do’anya kepada Allah ta’ala. Bahkan bentuk tawassul semacam ini merupakan bentuk kesyirikan yang pertama kali muncul di muka bumi. Kesyirikan yang terjadi pada kaumnya Nabi Nuh ‘alaihi salam. Sebagaimana keterangan Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma ketika menjelaskan awal terjadinya kesyirikan di saat beliau menafsirkan surat Al Baqarah ayat 213. Ibnu Abbas mengatakan, “Jarak antara Adam dan Nuh ada 10 abad. Semua manusia berada di atas syariat yang benar (syariat tauhid). Kemudian mereka berselisih (dalam aqidah). Akhirnya Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi peringatan.”

Ibnu Abbas juga memberi keterangan tentang nama-nama sesembahan kaum Nuh, Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nashr, Ibnu Abbas mengatakan, “Mereka adalah orang-orang shaleh di zaman Nuh. Ketika mereka mati, setan membisikkan kaum Nuh untuk memasang batu prasasti di tempat ibadahnya orang-orang shaleh tersebut dan diberi nama dengan nama mereka masing-masing. Kemudian mereka melaksanakannya namun batu itu belum disembah. Sampai ketika generasi ini (kelompok yang memasang batu) telah meninggal dan generasi berikutnya tidak tahu asal mula batu itu, akhirnya batu itu disembah.”

Demikian pula, kesyirikan yang dilakukan kaum musyrikin jahiliyah. Mereka meyakini bahwa Lata, Uzza, Manat, Hubal, malaikat, jin dan beberapa sesembahan lainnya adalah orang-orang shaleh yang akan mendekatkan diri mereka kepada Allah. Allah menceritakan jawaban mereka ketika didakwahi untuk meninggalkan perbuatan tersebut:
Orang-orang musyrikin mengatakan (yang artinya), “Mereka semua (ruh orang shaleh itu) adalah para pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18)
Orang-orang musyrikin mengatakan (yang artinya), “Tidaklah kami beribadah kepada mereka kecuali agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah lebih dekat lagi.” (QS. Az Zumar:3)

Artinya orang musyrik tersebut masih meyakini bahwa yang berkuasa mengabulkan do’a adalah Allah. Sedangkan orang-orang shaleh tersebut hanyalah sarana mereka untuk berdo’a.
Berdasarkan keterangan dari dua ayat di atas, ada satu hal penting yang perlu dicatat bahwasanya menjadikan ruh orang shaleh sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah termasuk di antara bentuk beribadah kepada selain Allah yang nilainya syirik besar dan menyebabkan pelakunya menjadi kafir.

Tanya Jawab

• Kita adalah orang kecil yang kedudukannya jauh dari Allah. Maka kita tidak layak meminta langsung kepada Allah. Sebagaimana rakyat ketika mau meminta raja maka selayaknya tidak langsung meminta namun melalui menterinya atau orang yang dekat dengan raja.
Jawab: Orang yang memiliki keyakinan semacam ini berarti menyamakan antara Allah yang Maha Pemurah dan Maha Mengetahui dengan seorang raja yang pelit dan buta dengan keadaan rakyatnya. Maha suci Allah terhadap sikap mereka yang melecehkan ke-Tinggi-an dan ke-Agung-an Allah.

• Manusia semacam kita banyak berlumuran dosa, maka tidak pantas meminta langsung kepada Allah. Namun selayaknya melalui perantara wali Allah baik dari kalangan Malaikat, jin, dan manusia.
Jawab: Pemahaman semacam inilah yang menyebabkan orang-orang jahiliyah tidak mau berdo’a langsung kepada Allah, tetapi melalui perantara ruh-ruh orang shaleh yang mereka wujudkan dalam bentuk prasasti. Bahkan mereka sama sekali tidak mau beribadah kepada Allah dengan menggunakan sarana dari hasil yang haram. Di antara bukti hal ini adalah:

Pertama, sikap mereka ketika mau membangun ka’bah yang roboh akibat banjir. Kita kenal bahwa umumnya orang kafir Quraisy adalah para saudagar kaya. Namun hasil kekayaan mereka bercampur antara yang halal dan yang haram. Ketika mereka hendak merenovasi ka’bah mereka iuran dengan harta yang diyakini murni 100% halal. Karena harta yang halal itu terbatas maka dana yang terkumpul kurang. Sehingga mereka tidak bisa merampungkan bangunan ka’bah sebagaimana sedia kala. Masih ada bagian yang belum dibangun dan kemudian mereka tandai dengan Hijr (orang mengenalnya dengan hijr Ismail).

Kedua, orang jazirah arab yang bukan penduduk Mekah tidak mau thawaf di ka’bah dengan pakaian mereka yang sudah digunakan ketika melakukan maksiat. Mereka hanya bisa thawaf dengan pakaian asli dari penduduk mekah atau kalau tidak mereka harus thawaf sambil telanjang.

Meskipun demikian, Allah menilai sikap mereka ketika berdo’a dengan ber-tawassul melalui ruh orang shaleh sebagai bentuk kesyirikan. Mungkinkah kita namakan perbuatan ini bukan syirik? Ketentuan siapakah yang lebih baik, Allah ataukah kita? [Ammi Nur Baits]

KISAH TAUBATNYA SEORANG KIYAI NU

“Terus terang, sampai diusia +35 tahun saya ini termasuk Kyai Ahli Bid’ah yang tentunya doyan tawassul kepada mayat atau penghuni kubur, sering juga bertabarruk dengan kubur sang wali atau Kyai. Bahkan sering dipercaya untuk memimpin ziarah Wali Songo dan juga tempat-tempat yang dianggap keramat sekaligus menjadi imam tahlilan, ngalap berkah kubur, marhabanan atau baca barzanji, diba’an, maulidan, haul dan selamatan yang sudah berbau kesyirikan”

“Kita dulu enjoy saja melakukan kesyirikan, mungkin karena belum tahu pengertian tauhid yang sebenarnya” (Kyai Afrokhi dalam Buku Putih Kyai NU hal. 90)

“Kita biasa melakukan ziarah ngalap berkah sekaligus kirim pahala bacaan kepada penghuni kubur/mayit. Sebenarnya, hal tersebut atas dasar kebodohan kita. Bagaimana tidak, contohnya adalah saya sendiri di kala masih berumur 12 tahun sudah mulai melakukan ziarah ngalap berkah dan kirim pahala bacaan, dan waktu itu saya belum tahu ilmu sama sekali, yang ada hanya taklid buta. Saat itu saya hanya melihat banyak orang yang melakukan, dan bahkan banyak juga kyai yang mengamalkannya. Hingga saya menduga dan beranggapan bahwa hal itu adalah suatu kebenaran.” (Kyai Afrokhi dalam Buku Putih Kyai NU hal. 210)

Beliau adalah Kyai Afrokhi Abdul Ghoni, pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren “Rahmatullah”. Nama beliau tidak hanya dibicarakan oleh teman-teman dari Kediri saja, namun juga banyak diperbincangkan oleh teman-teman pengajian di Surabaya, Gresik, Malang dan Ponorogo.

Keberanian beliau dalam menantang arus budaya para kyai yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih yang telah berurat berakar dalam lingkungan pesantrennya, sikap penentangan beliau terhadap arus kyai itu bukan berlandaskan apriori belaka, bukan pula didasari oleh rasa kebencian kepada suatu golongan, emosi atau dendam, namun merupakan Kehendak, Hidayah dan Taufiq dari Allah ta’ala.

Kyai Afrokhi hanya sekedar menyampaikan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mengatakan yang haq adalah haq dan yang batil adalah batil. namun, usaha beliau itu dianggap sebagai sebuah makar terhadap ajaran Nahdhatul Ulama (NU), sehingga beliau layak dikeluarkan dari keanggotaan NU secara sepihak tanpa mengklarifikasikan permasalahan itu kepada beliau.

Kyai Afrokhi tidak mengetahui adanya pemecatan dirinya dari keanggotaan NU. Beliau mengetahui hal itu dari para tetangga dan kerabatnya. Seandainya para Kyai, Gus dan Habib itu tidak hanya mengedepankan egonya, kemudian mereka mau bermusyawarah dan mau mendengarkan permasalahan ajaran agama ini, kemudian mempertanyakan kenapa beliau sampai berbuat demikian, beliau tentu bisa menjelaskan permasalahan agama ini dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih yang harus benar-benar diajarkan kepada para santri serta umat pada umumnya.

Seandainya para Kyai itu mau mengkaji kembali ajaran dan tradisi budaya yang berurat berakar yang telah dikritisi dan digugat oleh banyak pihak. Bukan hanya oleh Kyai Afrokhi sendiri, namun juga dari para ulama tanah haram juga telah menggugat dan mengkritisi penyakit kronis dalam aqidah NU yang telah mengakar mengurat kepada para santri dan masyarakat. Jika mereka itu mau mendengarkan perkataan para ulama itu, tentunya penyakit-penyakit kronis yang ada dalam tubuh NU akan bisa terobati. Aqidah umatnya akan terselamatkan dari penyakit TBC (Tahayul, Bid’ah, Churofat). Sehingga Kyai-kyai NU, habib, Gus serta asatidznya lebih dewasa jika ada orang yang mau dengan ikhlas menunjukkan kesesatan yang ada dalam ajaran NU dan yang telah banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah dan para sahabatnya. Maka, Insya Allah, NU khususnya dan para ‘alim NU pada umumnya akan menjadi barometer keagamaan dan keilmuan. ‘Alimnya yang berbasis kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, yang sesuai dengan misi NU itu sendiri sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah, sehingga para ‘alim serta Kyai yang duduk pada kelembagaannya berhak menyandang predikat sebagai pewaris para Nabi.

Namun sayang, dakwah yang disampaikan oleh Kyai Afrokhi dipandang sebelah mata oleh para Kyai NU setempat. Mereka juga meragukan keloyalan beliau terhadap ajaran NU. Dengan demikian, beliau harus menerima konsekuensi berupa pemecatan dari kepengurusan keanggotaannya sebagai a’wan NU Kandangan, Kediri, sekaligus dikucilkan dari lingkungan para kyai dan lingkungan pesantren. Mereka semua memboikot aktivitas dakwah Kyai Afrokhi.

Walaupun beliau mendapat perlakuan yang demikian, beliau tetap menyikapinya dengan ketenangan jiwa yang nampak terpancar dari dalam dirinya.

Siapakah yang berani menempuh jalan seperti jalan yang ditempuh oleh Kyai Afrokhi, yang penuh cobaan dan cobaan? Atau Kyai mana yang ingin senasib dengan beliau yang tiba-tiba dikucilkan oleh komunitasnya karena meninggalkan ajaran-ajaran tradisi yang tidak sesuai dengan syari’at Islam yang haq? Kalau bukan karena panggilan iman, kalau bukan karena pertolongan dari Allah niscaya kita tidak akan mampu.

Kyai Afrokhi adalah sosok yang kuat. Beliau menentang arus orang-orang yang bergelar sama dengan gelar beliau. yakni Kyai. Di saat banyak para Kyai yang bergelimang dalam kesyirikan, kebid’ahan dan tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang haq, di saat itulah beliau tersadar dan menantang arus yang ada. Itulah jalan hidup yang penuh cobaan dan ujian.

Bagi Kyai Afrokhi untuk apa kewibawaan dan penghormatan tersandang, harta melimpah serta jabatan terpikul, namun murka Allah dekat dengannya, dan Allah tidak akan menolongnya di hari tidak bermanfaat harta dan anak-anak. Beliau lebih memilih jalan keselamatan dengan meninggalkan tradisi yang selama ini beliau gandrungi.

Inilah fenomena kyai yang telah bertaubat kepada Allah dari ajaran-ajaran syirik, bid’ah dan kufur. Walaupun Kyai Afrokhi ditinggalkan oleh para kyai ahli bid’ah, jama’ah serta santri beliau, ketegaran dan ketenangan beliau dalam menghadapi realita hidup begitu nampak dalam perilakunya. Dengan tawadhu’ serta penuh tawakkal kepada Allah, beliau mampu mengatasi permasalahan hidup.

Pernyataan taubat Kyai Afrokhi:

“Untuk itulah buku ini saya susun sebagai koreksi total atas kekeliruan yang saya amalkan dan sekaligus merupakan permohonan maaf saya kepada warga Nahdhatul Ulama (NU) dimanapun berada yang merasa saya sesatkan dalam kebid’ahan Marhabanan, baca barzanji atau diba’an, maulidan, haul dan selamatan dari alif sampai ya` yang sudah berbau kesyirikan dan juga sebagai wujud pertaubatan saya. Semoga Allah senantiasa menerima taubat dan mengampuni segala dosa-dosa saya yang lalu (Amin ya robbal ‘alamin)”

(Dinukil dan diketik ulang dengan gubahan seperlunya dari buku “Buku Putih Kyai NU” oleh Kyai Afrokhi Abdul Ghoni, Pendiri dan Pengasuh Ponpes Rohmatulloh-Kediri-, mantan A’wan Syuriah MWC NU Kandangan Kediri)

catatan: Note ini ditulis hanya semata-mata sebagai nasehat, bukan karena ada alasan sentimen atau kebencian terhadap sebuah kelompok. Silahkan nukil dan share serta pergunakan untuk kebutuhan dakwah ilalloh.

-Abu Shofiyah Aqil Azizi- jazahullah khairan

Artikel www.muslim.or.id

YA ALLOH LINDUNGILAH HAMBA DARI AZAB NERAKA

Wahai saudaraku, semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa mencurahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita, ketahuilah…!!!, bahwa Al Jannah (surga) adalah tempat tinggal yang kekal, penuh dengan kenikmatan yang lezat yang tidak bisa dibandingkan dengan segala kenikmatan yang ada di dunia. Itulah negeri yang hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang bertaqwa kepada Allah subhanahu wata’ala. Bagi yang tidak diizinkan memasukinya maka tiada tempat lagi baginya kecuali an naar (neraka). Suatu tempat tinggal yang penuh dengan kengerian yang tidak bisa digambarkan dengan kengerian di dunia. Sejelek-jeleknya tempat tinggal dan seburuk-buruknya tempat kembali.
Itulah tempat tinggal yang bakal dihuni oleh orang-orang yang tidak mau tunduk dan taat kepada Allah subhanahu wata’ala dan itulah tempat kembali bagi orang-orang yang enggan terhadap petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Bicara tentang negeri akhirat merupakan topik yang seharusnya dijadikan headline (kajian utama) bagi orang-orang yang beriman tentang hari akhir. Suatu kajian yang akan melembutkan hati, menundukkan pandangan, meneteskan air mata dan meredam hawa nafsu. Menjadikan sedikit ketawa dan canda. Mengingatkan tentang ajal (maut) yang datang secara tiba-tiba. Tidak membedakan tua dan muda. Sudahkah kita siap mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan yang kita lakukan di hari kiamat kelak? Inilah sebuah pertanyaan yang besar. Sebuah pertanyaan yang mesti membutuhkan jawaban. Maka siapkanlah jawabannya sebelum nanti ditanya di hari kiamat kelak!!! Ya, Allah selamatkanlah kami dari pedihnya adzab neraka!!!
Dari shahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian melihat apa yang aku lihat, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Para shahabat bertanya: “Apa yang engkau lihat ya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Saya melihat Al Jannah dan An Naar.” (HR. Muslim Kitab Sholat no. 426)
Edisi kali ini akan menyajikan topik yang berkaitan dengan sifat-sifat An Naar. Dengan harapan dapat menambah rasa takut kita kepada Allah subhanahu wata’ala. Mendorong untuk berlomba-lomba memperbanyak amal kebajikan. Tiada benteng yang mampu menahan dahsyatnya api neraka melaikan benteng dari amal kebajikan.
Luas An Naar
An Naar (neraka) memiliki area yang amat luas yang daya tampungnya tidak akan penuh meskipun dimasuki oleh orang–orang durhaka sejak zaman Nabi Adam sampai hari kiamat. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Pada hari itu Kami bertanya kepada Jahannam: “Apakah kamu sudah penuh?” Jahannam menjawab: “Masihkah ada tambahan?” (Qoof: 30)
Ayat di atas menggambarkan betapa luas dan besarnya Jahannam itu. Meskipun Jahannam dilempari dari seluruh jin dan manusia (yang durhaka) dari masa nabi Adam sampai hari kiamat nanti, namun belum bisa memenuhinya.
Kedalaman An Naar
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan tentang dalamnya An Naar dalam sebuah hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Kami pernah bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba kami mendengar sesuatu yang jatuh, lalu beliau bersabda: “Tahukah kalian apakah itu?” Kami (para shahabat) menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Ini adalah sebuah batu yang dilemparkan dari atas An Naar sejak tujuh puluh tahun yang lalu, sekarang batu itu baru sampai di dasarnya.” (HR. Muslim no. 2844)
Masyaa Allah, betapa dalamnya An Naar!?!, sebuah batu yang dilemparkan dari tepi jurang/bibir An Naar, baru sampai ke dasarnya setelah 70 puluh tahun lamanya. Maka, jarak kedalaman An Naar itu hanya Allah subhanahu wata’ala lah yang tahu.
Pintu Jahannam
An Naar memiliki 7 pintu yang akan dilewati dari pintu-pintu tersebut oleh para penghuni neraka sesuai dengan kadar dosa dan maksiat yang mereka lakukan di dunia. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Dan Sesungguhnya Jahannam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (pengekor-pengekor setan) semuanya. Jahannam itu mempunyai tujuh pintu, tiap-tiap pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang tertentu dari mereka.” (Al Hijr: 43-44)
Belenggu An Naar
Allah subhanahu wata’ala juga menyediakan belenggu-belenggu yang sangat berat dan menyiksa. Sehingga para penghuni An Naar itu tidak bisa lari dan berkutik. Siap merasakan hukuman dan siksaan. Allah berfirman (artinya): “Karena sesungguhnya pada sisi kami ada belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang menyala-nyala.” (Al Muzammil: 12)
“Dan kamu akan melihat orang-orang yang berdosa pada hari itu diikat bersama-sama dengan belenggu.” (Ibrahim : 49)
Penjaga An Naar
Allah subhanahu wata’ala juga telah menyiapkan algojo yang siap mengawasi dan menyiksa para penghuni An Naar. Allah memilih algojo (penjaga) itu dari kalangan malaikat. Allah berfirman (artinya):
“Dan tiada Kami jadikan penjaga An Naar melainkan dari malaikat.” (Al Mudatstsir: 31)
Panas An Naar
Para pembaca yang semoga Allah subhanahu wata’ala tetap melimpahkan rahmat-Nya kepada kita, bahwa An Naar (neraka) itu adalah suatu tempat tinggal yang memiliki daya panas yang dahsyat. Kadar terpanas yang ada di dunia itu belum seberapa dibanding dengan panasnya api neraka. Allah berfirman (artinya):
“Maka, Kami akan memperingatkan kamu dengan An Naar yang menyala-nyala.” (Al Lail : 14)
Bagaimana gambaran dahsyatnya api neraka yang telah Allah subhanahu wata’ala sediakan itu? Hal itu telah digambarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadist yang diriwayatkan shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
“(Panasnya) api yang kalian (Bani Adam) nyalakan di dunia ini merupakan sebagian dari tujuh puluh bagian panasnya api neraka Jahannam.” Para sahabat bertanya: “Demi Allah, apakah itu sudah cukup wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “(Belum), sesungguhnya panasnya sebagian yang satu melebihi sebagian yang lainnya sebanyak enam puluh kali lipat.” (HR. Muslim no. 2843)
Api neraka itu juga melontarkan bunga-bunga api. Seberapa besar dan bagaimana warna bunga api tersebut? Allah subhanahu wata’ala telah gambarkan hal tersebut dalam surat Al Mursalat: 32-33 (artinya): “Sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi istana. Seolah-olah seperti iringan unta yang kuning.”
Berkata Asy Syaikh As Sa’di dalam tafsir ayat ini: “Sesungguhnya api neraka itu hitam mengerikan dan sangat panas.” (Lihat Taisirul Karimir Rahman)
Bagaimana dengan suara api neraka itu?
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Apabila An Naar melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara yang menyala-nyala.” (Al Furqon : 12)
Berkata As Sa’di dalam tafsirnya: “Sebelum orang-orang penghuni sampai ke An Naar, dari jauh mereka sudah mendengar kengerian suaranya yang menggoncangkan dan menyempitkan hati, hampir-hampir seorang dari mereka mati karena ketakutan dengan suaranya. Sungguh api neraka itu murka kepada mereka karena kemurkaan Allah. Dan semakin bertambah murkanya disebabkan semakin besar kekufuran dan kedurhakaan mereka kepada Allah. (Lihat Taisirul Karimir Rahman)

Lalu dari bahan bakar apakah yang dengannya Allah subhanahu wata’ala menjadikan api neraka itu dahsyat dan bersuara yang mengerikan? Ketahuilah, untuk menunjukkan semakin ngerinya dan pedihnya siksaan di neraka, maka Allah subhanahu wata’ala jadikan bahan bakar api neraka itu dari manusia dan batu. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Jagalah dirimu dari (lahapan api) neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Al Baqarah: 24)
Makanan Dan Minuman Penghui An Naar
Apakah para penghuni jahannam juga mendapatkan hidangan makan dan minuman? Ya, tapi tidak seperti penjara di dunia yang masih menaruh belas kasih. Penjara di akhirat itu adalah tempat siksaan diatas siksaan dan kepedihan diatas kepedihan. Makanan dan minuman yang dihidangkan pun sebagai bentuk adzab dan siksaan.
a. Makanan Yang Berduri
Allah berfirman (artinya):
“Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan rasa lapar.” (Al Ghasiyah: 6-7)
“Dan makanan yang menyumbat di kerongkongan dan azab yang pedih.” Al Muzammil: 13
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menjelaskan tentang ayat diatas: Bahwa “makanan yang menyumbat di kerongkongan” itu adalah duri yang nyangkut di kerongkongan yang tidak bisa masuk dan tidak pula keluar. Sehingga makanan itu hanya akan menambah kepedihan dan kesengsaraan.
b. Pohon Zaqqum
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Sesungguhnya kalian wahai orang-orang yang sesat lagi mendustakan, kalian benar-benar akan memakan pohon zaqqum. Dan kalian akan memenuhi perutmu dengannya.” (Al Waqi’ah: 51-53)
Apakah pohon zaqquum itu? Apakah pohon itu enak lagi lezat? Tentu tidak, justru pohon itu hanya akan menambah kepedihan dan kesengsaraan pula.
Allah subhanahu wata’ala mensifati lebih lanjut tentang pohon zaqqum dalam ayat lainnya (artinya): “Sesungguhnya dia adalah sebatang pohon yang keluar dari dasar neraka jahim. Mayangnya seperti kepala syaitan-syaitan. Maka sesungguhnya mereka benar-benar memakan sebagian dari buah pohon itu. Maka mereka memenuhi perutnya dengan buah zaqqum tersebut.” (Ash Shaffat : 64-66)
Tatkala para penghuni neraka haus karena terbakar. Maka Allah subhanahu wata’ala sudah siapkan hidangan minuman bagi mereka yang akan menambah pedih siksaan mereka. Minuman berupa nanah dan air panas yang dapat memotong usus-usus mereka. Allah berfirman (artinya): “Kemudian sesudah makan buah pohon zaqqum itu pasti mereka mendapat minuman yang bercampur dengan air yang sangat panas..” (Ash Shaffat: 67-68)
“… dan mereka diberi minuman air yang mendidih sehingga memotong usus-usus mereka.” (Muhammad: 15)
“Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah.” An Naba’ : 24-25
Pakaian Penghuni An Naar
Mereka juga akan dikenakan pakaian. Tentu pakaian itu tidak dibuat untuk kenyamanan. Justru pakaian itu sengaja disiapkan untuk menambah kesengsaraan bagi para penghuni nereka. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pakaian mereka adalah dari pelangkin (ter) dan muka mereka ditutup oleh api neraka.” (Ibrahim : 50)
“Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka…,”
(Al Haj : 19)
Tempat Tidur Penghuni An Naar
Demikian juga mereka telah disiapkan tempat tidur dan selimut. Yang sengaja dibuat untuk menambah kepedihan adzab bagi mereka. Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Mereka mempunyai tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang zhalim.” (Al A’raf: 41)
Pembaca yang dimuliakan Allah, setelah kita mengetahui kengerian dahsyatnya adzab neraka, maka banyak-banyaklah kita berdo’a, bertaubat dan beramal shalih. Karena Allah dengan rahmat-Nya hanya akan menyelamatkan hamba-hamba-Nya yang bertaqwa kepada-Nya dan takut dari adzab neraka. Yatiu dengan melaksakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi laranga-larangan-Nya. Ya Allah, tunjukilah kami ke dalam jalan-Mu yang lurus yang menghantarkan ke dalam Al Jannah (surga) dan jauhkanlah kami dari jalan-jalan yang menghantarkan ke dalam api neraka.!!! Amiin, Ya Rabbal alamiin.

TAHLILAN DALAM TIMBANGAN ISLAM

Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata’ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.
Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.
Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.
Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.
Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah berfirman (artinya):
“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)
Historis Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.
Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:
Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.
1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)
Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
Fal Ashlu fil 'Ibadaati Al-Buthlani hatta yaquma dalilun 'alal amr
“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:
“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).
Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?
Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:
“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.

HUKUM ISBAL (KAIN YG BERADA DIBAWAH MATA KAKI)

Celana di atas mata kaki juga adalah merupakan sunnah dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dikhususkan bagi laki-laki, sedangkan wanita diperintahkan untuk menutup telapak kakinya. Kita dapat melihat bahwa pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berada di atas mata kaki sebagaimana dalam keseharian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Dari Al Asy’ats bin Sulaim, ia berkata:

سَمِعْتُ عَمَّتِي، تُحَدِّثُ عَنْ عَمِّهَا قَالَ: بَيْنَا أَنَا أَمْشِي بِالمَدِيْنَةِ، إِذَا إِنْسَانٌ خَلْفِي يَقُوْلُ: « اِرْفَعْ إِزَارَكَ، فَإِنَّهُ أَنْقَى» فَإِذَا هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّمَا هِيَ بُرْدَةٌ مَلْحَاءُ) قَالَ: « أَمَّا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ ؟ » فَنَظَرْتُ فَإِذَا إِزَارَهُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ

Saya pernah mendengar bibi saya menceritakan dari pamannya yang berkata, “Ketika saya sedang berjalan di kota Al Madinah, tiba-tiba seorang laki-laki di belakangku berkata, ‘Angkat kainmu, karena itu akan lebih bersih.’ Ternyata orang yang berbicara itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata, “Sesungguhnya yang kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yang bergaris-garis hitam dan putih”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai teladan?” Aku melihat kain sarung beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Muhammadiyyah, hal. 69, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Beliau katakan hadits ini shohih)

Dari Hudzaifah bin Al Yaman, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang salah satu atau kedua betisnya. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« هَذَا مَوْضِعُ الإِزَارِ فَإِنْ أَبِيْتَ فَأَسْفَلَ فَإِنْ أَبِيْتَ فَلاَ حَقَّ لِلإِْزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ »

“Di sinilah letak ujung kain. Kalau engkau tidak suka, bisa lebih rendah lagi. Kalau tidak suka juga, boleh lebih rendah lagi, akan tetapi tidak dibenarkan kain tersebut menutupi mata kaki.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Al Muhammadiyyah, hal.70, Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shohih)

Dari dua hadits ini terlihat bahwa celana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berada di atas mata kaki sampai pertengahan betis.

Bagaimana hukum menjulurkan celana hingga di bawah mata kaki? Lihatlah hadits-hadits yang kami bawakan berikut ini yang sengaja kami bagi menjadi dua bagian. Hal ini sebagaimana kami ikuti dari pembagian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’ pada Bab Satrul ‘Awrot.

1. Menjulurkan celana di bawah mata kaki dengan sombong

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ »

“Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaiannya dalam keadaan sombong.” (HR. Muslim no. 5574).

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِنَّ الَّذِى يَجُرُّ ثِيَابَهُ مِنَ الْخُيَلاَءِ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »

“Sesungguhnya orang yang menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 5576)

Masih banyak lafazh yang serupa dengan dua hadits di atas dalam Shahih Muslim.

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ »

“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat nanti, tidak dipandang, dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan yang pedih.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tiga kali perkataan ini. Lalu Abu Dzar berkata,

« خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ »

“Mereka sangat celaka dan merugi. Siapa mereka, Ya Rasulullah?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

« الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ »

“Mereka adalah orang yang isbal, orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim no. 306). Orang yang isbal (musbil) adalah orang yang menjulurkan pakaian atau celananya di bawah mata kaki.

2. Menjulurkan celana di bawah mata kaki tanpa sombong

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِى النَّارِ »

“Kain yang berada di bawah mata kaki itu berada di neraka.” (HR. Bukhari no. 5787)

Dari hadits-hadits di atas terdapat dua bentuk menjulurkan celana dan masing-masing memiliki konsekuensi yang berbeda. Kasus yang pertama -sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu Umar di atas- yaitu menjulurkan celana di bawah mata kaki (isbal) dengan sombong. Hukuman untuk kasus pertama ini sangat berat yaitu Allah tidak akan berbicara dengannya, juga tidak akan melihatnya dan tidak akan disucikan serta baginya azab (siksaan) yang pedih. Bentuk pertama ini termasuk dosa besar.

Kasus yang kedua adalah apabila seseorang menjulurkan celananya tanpa sombong. Maka ini juga dikhawatirkan termasuk dosa besar karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam perbuatan semacam ini dengan neraka.

Perhatikan bahwasanya hukum di antara dua kasus ini berbeda. Tidak bisa kita membawa hadits muthlaq dari Abu Hurairah pada kasus kedua ke hadits muqoyyad dari Ibnu Umar pada kasus pertama karena hukum masing-masing berbeda. Bahkan ada sebuah hadits dari Abu Sa’id Al Khudri yang menjelaskan dua kasus ini sekaligus dan membedakan hukum masing-masing. Lihatlah hadits yang dimaksud sebagai berikut.

« إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَلاَ حَرَجَ – أَوْ لاَ جُنَاحَ – فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِى النَّارِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ »

“Pakaian seorang muslim adalah hingga setengah betis. Tidaklah mengapa jika diturunkan antara setengah betis dan dua mata kaki. Jika pakaian tersebut berada di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka. Dan apabila pakaian itu diseret dalam keadaan sombong, Allah tidak akan melihat kepadanya (pada hari kiamat nanti).” (HR. Abu Daud no. 4095. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Al Jami’ Ash Shogir, 921)

Jika kita perhatikan dalam hadits ini, terlihat bahwa hukum untuk kasus pertama dan kedua berbeda.

Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa jika menjulurkan celana tanpa sombong maka hukumnya makruh karena menganggap bahwa hadits Abu Hurairah pada kasus kedua dapat dibawa ke hadits Ibnu Umar pada kasus pertama. Maka berarti yang dimaksudkan dengan menjulurkan celana di bawah mata kaki sehingga mendapat ancaman (siksaan) adalah yang menjulurkan celananya dengan sombong. Jika tidak dilakukan dengan sombong, hukumnya makruh. Hal inilah yang dipilih oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan Riyadhus Shalihin, juga merupakan pendapat Imam Syafi’i serta pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Abdullah Ali Bassam di Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom -semoga Allah merahmati mereka-.

Namun, pendapat ini kurang tepat. Jika kita melihat dari hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwa hukum masing-masing kasus berbeda. Jika hal ini dilakukan dengan sombong, hukumannya sendiri. Jika dilakukan tidak dengan sombong, maka kembali ke hadits mutlak yang menunjukkan adanya ancaman neraka. Bahkan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri dibedakan hukum di antara dua kasus ini.

Sedikit Kerancuan

Lalu bagaimana jika ada yang berdalil dengan perbuatan Abu Bakr di mana Abu Bakr dahulu pernah menjulurkan celana hingga di bawah mata kaki?

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah mendapat pertanyaan semacam ini, lalu beliau memberikan jawaban sebagai berikut.

Adapun yang berdalil dengan hadits Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, maka kami katakan tidak ada baginya hujjah (pembela atau dalil) ditinjau dari dua sisi.

Pertama, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Sesungguhnya salah satu ujung sarungku biasa melorot kecuali jika aku menjaga dengan seksama.” Maka ini bukan berarti dia melorotkan (menjulurkan) sarungnya karena kemauan dia. Namun sarungnya tersebut melorot dan selalu dijaga. Orang-orang yang isbal (menjulurkan celana hingga di bawah mata kaki -pen) biasa menganggap bahwa mereka tidaklah menjulurkan pakaian mereka karena maksud sombong. Kami katakan kepada orang semacam ini: Jika kalian maksudkan menjulurkan celana hingga berada di bawah mata kaki tanpa bermaksud sombong, maka bagian yang melorot tersebut akan disiksa di neraka. Namun jika kalian menjulurkan celana tersebut dengan sombong, maka kalian akan disiksa dengan azab (siksaan) yang lebih pedih daripada itu yaitu Allah tidak akan berbicara dengan kalian pada hari kiamat, tidak akan melihat kalian, tidak akan menyucikan kalian dan bagi kalian siksaan yang pedih.

Kedua, Sesungguhnya Abu Bakr sudah diberi tazkiyah (rekomendasi atau penilaian baik) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sudah diakui bahwa Abu Bakr tidaklah melakukannya karena sombong. Lalu apakah di antara mereka yang berperilaku seperti di atas (dengan menjulurkan celana dan tidak bermaksud sombong -pen) sudah mendapatkan tazkiyah dan syahadah (rekomendasi)?! Akan tetapi setan membuka jalan untuk sebagian orang agar mengikuti ayat atau hadits yang samar (dalam pandangan mereka -pen) lalu ayat atau hadits tersebut digunakan untuk membenarkan apa yang mereka lakukan. Allah-lah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus kepada siapa yang Allah kehendaki. Kita memohon kepada Allah agar mendapatkan petunjuk dan ampunan. (Lihat Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, Darul Aqidah, hal. 547-548).

Sebagai penutup dari pembahasan isbal ini, kami akan membawakan sebuah kisah yang menceritakan sangat perhatiannya salaf (sahabat) dengan masalah ini, sampai-sampai di ujung kematian masih memperingatkan hal ini.

Dalam shohih Bukhari dan shohih Ibnu Hibban, dikisahkan mengenai kematian Umar bin Al Khaththab setelah dibunuh seseorang ketika shalat. Lalu orang-orang mendatanginya di saat menjelang kematiannya. Lalu datanglah pula seorang pemuda. Setelah Umar ngobrol sebentar dengannya, ketika dia beranjak pergi, terlihat pakaiannya menyeret tanah (dalam keadaan isbal). Lalu Umar berkata,

رُدُّوا عَلَىَّ الْغُلاَمَ

“Panggil pemuda tadi!” Lalu Umar berkata,

ابْنَ أَخِى ارْفَعْ ثَوْبَكَ ، فَإِنَّهُ أَبْقَى لِثَوْبِكَ وَأَتْقَى لِرَبِّكَ ،

“Wahai anak saudaraku. Tinggikanlah pakaianmu! Sesungguhnya itu akan lebih mengawetkan pakaianmu dan akan lebih bertakwa kepada Rabbmu.”

Jadi, masalah isbal (celana menyeret tanah) adalah perkara yang amat penting. Jika ada yang mengatakan ‘kok masalah celana saja dipermasalahkan?’ Maka cukup kisah ini sebagai jawabannya. Kita menekankan masalah ini karena salaf (sahabat) juga menekankannya. -semoga kita dimudahkan dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah.

HUKUM MENGOLOK OLOK AJARAN NABI

Segala puji bagi Allah yang telah menetapkan hukum yang sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Seringkali kita saksikan begitu mudahnya sebagian orang mengolok-ngolok saudaranya yang ingin menjalankan syaria’t. Ada yang berjenggot kadang diolok-olok dengan kambing dan sebagainya. Ada pula yang mengenakan jilbab atau pun cadar juga dikenakan hal yang sama. Seharusnya setiap muslim tahu bahwa perbuatan seperti ini bukanlah dosa biasa. Simak pembahasan berikut agar mendapat penjelasan. Hanya Allah yang memberi taufik.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah 9: 65-66)

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan Qotadah, hadits dengan rangkuman sebagai berikut. Disebutkan bahwa pada suatu perjalanan perang (yaitu perang Tabuk), ada orang di dalam rombongan tersebut yang berkata, “Kami tidak pernah melihat seperti para ahli baca Al-Qur’an ini (yang dimaksudkan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya), kecuali sebagai orang yang paling buncit perutnya, yang paling dusta ucapannya dan yang paling pengecut tatkala bertemu dengan musuh.”

(Mendengar hal ini), ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata kepada orang tersebut, “Engkau dusta, kamu ini munafik. Aku akan melaporkan ucapanmu ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Maka ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu pun pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sebelum ‘Auf sampai, wahyu telah turun kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (tentang peristiwa itu). Kemudian orang yang bersenda gurau dengan menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bahan candaan itu mendatangi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sudah berada di atas untanya. Orang tadi berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami tadi hanyalah bersenda gurau, kami lakukan itu hanyalah untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam perjalanan!”

Ibnu Umar (salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berada di dalam rombongan) bercerita, “Sepertinya aku melihat ia berpegangan pada tali pelana unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan kakinya tersandung-sandung batu sembari mengatakan, “Kami tadi hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya (dengan membacakan firman Allah):

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah 9 : 65-66).

Beliau mengucapkan itu tanpa menoleh orang tersebut dan beliau juga tidak bersabda lebih dari itu.” (HR. Ibnu Jarir Ath Thobariy dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Umar dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohihul Musnad min Asbabin Nuzul mengatakan bahwa sanad Ibnu Abi Hatim hasan)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dinukil dari Imam Syafi’iy bahwa beliau ditanyakan mengenai orang yang bersenda gurau dengan ayat-ayat Allah T’ala. Beliau mengatakan bahwa orang tersebut kafir dan beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah 9: 65-66)” -Demikianlah dinukil dari Ash Shorim Al Maslul ‘ala Syatimir Rosul-

Ayat di atas menunjukkan bahwa mengolok-olok Allah, Rasulullah dan ayat-ayat Allah adalah suatu bentuk kekafiran. Dan barang siapa mengolok-olok salah satu dari ketiga hal ini, maka dia juga telah mengolok-olok yang lainnya (semuanya). (Lihat Kitab At Tauhid, Dr. Sholih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan, hal. 59)

Perlu diketahui bahwa mengolok-olok Allah dan agama-Nya ada dua bentuk :

Pertama, yang bentuknya jelas dan terang-terangan sebagaimana terdapat dalam kisah turunnya surat At Taubah ayat 65-66.

Kedua, yang bentuknya sindiran dan isyarat seperti isyarat mata atau menjulurkan lidah.

Dan termasuk dalam mengolok-olok adalah mengolok-olok orang yang komitmen dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti mengatakan, ‘agama itu bukanlah pada tampilan rambut’. Perkataan ini dimaksudkan untuk mengejek orang-orang yang berjenggot. Atau termasuk juga ucapan-ucapan yang lainnya yang hampir sama. (Lihat Kitab At Tauhid, Dr. Sholih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan, hal. 62)

Berikut ini kami akan menukilkan perkataan ulama lainnya untuk mendukung pernyataan di atas.

Perkataan Pertama

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah, seorang ulama besar dan faqih di Saudi Arabia pernah ditanyakan, “Apakah termasuk dalam dua ayat yang disebutkan sebelumnya (yaitu surat At Taubah ayat 65-66 -pen) bagi orang-orang yang mengejek dan mengolok-olok orang yang memelihara jenggot dan yang komitmen dengan agama ini?”

Beliau rahimahullah menjawab, “Mereka yang mengejek orang yang komitmen dengan agama Allah dan yang menunaikan perintah-Nya, jika mereka mengejek ajaran agama yang mereka laksanakan, maka ini termasuk mengolok-olok mereka dan mengolok-olok syariat (ajaran) Islam. Dan mengolok-olok syariat ini termasuk kekafiran.

Adapun jika mereka mengolok-olok orangnya secara langsung (tanpa melihat pada ajaran agama yang dilakukannya baik itu pakaian atau jenggot), maka semacam ini tidaklah kafir. Karena seseorang bisa saja mengolok-olok orang tersebut atau perbuatannya. Namun setiap orang seharusnya berhati-hati, jangan sampai dia mengolok-olok para ulama atau orang-orang yang komitmen dengan Kitabullah dan Sunnah (petunjuk) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, Darul ‘Aqidah, hal. 120)

Perkataan Kedua

Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah, pernah menjabat ketua Lajnah Da’imah (semacam Komite Fatwa MUI) dan juga pakar hadits, pernah ditanyakan, “Saat ini banyak di tengah masyarakat muslim yang mengolok-olok syariat-syariat agama yang nampak seperti memelihara jenggot, menaikkan celana di atas mata kaki, dan selainnya. Apakah hal ini termasuk mengolok-olok agama yang membuat seseorang keluar dari Islam? Bagaimana nasihatmu terhadap orang yang terjatuh dalam perbuatan seperti ini? Semoga Allah memberi kepahaman padamu.”

Syaikh rahimahullah menjawab, “Tidak diragukan lagi bahwa mengolok-olok Allah, Rasul-Nya, ayat-ayat-Nya dan syariat-Nya termasuk dalam kekafiran sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah 9: 65-66)

Termasuk dalam hal ini adalah mengolok-olok masalah tauhid, shalat, zakat, puasa, haji atau berbagai macam hukum dalam agama ini yang telah disepakati.

Adapun mengolok-olok orang yang memelihara (memanjangkan) jenggot, yang menaikkan celana di atas mata kaki (tidak isbal) atau semacamnya yang hukumnya masih samar, maka ini perlu diperinci lagi. Tetapi setiap orang wajib berhati-hati melakukan perbuatan semacam ini.

Kami menasihati kepada orang-orang yang melakukan perbuatan olok-olok seperti ini untuk segera bertaubat kepada Allah dan hendaklah komitmen dengan syariat-Nya. Kami menasihati untuk berhati-hati melakukan perbuatan mengolok-olok orang yang berpegang teguh dengan syariat ini dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Hendaklah seseorang takut akan murka dan azab (siksaan) Allah serta takut akan murtad dari agama ini sedangkan dia tidak menyadarinya. Kami memohon kepada Allah agar kami dan kaum muslimin sekalian mendapatkan maaf atas segala kejelakan dan Allah-lah sebaik-baik tempat meminta. Wallahu waliyyut taufiq. (Lihat Kayfa Nuhaqqiqut Tauhid, Madarul Wathon Linnashr, hal.61-62)

Perkataan ketiga

Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa di Saudi Arabia) no. 4127 tentang mengolok-olok hijab (jilbab) muslimah.

Pertanyaan :

Apa hukum orang yang mengolok-olok wanita yang memakai hijab (jilbab) syar’i dengan menjuluki bahwa wanita semacam itu adalah ifrit (setan) atau dijuluki ‘kemah yang bergerak’ atau ucapan olok-olok lainnya?

Jawaban :

Barang siapa mengejek muslimah atau seorang muslim yang berpegang teguh dengan syariat Islam maka dia kafir. Baik mengejek tersebut terhadap hijab (jilbab) muslimah yang menutupi dirinya sesuai tuntunan syariat atau boleh jadi dalam masalah lainnya. Hal ini dikarenakan terdapat riwayat dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Beliau berkata, “Seorang laki-laki ketika perang Tabuk berkata di suatu majelis (kumpulan) : Aku tidak pernah melihat semisal ahli baca al-Qur’an (yang dimaksudkan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, pen) yang paling perutnya buncit, sering berdusta dengan lisannya, dan paling takut (pengecut) ketika bertemu musuh.” Lalu ada seseorang yang berkata :’Engkau dusta. Engkau adalah munafik. Sungguh, aku akan melaporkan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian berita ini sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan turunlah ayat mengenai mereka. Lalu Abdullah bin ‘Umar berkata, “Sepertinya aku melihat ia berpegangan pada tali pelana unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kakinya tersandung batu sembari berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami tadi hanyalah bersendau gurau dan bermain-main saja.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan (dengan membawakan ayat yang turun tadi, pen), “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At Taubah 9: 65-66)

(Dalam ayat di atas) Allah menjadikan ejekan kepada orang mukmin adalah ejekan kepada Allah, ayat-Nya dan Rasul-Nya. Semoga Allah memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya serta shahabatnya.

Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’

Anggota: Abdullah bin Qu’ud, Abdullah bin Ghodayan
Wakil Ketua: Abdur Rozaq Afifi
Ketua: Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz

Segera Bertaubat

Setelah diketahui bahwa bentuk mengolok-olok atau mengejek orang yang berkomitmen dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk kekafiran, maka seseorang hendaknya menjauhinya. Dan jika telah terjatuh dalam perbuatan semacam ini hendaknya segera bertaubat. Semoga firman Allah Ta’ala berikut bisa menjadi pelajaran.

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (QS. Az Zumar 39: 53)

Jika seseorang bertaubat dari berbagai macam dosa termasuk berbagai hal yang dapat mengeluarkannya dari Islam dan dia melakukan hal ini dengan memenuhi syarat-syaratnya, maka taubatnya tersebut akan diterima.

Adapun syarat taubat adalah:
Taubat dilakukan dengan ikhlas dan bukan riya’ atau sum’ah (ingin dipuji orang lain).
Menyesal dengan dosa yang telah dilakukan.
Tidak terus-menerus dalam dosa. Jika meninggalkan yang wajib, segeralah melaksanakannya dan jika melakukan sesuatu yang haram, segeralah meninggalkannya.
Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di waktu akan datang.
Taubat tersebut dilakukan pada saat waktu diterimanya taubat yaitu sebelum kematian datang dan sebelum matahari terbit dari sebelah barat. (Lihat pembahasan syarat Taubat di Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin)

Semoga kita menjadi hamba Allah yang bertaubat dan hamba Allah yang disucikan. Amin Ya Mujibad Da’awat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

HUKUM MEMELIHARA JENGGOT

Hukum memelihara/membiarkan jenggot adalah wajib dan haram untuk dicukur. Karena mencukurnya termasuk perbuatan merubah ciptaan Allah dan termasuk perbuatan syaitan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا

“Dan akan Aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (An Nisa’: 119)


Memotongnya juga berarti telah menyerupai wanita. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat bentuk penyerupaan (baca: tasyabbuh) seperti ini. Beliau bersabda,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita.” (HR. Bukhari dan Tirmidzi, shahih)

Nabi telah memerintahkan untuk memelihara jenggot. Dan menurut ilmu Ushul Fikih, perintah menunjukkan suatu kewajiban. Perintah tersebut dapat dilihat dari hadits-hadits di bawah ini.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ

“Cukurlah kumis, biarkanlah jenggot, dan selisilah majusi.” (HR. Muslim, 1/222/260)

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa makna memelihara di atas adalah membiarkannya sebagaimana adanya. (Syarah Shahih Muslim).

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ

“Selisilah orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot, dan cukur habislah kumis.” (HR. Bukhari, 10/349/5892)

- Pernyataan Para Ulama Tentang Mencukur Jenggot

Mayoritas para ulama dan ahli fikih secara tegas menyatakan bahwa mencukur jenggot itu haram. Ibnu Hazm berkata, “Para ulama sepakat bahwa mencukur jenggot merupakan perbuatan mutslah yang terlarang.” Mutslah adalah perbuatan memperburuk atau membuat jelek. Tidaklah diragukan bahwa wajah adalah anggota tubuh yang mulia, karena di sana terdapat sejumlah indera. Wajah juga merupakan sumber/pusat ketampanan. Pada wajah terdapat ciptaan Allah yang indah yang seharusnya dijaga dan diperlakukan secara istimewa. Tidak malah dihinakan dan dibuat agar tampak buruk/jelek. Dari ‘Abdullah bin Yazid Al Anshory, beliau berkata,

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النُّهْبَى وَالْمُثْلَةِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjadikan hewan sebagai sasaran dan melarang mutslah.” (HR. Bukhari no. 2294)

Dalam Al Ikhtiyarot Al Ilmiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Dan beliau mengikuti mazhab Imam Ahmad -ed) berkata, “Diharamkan mencukur jenggot berdasar berbagai hadits yang shahih dan tidak seorang ulama pun yang membolehkannya.” Ibnu Abidin dari kalangan ulama Hanafiah dalam Roddul Muhtar menyatakan, “Diharamkan bagi laki-laki memotong jenggot.” Dalam Al Umm Imam Syafi’i menegaskan haramnya mencukur jenggot. Dari kalangan Malikiyyah, Al ‘Adawi menukil pernyataan Imam Malik, “Itu termasuk perbuatan orang-orang Majusi.” Ibnu ‘Abdil Bar dalam At Tamhid berkata, “Diharamkan mencukur jenggot. Tidak ada yang melakukannya kecuali laki-laki yang bergaya seperti perempuan.” (Lihat Minal Hadiin Nabawi I’faul Lihyah, edisi terjemahan berjudul Jenggot Yes, Isbal No – Media Hidayah). (Sehingga jelas bahwa banyak ulama empat mazhab yang mengharamkan mencukur jenggot -ed).

- Rasulullah Tidak Suka Melihat Wajah Orang yang Tercukur Jenggotnya

Ketika Kisra (penguasa Persia) mengutus dua orang untuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menemui beliau dalam keadaan jenggot yang tercukur dan kumis yang lebat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka melihat keduanya. Beliau bertanya, “Celaka kalian! Siapa yang memerintahkan kalian seperti ini?” Keduanya berkata, “Tuan kami (yaitu Kisra) memerintahkan kami seperti ini.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan tetapi, Rabbku memerintahkanku untuk memelihara jenggotku dan menggunting kumisku.” (HR. Thabrani, Hasan)

Wahai saudaraku yang begitu mudah mencukur jenggotnya, bagaimana pendapatmu apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka melihat wajahmu? Jawaban apa yang akan engkau berikan ketika beliau memalingkan wajahnya darimu seraya berkata, “Siapa yang memerintahmu seperti ini?” Ketahuilah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menyuruh melakukan sesuatu melainkan beliau merupakan orang yang pertama melakukannya. Oleh karenanya jenggot beliau lebat dan utuh. (Lihat Minal Hadiin Nabawi I’faul Lihyah, edisi terjemahan berjudul Jenggot Yes, Isbal No – Media Hidayah).

- Mencukur Jenggot Adalah Suatu Bentuk Pemborosan dan Dosa Secara Terang-Terangan

Tidak perlu diragukan lagi bahwa mencukur jenggot membutuhkan biaya yaitu untuk membeli alat cukur, sabun, dan silet. Ini semua termasuk membelanjakan harta yang Allah amanahkan kepada hamba-Nya tidak pada tempatnya sehingga pelakunya akan dimintai pertanggungjawaban pada hari kiamat. Seseorang tidak boleh berdalih, ‘ini kan cuma sedikit dan tidak berarti apa-apa’. Ingatlah firman Allah,

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah (semut hitam), niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah (semut hitam), niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Al Zalzalah: 7-8)

Selain pemborosan harta, mencukur jenggot juga menghabiskan waktu. Padahal waktu adalah hal yang mahal dan berharga, maka harus dijaga sebaik-baiknya dan tidak boleh disia-siakan, apalagi untuk melakukan perkara yang haram.

Mencukur jenggot merupakan sebuah perbuatan dosa yang dilakukan terang-terangan. Padahal orang yang demikian tidak akan dimaafkan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ

“Setiap umatku akan dimaafkan kecuali orang yang melakukan dosa secara terang-terangan.” (HR. Bukhari no. 5608)

Hukum “Merapikan” Jenggot

Ulama berselisih pendapat mengenai masalah ini. Adapun pendapat yang paling kuat di antara berbagai pendapat yang ada adalah tidak boleh merapikan jenggot meski hanya memotong beberapa bagian saja. Hal ini didasarkan pada sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa ucapan maupun perbuatan, sebagaimana terdapat dalam hadits yang shohih. Salah satu ciri fisik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah memiliki jenggot yang lebat.

كَانَ كَثِيرَ شَعْرِ اللِّحْيَةِ

“Rambut jenggot Nabi banyak (lebat).” (HR. Muslim)

Ketika Anas menceritakan ciri fisik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: “Jenggot Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhi sebelah sini dan sebelah sini. Anas lalu memberi isyarat dengan tangannya pada dua tulang rahang bawahnya.” (HR. Ibnu Asakir dalam tarikhnya)

Dan para sahabat radhiallahu ‘anhum ajma’in juga mengetahui kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al Quran dalam shalat Zuhur dan Ashar melalui gerakan jenggot beliau. (HR. Bukhari)

Sungguh betapa aneh orang yang mengaku cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak menyukai penampilan beliau dan tidak mau menirunya. Padahal Allah ta’ala telah berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imron: 31)

Adapun hadits yang menyatakan bahwa Nabi memotong jenggotnya pada sisi kanan dan sisi kiri merupakan hadits yang sangat lemah sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Sedangkan orang yang berpendapat bahwa jika jenggot telah lebih dari satu genggam maka selebihnya dipotong, berdasarkan riwayat Umar dan Ibnu Umar -radhiallahu ‘anhuma- adalah tidak tepat. Riwayat tersebut tidak dapat digunakan sebagai alasan karena bertentangan dengan hadits-hadits yang mewajibkan memelihara jenggot yang dinilai lebih kuat. Oleh karena itu, riwayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil karena sunah Nabi harus didahulukan dari segalanya. Tidak ada pendapat yang bisa diterima, apabila menyelisihi sunah. Dalil itu terdapat pada riwayat para sahabat Nabi, bukan dalam pendapat pribadi mereka. Di samping itu, perbuatan Umar dan Ibnu Umar ini itu khusus pada haji, tidak pada setiap kesempatan, sebagaimana pendapat orang yang membolehkan merapikan jenggot.

Pendapat yang paling hati-hati adalah dengan mengikuti pendapat tersirat dari hadits-hadits yang memerintahkan memelihara jenggot. Dan memeliharanya adalah suatu pekerjaan yang mudah, tidak perlu biaya apa-apa untuk menipiskan ataupun mencukurnya, tidak buang-buang waktu dan tenaga. Wallahu a’alam bish showab. (Lihat Minal Hadiin Nabawi I’faul Lihyah, edisi terjemahan berjudul Jenggot Yes, Isbal No – Media Hidayah).

Teladanilah Rasulullah

Saudaraku yang semoga dirahmati Allah, kami ingatkan engkau dengan hadits berikut. Dari Al Asy’ats bin Sulaim, ia berkata:

سَمِعْتُ عَمَّتِي ، تُحَدِّثُ عَنْ عَمِّهَا قَالَ : بَيْنَا أَنَا أَمْشِي بِالمَدِيْنَةِ ، إِذَا إِنْسَانٌ خَلْفِي يَقُوْلُ : « اِرْفَعْ إِزَارَكَ ، فَإِنَّهُ أَنْقَى» فَإِذَا هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّمَا هِيَ بُرْدَةٌ مَلْحَاءُ) قَالَ : « أَمَّا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ ؟ » فَنَظَرْتُ فَإِذَا إِزَارَهُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ

“Saya pernah mendengar bibi saya menceritakan dari pamannya yang berkata: “Ketika saya sedang berjalan di kota Al Madinah, tiba-tiba seorang laki-laki di belakangku berkata: “Angkat kainmu, karena itu lebih terjaga (kebersihan dan semakin awet,-pen).” Ternyata orang itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata: “Sesungguhnya yang kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yang bergaris-garis hitam dan putus.” Beliau bersabda: “Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai teladan?” Aku melihat kain sarung beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.” (Mukhtashor Syama’il Muhammadiyah, Imam Tirmidzi, shahih)

Wahai pencukur jenggot, alasan apa yang akan engkau kemukakan ketika engkau berada di hadapan Rasulullah, tatkala beliau bertanya, “Tidakkah dalam diriku terdapat dalam keteladanan?” (Lihat Minal Hadiin Nabawi I’faul Lihyah, edisi terjemahan berjudul Jenggot Yes, Isbal No – Media Hidayah).

Ingatlah wahai saudaraku, letakkanlah akhirat di pelupuk matamu sehingga tidak tertipu oleh dunia yang fana, namun menggoda. Kehidupan dunia ini hanya sementara. Negeri akhirat itulah yang merupakan tempat tinggal kita yang abadi.

(*) Pembahasan mengenai jenggot, silakan merujuk buku Jenggot Yes, Isbal No! yang di dalamnya terdapat tulisan yang berjudul Minal Hadiin Nabawi I’faul Lihyah (Memelihara Jenggot) yang diterjemahkan oleh Al Ustadz Aris Munandar dengan penerbit Media Hidayah.

MENELUSURI HAKEKAT KAROMAH

Karomah, bukanlah istilah yang asing di telinga kaum muslimin. Ia merupakan bagian dari agama ini. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah meyakini adanya karomah dan sesungguhnya ia datang dari sisi Allah . Tahukah anda, apa yang dimaksud dengan Karomah?
Definisi Karomah
Karomah adalah kejadian diluar kebiasaan (tabiat manusia) yang Allah anugerahkan kepada seorang hamba dalam rangka mengokohkan hamba tersebut dan agamanya. Adapun sebagian ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
- tidak memiliki pendahuluan tertentu berupa doa, bacaan, ataupun dzikir khusus;
- terjadi pada seorang hamba yang shalih, baik dia mengetahui terjadinya (karomah tersebut) ataupun tidak;
- tanpa disertai pengakuan (dari pemiliknya) sebagai seorang nabi. (Syarhu Ushulil I’tiqad 9/15 dan Syarhu Al Aqidah Al Wasithiyah 2/298 karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Dan termasuk dari prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah ialah meyakini adanya karomah para wali dan berbagai keluarbiasaan yang Allah izinkan terjadi melalui tangan-tangan mereka baik yang berkaitan dengan ilmu, mukasyafat (mengetahui hal-hal yang tersembunyi), maupun bermacam-macam keluarbiasaan (kemampuan) atau pengaruh-pengaruh.” (Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah, hal.207).
Karomah ini tetap ada sampai akhir zaman dan lebih banyak terjadi pada umat ini daripada umat-umat sebelumnya, yang demikian itu menunjukkan keridhaan Allah terhadap hamba-Nya dan sebagai pertolongan baginya dalam urusan dunianya atau agamanya. Namun bukan berarti Allah benci terhadap orang-orang yang tidak nampak karomah padanya.
Perkara “Karomah” ini telah tsabit (ditetapkan, dikokohkan) secara nash baik di dalam Al Qur’an maupun As Sunnah, bahkan juga secara kenyataan.
Kepada Siapakah Karomah ini Diberikan?
Karomah ini Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya yang benar-benar beriman serta bertaqwa kepada-Nya, yang disebut dengan wali Allah . Allah berfirman ketika menyebutkan tentang sifat-sifat wali-Nya (artinya):
“Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, yaitu orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertaqwa.” (QS. Yunus: 62-63)
Dalam ayat ini Allah mengkhabarkan tentang keadaan wali-wali-Nya dan sifat-sifat mereka, yaitu: “Orang-orang yang beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan hari akhir serta beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk.”
Kemudian mereka merealisasikan keimanan mereka dengan melakukan ketakwaan dengan cara melakukan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. (Taisirul Karimir Rahman karya As Sa’di hal, 368)
Apakah wali Allah itu memiliki atribut-atribut tertentu?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa wali-wali Allah itu tidak memiliki sesuatu yang membedakan antara mereka dengan manusia lainnya dari perkara-perkara dhahir yang hukumnya mubah seperti: pakaian, potongan rambut atau kuku. Dan merekapun ada yang sebagai ahli Al Qur’an, ahli ilmu agama, ahli berperang, pedagang, pengrajin atau para petani. (Disarikan dari Majmu’ Fatawa 11/194)
Apakah wali Allah itu harus memiliki karomah?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa tidak setiap wali itu harus memiliki karomah. Bahkan, wali Allah yang tidak memiliki karomah terkadang lebih utama daripada yang memilikinya. Oleh karena itu, karomah yang terjadi di kalangan para tabi’in lebih banyak daripada yang terjadi di kalangan para sahabat, padahal para sahabat lebih tinggi derajatnya daripada para tabi’in. (Disarikan dari Majmu’ Fatawa 11/283)
Apakah setiap yang diluar kebiasaan dinamakan ‘Karomah’?
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Nashir Ar Rasyid rahimahullah memberikan suatu kesimpulan bahwa sesuatu yang diluar kebiasaan ada tiga macam:
- Mu’jizat yang terjadi pada para rasul dan nabi
- Karomah yang terjadi pada para wali Allah
- Tipuan setan yang terjadi pada wali-wali setan (Disarikan dari At Tanbihaatus Saniyyah hal. 312-313).
Sedangkan untuk mengetahui apakah itu karomah atau tipu daya setan tentu saja dengan kita mengenal sejauh mana keimanan dan ketakwaan pada masing-masing orang yang terjadi padanya keluarbiasaan (wali) tersebut. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Apabila kalian melihat seseorang berjalan diatas air atau terbang di udara maka janganlah mempercayainya dan tertipu dengannya sampai kalian mengetahui bagaimana dia dalam mengikuti (tuntunan) Rasulullah r.” (A’lamus Sunnah Al Manshurah hal. 193)
Beberapa Contoh Karomah
1. Allah berfirman (artinya): “Setiap kali Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrob, ia dapati makanan di sisinya, Zakaria berkata: “Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh makanan ini?”. Maryam menjawab:” Makanan itu dari sisi Allah, sesungguhnya Allah memberikan rizki kepada yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (QS. Ali ‘Imran: 37)
Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata: “Ayat ini merupakan dalil akan adanya karomah para wali yang diluar kebiasaan manusia, sebagaimana yang telah mutawatir dari hadits-hadits tentang permasalahan ini. Tidak seperti orang-orang yang mengingkari adanya karomah ini.” (Taisirul Karimur Rahman, hal: 129)
2. Apa yang terjadi pada “Ashhabul Kahfi” (penghuni gua). Suatu kisah agung yang terdapat dalam surat Al Kahfi. Allah berfirman (artinya):
“Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan kami tambahkan pada mereka petunjuk.” (QS. Al Kahfi: 13). Mereka ini (Ashabul Kahfi) sebelumnya hidup di tengah-tengah masyarakat yang kafir (dengan pemerintahan yang kafir) lalu mereka lari dari masyarakat itu. Dalam rangka menyelamatkan agama mereka, kemudian Allah melindungi mereka di dalam Al Kahfi (gua yang luas yang berada di gunung).
Tatkala Allah telah selamatkan mereka di dalam gua tersebut, lalu Allah tidurkan mereka dalam waktu yang sangat panjang, disebutkan dalam ayat (artinya):
“Mereka tinggal dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (Al Kahfi:25).
3. Diantara karomah para wali yang disebutkan dalam Al Qur’an adalah apa yang terjadi pada Dzul Qornain yaitu seorang raja yang shalih yang Allah nyatakan (artinya): “Sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi dan kami telah memberikan kepadanya jalan untuk mencapai segala sesuatu.” (Al Kahfi :84)
4. Diantara karomah para wali juga apa yang terjadi pada kedua orang tua seorang anak yang dibunuh oleh nabi Khidhir yang ketika itu nabi Musa mengatakan: “Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih padahal dia tidak membunuh orang lain?”, yang kemudian Khidhir menjawabnya: “Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang yang mukmin dan kami khawatir bahwa dia akan menariknya kepada kesesatan dan kekafiran.” (Al Kahfi:74)
5. Apa yang telah diriwayatkan secara mutawatir tentang berita salafus shalih dari para sahabat y, tabi’in, tabiut tabi’in dan generasi setelah mereka tentang perkara karomah yang terjadi pada diri mereka.
Perbedaan Antara Karomah Dan Perbuatan Syaithan
Ada sesuatu yang bukan mu’jizat dan juga bukan karomah, dia adalah “Al Ahwal As Syaithaniyyah” (perbuatan syaithan). Inilah yang banyak menipu kaum muslimin, dengan anggapan bahwa ia karomah, padahal justru tidak ada kaitannya dengan karomah, karena:
- Karomah datangnya dari Allah sedangkan ia jelas datangnya dari syaithan. Sebagaimana yang terjadi pada Musailamah Al Kadzdzab dan Al Aswad Al Ansyi (dua orang pendusta di zaman Rasulullah r yang mengaku sebagai nabi) dan menyampaikan perkara-perkara yang ghaib, ini jelas merupakan perbuatan syaithan.
- Demikian pula karomah para wali Allah disebabkan kuatnya keimanan dan ketaatan mereka kepada Allah . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah maka ia pun menjadi wali Allah .” Sedangkan perbuatan syaithan ini dikarenakan kufurnya mereka kepada Allah dengan melakukan kesyirikan-kesyirikan serta kemaksiatan kepada Allah , dan syarat-syarat tertentu yang harus ia lakukan.
- Karomah merupakan suatu pemberian dari Allah kepada hamba-Nya yang shalih dengan tanpa susah payah melakukan pendahuluan tertentu seperti bacaan-bacaan atau dzikir-dzikir khusus, berbeda dengan perbuatan syaithan, maka ini terjadi dengan susah payah setelah sebelumnya ia berbuat syirik atau maksiat kepada Allah .
- Karomah para wali tidak bisa disanggah atau dibatalkan dengan sesuatupun. Berbeda dengan perbuatan syaithan yang dapat dibatalkan dengan menyebut nama-nama Allah atau dibacakan ayat kursi atau yang semisalnya dari ayat-ayat Al Qur’an. Bahkan Syaikhul Islam menyebutkan bahwa ada seseorang yang terbang di atas udara kemudian datang seseorang dari Salafushshalih lalu dibacakan ayat kursi kepadanya maka seketika itu dia jatuh dan mati.
- Karomah tidaklah menjadikan seseorang sombong dan merasa bangga diri, justru dengan adanya karomah ini menjadikannya semakin bertaqwa kepada Allah dan semakin mensyukuri nikmat Allah . Adapun perbuatan syaithan bisa menjadikan seseorang bangga diri atau sombong dengan kemampuan yang dia miliki serta angkuh terhadap Allah , sehingga dari sini jelaslah bagi kita akan hakekat karomah dan perbuatan syaithan.
Syubhat dan Bantahannya
Disana ada beberapa kelompok yang mengingkari adanya karomah, yaitu: Jahmiyah, Mu’tazilah’ dan sebagian dari Asy’ariyah. Mereka berdalil dengan syubhat-syubhat yang dilandasi dengan akal mereka yang rendah. Mereka mengatakan: “Bahwa terjadinya karomah itu hanya merupakan perkara yang akan menjadikan kesamaran antara nabi dengan para wali dan antara wali dengan Dajjal.”
Bantahan syubhat ini (secara ringkas) adalah:
Pertama: kita yakin dengan keyakinan yang mantap bahwa karomah itu benar-benar ada, berdasarkan dalil baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah dan kenyataan yang ada (sebagaimana yang telah disebutkan diatas).
Kedua: ucapan mereka bahwa karomah dapat menjadikan kesamaran antara wali dengan seorang Nabi, justru tidaklah demikian, karena wali sama sekali tidak berkaitan dengan kenabian, dan apa yang terjadi dari karomah itu dikarenakan kuatnya keimanan dan ketakwaan dia kepada Allah dan disebabkan waro’nya.
Sedangkan kesamaran yang dikhawatirkan antara wali Allah dengan Dajjal (wali syaithan), maka sungguh dapat dilihat dari kehidupan seseorang yang terjadi padanya keluarbiasaan itu. Kemudian dilihat dari keadaannya apakah dia seorang yang shalih atau seorang yang fasiq. Demikianlah timbangan yang benar didalam menghukumi seseorang yang terjadi padanya perkara-perkara yang diluar kebiasaan manusia.
Macam-Macam Manusia Dalam Mensikapi Masalah Karomah
Pertama: Orang-orang yang mengingkari adanya karomah yaitu dari kelompok ahli bid’ah seperti Mu’tazilah, Jahmiyyah, dan sebagian dari Asy’ariyah. Dengan alasan yang telah disebutkan diatas.
Kedua: Orang-orang yang bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam menetapkan karomah yaitu dari kalangan orang-orang “Sufi” dan para “Penyembah kubur”, yang menganggap segala keluarbiasaan itu sebagai karomah, tanpa memperhatikan keadaan pelakunya atau pemiliknya.
Ketiga: Orang-orang yang mengimani serta membenarkan adanya karomah dan mereka tetapkan karomah tersebut sebagaimana yang terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah. Mereka itu adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
(lihat syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, hal: 207-208)
Wallahu A’lam bish Shawab.